Cerita yang Mengetuk Jiwa
Perang bertahun-tahun pernah merontokkan kehidupan Aida Begic (42 tahun), sutradara asal Sarajevo, Bosnia-Herzegovina. Tak mau tenggelam dalam murung, dia berjuang dan bangkit. Lewat film-filmnya, perempuan itu membuka mata dunia untuk lebih peduli terhadap anak-anak korban perang.
Aida Begic menghadiri Madani Film Festival di Jakarta, pertengahan Oktober 2018. Selain film terbarunya, Never Leave Me (2017), diputar dalam pembukaan festival, dia juga berbicara dalam sesi khusus masterclass.
Film ini mengisahkan kehidupan anak-anak yatim piatu asal Suriah di pengungsian di Turki. Tanpa orangtua, anak-anak itu bertahan hidup, bahkan bermimpi tentang masa depan, meski banyak masalah menghadang.
Dua karyanya sebelumnya—Djeca (The Children of Sarajevo), pada 2012, dan Snijeg (The Snow), pada 2008—juga mengisahkan kehidupan terkait perang.
Djeca mengangkat perjuangan para anak yatim piatu yang kehilangan keluarga dalam perang di Sarajevo. Snijeg menceritakan beberapa perempuan bersama anak-anak yang bertahan di tengah kecamuk perang.
Perang
Semua karya Aida Begic terkait dengan perang. Maklum saja, perempuan ini pernah mengalami pahitnya perang. Berikut wawancara Kompas secara khusus dengan sutradara ini di Jakarta, Kamis (18/10/2018) siang. Dia bercerita panjang tentang perang, proses kreatif film, dan Islam.
Bisa ceritakan tentang perang di Bosnia?
Perang terjadi antara tiga bangsa, yaitu Bosnia yang Muslim, Serbia yang Ortodok, dan Kroasia yang Katolik. Perang berlangsung selama empat tahun, sejak 1992 sampai 1995.
Saat perang, saya masih remaja 16 tahun, tinggal di Sarajevo. Itu masa yang mengerikan dalam hidup saya. Kami tidak punya air, listrik, makanan. Kami kelaparan.
Apa sisi paling gelap dari perang?
Kami melihat orang yang kami cintai meninggal, ketakutan kehilangan orang yang dicintai, ketakutan kehilangan bagian tubuh kita. Itu ketakutan yang melahirkan trauma yang tidak bisa disembuhkan. Selamanya akan tinggal bersama orang yang mengalaminya.
Kami kesulitan air dan harus mencarinya di tempat-tempat tertentu. Saat orang-orang berkerumun di dekat air, kadang musuh menjatuhkan bom yang membunuh semuanya.
Ada juga para penembak jitu dari arah perbukitan yang mengintai kota. Setiap saat mereka bisa menembak warga. Kadang mereka menembak untuk membunuh, tapi lain kali sengaja menjadikan kami cacat.
Bagaimana Anda bisa bertahan selama perang?
Kami mendapat bantuan kemanusiaan, makanan dari perang Vietnam yang sudah berusia 30 tahun dan dikemas dalam paket-paket. Itu buruk, tapi kami bisa bertahan.
Sebagian orang lantas ikut militer Sarajevo untuk mempertahankan kota dan hidupnya. Saat perang, kami merasa sangat dekat dengan kematian. Kami bisa mati setiap saat. Kami berpikir, apakah hidup seperti ini yang sepenuhnya kita jalani? Pengalaman dalam perang rasanya selalu menguntit kehidupan saya.
Bagaimana perang berakhir?
Perang berakhir setelah NATO membombardir Serbia. Setelah perang, bagaimana warga memulihkan diri? Saat bantuan asing berkurang, kami tertekan. Kami berusaha membangun kembali gedung-gedung, tetapi sebenarnya kami belum pulih. Banyak masalah di pemerintah, seperti korupsi. Negara belum sepenuhnya bekerja untuk masyarakat. Itu menyedihkan.
Dalam situasi perang, bagaimana Anda menekuni dunia seni?
Saat perang, sebagian kami menekuni seni, film. Itu bagian dari usaha bertahan. Musuh bisa menghilangkan fisik kami, tapi tidak semangat kami.
Kami berusaha bertahan dengan cara itu, membuat film, pertunjukan seni, tetap beradab. Saya memilih studi teater. Itu periode sangat penting bagi kami.
Masyarakat membutuhkan seni sebanyak mereka membutuhkan makanan, air. Itu terkait harga diri kami sebagai manusia.
Proses kreatif
Aida belajar di Jurusan Directing Art di The Sarajevo Academy of Performing Arts. Lulus kuliah, dia diangkat menjadi asisten profesor untuk mengajar. Kini, dia menjadi guru besar dan Head of Directing Departement di kampus itu. Sambil mengajar, dia mengerjakan proyek-proyek film.
Bagaimana proses kreatif Anda membuat film?
Saya tidak bisa menghilangkan kenyataan perang. Tetapi, saya bisa membuat film untuk lebih memahami fenomena kekerasan secara utuh. Lewat film, saya bisa mengelola kemarahan dan menemukan sesuatu yang indah.
Saya ibu dari dua anak. Suami saya seorang fotografer. Kami bekerja sama untuk membuat karya seni. Saya bawa anak-anak keliling dan membuat film. Kami berdamai dengan kenyataan yang tidak terlalu ramah.
Bisa diceritakan kelahiran film-film Anda?
The Snow (2008) terinspirasi beberapa perempuan yang bertahan di satu kampung di tengah perang. Saya butuh lima tahun untuk membuat film ini karena harus membangun kerja sama, mencari biaya.
Children of Sarajevo (2012) itu hasil penelitian saya tentang anak-anak di Sarajevo korban perang. Mereka kehilangan orangtua dan tak dipedulikan masyarakat. Anak-anak itu gelandangan dan kemudian menjadi pelaku kriminal.
Never Leave Me (2017) mengangkat anak-anak yatim piatu asal Suriah. Awalnya, saya mendapat undangan dari lembaga swadaya masyarakat di Turki untuk membuat workshop untuk anak-anak korban perang. Hasil workshop itu kemudian dibuat film.
Tiga film itu sama-sama menceritakan penderitaan perempuan dan anak-anak dalam perang. Tak hanya sisi murung, saya juga cerita harapan, cinta, persahabatan, bahkan humor.
Kenapa Anda tertarik dengan dunia anak-anak korban perang?
Perang membuat anak-anak menjadi yatim piatu. Saya membuat workshop untuk mengatasi trauma mereka yang terjebak dalam perang, mengungsi, menjadi gelandangan. Mereka diajak bermain teater.
Saya membuat cerita, kemudian menemukan para aktor yang berbakat di antara anak-anak itu. Karakter dimainkan oleh aktor-aktor yang nyata dengan cerita yang juga nyata. Saya membuat latihan, ambil gambar, berlatih. Dengan proses ini, pembuatan satu film membutuhkan tiga sampai lima tahun.
Jadi, apa sebenarnya tujuan Anda membuat film?
Saya ingin membuka mata dunia terhadap anak-anak yatim piatu. Di semua tempat di dunia, ada anak-anak semacam itu. Kalau kita tidak memiliki program untuk menanganinya, mereka akan bermasalah bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Kita perlu melakukan sesuatu.
Apakah film efektif untuk mengatasi masalah ini?
Kami memutar film ini keliling dunia demi mengetuk hati masyarakat. Saat pemutaran film di New York, ada seorang Kristen yang memberikan bantuan untuk anak gelandangan.
Seorang dari Jordania mengaku mendapatkan dorongan untuk lebih mengurusi anak-anak gelandangan. Beberapa orang Bosnia dan Amerika mengirimkan uang untuk anak-anak aktor film itu.
Lewat film, kita bisa terhubung dengan banyak orang dari dunia yang sama-sama ingin membantu anak-anak yatim piatu. Film ini mendorong publik untuk lebih memperhatikan dan membicarakan nasib anak-anak yatim piatu.
Bagaimana dana bantuan itu dikelola?
Kami punya yayasan untuk mengurus bantuan untuk anak-anak. Kehidupan mereka membaik, bisa menyewa apartemen, mendapat beasiswa, meneruskan studi, dan belajar bahasa Turki.
Produser film memperhatikan mereka dan kami selalu menjaga komunikasi. Sayangnya, mereka tak bisa kembali ke Suriah karena perang belum berhenti.
Apakah Anda akan menghentikan perang dengan film?
Sangat mudah memulai konflik. Perang dapat muncul di mana saja, bahkan di tempat paling damai sekalipun.
Film tak akan pernah bisa menghentikan perang atau mengubah dunia. Tetapi, film bisa menularkan kesadaran kemanusiaan pada satu, dua, atau tiga orang. Jika ada orang-orang yang selalu ingat film tentang anak-anak korban perang, itu sudah cukup.
Dengan bicara penderitaan anak-anak, mungkin kita bakal menyadarkan orang-orang yang hanya memikirkan perang sebagai jalan keluar. Perang tidak pernah menjadi solusi. Dalam perang, semua kalah, tidak ada yang menang.
Lalu, kenapa sebagian orang masih berperang?
Perang meledak karena perbedaan kepentingan. Semua selalu terkait kepentingan satu kelompok atau beberapa kelompok lain. Perang tidak pernah sungguh-sungguh terkait soal ide, keyakinan, bahkan agama.
Saya tidak percaya perang karena agama. Agama hanya dimanfaatkan untuk melancarkan kepentingannya. Mungkin ada yang dipicu keyakinan, tetapi pada akhirnya terkait kepentingan.
Apa mimpi Anda sebagai sutradara?
Saya berharap bisa membuat lebih banyak film, bekerja di banyak negara. Saya ingin anak-anak saya tidak mengalami perang seperti saya.
Nilai keislaman
Saat perang, Aida Begic memperdalam pengetahuan dan amalan Islam. Sebagian besar karakter dalam filmnya juga berlatar belakang Islam. Namun, dia tak secara khusus menempatkan Islam sebagai titik berangkat dalam membuat film.
Bagaimana Anda menampilkan Islam dalam film?
Saya bercerita tentang manusia kepada publik dalam berbagai agama, tidak secara khusus menampilkan dimensi Islam. Kebetulan saja, latar belakang cerita dan karakter itu Islam.
Apakah Anda menemukan ekspresi budaya Islam yang sama antara Indonesia dan Bosnia?
Saya datang dari Bosnia, negara dengan populasi Muslim kecil. Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Sangat menarik melihat nilai yang sama menghubungkan hati kita meski tinggal di belahan dunia berbeda.
Seperti di Bosnia, Islam di Indonesia juga tampil dengan wajah yang lembut, sufistik, ramah, dan masyarakatnya majemuk. Kita tahu bagaimana hidup bersama kelompok masyarakat yang berbeda-beda, termasuk agamanya.
Masyarakat di sini religius, tetapi tidak terlalu kaku, lebih santai, terbuka pada keberagaman. Masyarakat memiliki kemampuan untuk memahami dan toleran terhadap perbedaan, sesuatu yang asing. Ini indah. Keindahan negara ini terletak pada masyarakat yang saya temui.
Apakah ekspresi demikian serupa dengan Islam di negara-negara lain?
Banyak variasi wajah Islam di dunia. Sebagian ada yang radikal, ada yang terbuka. Bahkan, di Timur Tengah, tempat lahirnya Islam, wajah Islam juga beragam. Itu terkait dengan mentalitas, sejarah, dan masyarakatnya.
Kenapa memenuhi undangan Madani Film Festival di Jakarta?
Sangat bermakna datang ke festival untuk menunjukkan keberagaman dalam budaya Islam, menyajikan presentasi tentang seni Islam. Merayakan keragaman di antara budaya Islam. Indonesia tempat yang indah untuk membahas tema ini.
Festival memutar film dari Perancis, Timur Tengah, Bosnia, Indonesia. Film berbicara tentang kehidupan Muslim. Kami menemukan banyak aspek berbeda dalam kehidupan Muslim di dunia. Masyarakat Muslim hidup dalam penderitaan, perayaan, kebahagiaan, drama mereka sendiri dalam beragam wilayah dengan kultur berlainan. Itu bagus untuk dibicarakan dan dipikirkan.