Karsi Nerro Soethamrin, Pendekar Gondrong Telaga Buret
Alam raya dan kekayaannya bukan anugerah Sang Pencipta atau warisan leluhur melainkan titipan anak, cucu, cicit, dan generasi seterusnya. Jagalah. Manfaatkanlah tetapi secara bijaksana dan lestari. Karsi Nerro Soethamrin ingin ikut menjaga alam jangan sampai rusak. Dia menjaga titipan alam Telaga Buret di Tulungagung agar generasi penerus bisa menikmatinya.
Sampai dengan 1990, Karsi Nerro Soethamrin adalah seorang lelaki remaja yang gemar berpetualang di alam. Dia sangat mengingat saat itu Telaga Buret di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, masih dinaungi pohon-pohon menjulang dengan berkanopi daun-daun yang tebal.
Kawasan itu adalah hutan tropis yang seakan belum terjamah, aneka ragam buah, sayur, bahan obat, bahan bangunan, dan telaga sebagai sumber air untuk kehidupan. Selain itu, satwa liar termasuk predator antara lain macan dahan, macan rembah, dan macan tutul seolah raja rimba penguasa burung, kera, mamalia, binatang melata, bahkan serangga.
Namun, selepas 1990, kawasan hutan sendang yang awalnya disebut Madirda itu mulai diserang perambahan. Ada yang mulai berani “menantang” kutukan Jigang Jaya yang diyakini merupakan perwira Kerajaan Majapahit yang membuat perigi itu ada di masa lalu. Pohon mulai ditebangi. Batu dan dan tanah dikeruk. Air disedot. Ikan, bulus, dan satwa yang hidup di danau dan hutan itu diambili untuk dimanfaatkan atau dikonsumsi. Serangan menghebat selepas Reformasi ketika rakyat diberi kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alam.
Sekelompok pemuda termasuk Karsi Nerro Soethamrin tidak rela Mandirda kian hancur. Dampaknya segera terasa ketika alam semakin rusak. Air telaga dipergunakan untuk pengairan sawah di empat desa sekitar di Campurdarat yakni Sawo, Gamping, Gedangan, dan Ngentrong. Beberapa kali petani gagal panen akibat kekeringan di musim kemarau atau kebanjiran di musim hujan.
“Jika kerusakan alam itu tidak dihentikan, warga tidak akan mendapat manfaat lagi dari telaga,” kata Karsi saat ditemui Kompas di Tulungagung, September 2018.
Jika kerusakan alam itu tidak dihentikan, warga tidak akan mendapat manfaat lagi dari telaga.
Lelaki berambut panjang itu ingat, bersama kalangan pemuda dan warga yang menyadari adanya kerusakan sendang membuat ikrar penyelamatan pada 1997. Namun, dua tahun kemudian, serangan masif datang bersamaan dengan euforia Reformasi yang salah satunya bahwa rakyat berhak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Kelompok warga dengan niat sederhana ingin melestarikan Telaga Buret berhadapan dengan sesama yang ingin mereguk manfaat ekonomi untuk memenuhi kebutuhan perut.
Konflik jelas tidak terhindari tetapi bukan berupa bentrokan apalagi insiden. Karsi dan kalangan pemuda yang rata-rata berambut gondrong itu turun ke ‘mandala tempur’. Namun dia melakukannya bukan menggunakan jurus pamungkas melainkan daya pikat kesabaran, ketabahan, dan keuletan. Setiap ada pohon yang ditebang, mereka segera menanami dengan bibit baru meski jenis tanaman tidak sama tetapi jumlahnya lebih banyak. Tanaman dirawat dan dijaga.
Selain itu, mereka juga menggali cerita-cerita masa lalu Mandirda. Kisah mistis tentang kutukan Jigang Jaya bahwa warga sekitar telaga setiap tahun harus mengadakan ulur-ulur atau syukuran pada Jumat Legi dalam bulan Selo agar terhindar dari ancaman bencana. Legenda yang ditularkan kembali dari mulut ke mulut itu sepertinya lumayan ampuh.
“Mungkin juga waktu itu tidak sedikit yang mungkin takut atau sungkan dengan kami karena gondrong-gondrong dan berani mati demi kelestarian telaga, ha-ha-ha,” ujarnya.
Berbuah manis
Pelan tetapi pasti ikhtiar mereka yang menamakan diri Habitat Masyarakat Peduli Alam Raya (Hampar) berbuah manis. Serangan terhadap hutan sendang terus berkurang. Mereka mengajukan diri kepada Perum Perhutani sebagai penjaga dan pengelola Telaga Buret dan diberikan hak seluas 1,9 hektare. Kini, kawasan yang dikelola meluas menjadi 22,8 hektare dan sedang diajukan perluasan menjadi 60 hektar.
Di sela rutinitas harian sebagai pegiat industri mikro kecil menengah (IMKM), Karsi dan teman-teman tetap berikhtiar menjaga Telaga Buret. Mereka pun menata kawasan itu dengan pembagian zona-zona. Di kawasan hutan itu ada zona untuk berkemah, bermain, bahkan dibangun pondok sederhana untuk perpustakaan kecil dan warung makanan minuman. Meski menjadi salah satu objek wisata lingkungan dan religi, pengunjung tidak dibebani pungutan retribusi kecuali sumbangan untuk parkir kendaraan pribadi.
Mereka juga melestarikan tradisi ulur-ulur yang hampir selalu dihadiri oleh pejabat tinggi eksekutif dan legislatif Tulungagung. Selain itu, kalangan umat Hindu di Tulungagung rutin mengadakan Melasti. Telaga Buret dengan petilasan Jigang Jaya turut menjadi lokasi ziarah mereka untuk berdoa memohon kemenangan dalam kontestasi politik.
“Ulur-ulur tahun ini tidak dihadiri pejabat tetapi tahun depan pasti ramai karena tahun politik he-he-he,” ujar Karsi menunjuk tahun depan adalah tahun Pemilu 2019 di mana para calon legislatif atau para pendukung calon presiden dan wakilnya ramai-ramai datang mendekati rakyat.
Kalpataru
Perjuangan Karsi dan warga yang peduli akhirnya mendapat apresiasi. Pada 2003, Karsi menerima anugerah Pemuda Pelopor Jawa Timur. Penghargaan membuatnya merasa tercambuk sebab merasa tidak layak dan belum berbuat apa-apa.
“Mendorong saya dan teman-teman untuk lebih giat lagi,” kata Karsi. Area pengelolaan yang dipercayakan Perhutani diperluas menjadi 3 hektare lalu 5 hektare.
Pada 2014, Karsi menerima anugerah Kalpataru dari Bupati Tulungagung sebagai penyelamat lingkungan hidup. Setahun kemudian, Karsi mendapat Kalpataru dari Gubernur Jawa Timur. Tahun itu pula, Karsi diajukan sebagai nominator Kalpataru tingkat nasional dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tetapi tidak menang. Namun, pada tahun 2018, penghargaan itu baru jatuh kepada Karsi dan diberikan di Bitung, Sulawesi Utara.
“Saya merasa tidak pantas menerima penghargaan sebab saya adalah bagian dari masyarakat yang telah susah payah berjuang demi kelestarian Telaga Buret. Wargalah yang seharusnya menerima anugerah,” kata Karsi.
Karsi Nerro Soethamrin
Lahir: Tulungagung, 8 Juni 1973
Istri: Siti Nuryuana
Anak: Nerri Java Ayuningtyas
Pendidikan:
- SD Negeri Sawo 1
- SMP Budhi Luhur Ngentrong
Aktivitas:
- Ketua Forum Komunikasi Kelompok
Sadar Wisata Kabupaten Tulungagung
- Ketua Forum Komunitas Hijau
Kabupaten Tulungagung
- Ketua Habitat Masyarakat Peduli Alam Raya (Hampar)
- Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Kabupaten Tulungagung