Revolusi Diri
Sejak remaja, Pupuk Daru Purnomo sudah menolak keterikatan. Begitu tamat SMA di Yogyakarta, ia minggat ke Jakarta dengan tujuan menjadi pegawai. Setelah puluhan kali ditolak, bahkan hanya untuk menjadi pegawai rendahan, ia terdampar di Pasar Induk Kramat Jati dan menumpang hidup pada seorang bakul kopi. Hari-hari hidupnya dilakoni penuh keprihatinan.
Perupa Pupuk Daru Purnomo (54) mengakui kenekatannya untuk minggat ke Jakarta tahun 1985 didorong oleh kondisi keluarganya yang broken home. ”Orangtua saya bercerai dan bapak kawin lagi. Jadi, saya tidak pamit untuk minggat ke Jakarta,” kata Pupuk, akhir Oktober 2018, di Yogyakarta.
Ia bekerja serabutan sebagai buruh angkut buah hanya untuk bisa makan dalam sehari. Sembari ”memburuh”, Pupuk juga ”memaksa” para juragan buah digambar. ”Saya punya bakat melukis potret, jadi saya paksa para juragan buah membeli gambar-gambar saya, ha-ha-ha…,” kata Pupuk.
Di dekat area pasar, mangkal seorang tukang bingkai foto dan lukisan. Dari tukang bingkai ini, Pupuk terkadang mendapat order untuk menulis ijazah atau sertifikat. ”Pokoknya apa pun saya jalani untuk menyambung hidup,” katanya.
Setelah tiga tahun, seseorang mendorongnya untuk kuliah di sekolah seni. Dengan bekal tabungan, Pupuk mendaftar di ISI Yogyakarta tahun 1987. Uang yang ia kais-kais di pasar kemudian berguna buat membayar ongkos kuliah selama satu semester dan mengontrak kamar kos-kosan di Yogyakarta.
Mengapa Anda tidak pulang ke rumah?
Ya itu tadi, saya korban broken home. Sewaktu minggat ke Jakarta, saya sudah bilang tidak akan mengharapkan warisan dari orangtua. Saya tidak ingin jadi beban orang lain.
Tujuan masuk ISI?
Saya mulai meyakini bisa hidup dari seni karena cuma itu kemampuan yang saya miliki. Sudah terbukti, puluhan kali melamar jadi pegawai, padahal cuma untuk pegawai kecil saja, tidak diterima juga.
Yo wislah…. Lalu, di ISI saya seangkatan dengan nama-nama yang kemudian besar, seperti Nasirun, Entang Wiharso, dan (alm) Made Sukadana. Karena motivasinya tinggi, saya memperoleh beasiswa Supersemar selama 3 tahun. Jadi lumayan kuliah tanpa bayar.
Hidup Anda dari mana selama kuliah itu?
Saya mulai membuat drawing atau lukisan potret yang dititipkan di banyak tempat, terutama di Hotel Ambarukmo.
Selama hidup, Anda sering kali ditimpa penyakit kronis, bagaimana cara mengatasi tekanan psikologisnya?
Ya, saya pernah sakit liver, lalu paru-paru, telinga yang berdenging karena kerusakan saraf, dan yang paling menakutkan sakit pada kedua mata saya. Tahun 2005 kedua mata saya mulai berbayang. Ini mengganggu pekerjaan saya sebagai pelukis. Kata dokter, ini katarak. Tahun 2009, dioperasi satu per satu. Saya pikir masalah akan selesai.
Tak lama setelah itu, saya mengalami periode paling kelam dalam hidup, tetapi tetap memaksa bekerja. Karena melukis dengan menggunakan mata mulai sulit dilakukan saya mulai mematung, menggunakan indera peraba.
Saat mengangkat patung, mungkin karena ngeden, retina mata saya lepas…. Mata saya benar-benar buta sebelah…. Saya takut, kok tiba-tiba gelap….
Anda mulai takut tak bisa melukis lagi?
Selama ini saya hanya bisa melukis. Jadi, itu tumpuan hidup saya. Setelah retina itu lepas, setiap lihat garis selalu putus dan warna-warna gelap. Saya putus asa. Karena waktu ke dokter, dibilang hanya bisa pulih 40 persen. Istri saya menjadi pendorong hidup paling luar biasa.
Mbak Ning (kepada Nining, istri Pupuk yang turut mendampingi saat wawancara), bagaimana cara Anda membesarkan hati Mas Pupuk?
Nining lalu mempersilakan kami minum teh dahulu dan mencicipi mendoan yang ia goreng sendiri.
”Ya saya selalu bilang, Tuhan kasih penyakit ini pasti ada maksudnya,” kata Nining. Kemudian Pupuk melanjutkan: Seorang dokter memberi tahu bahwa pelukis sekaliber Van Gogh punya periode karya di mana ia menderita katarak.
Ya karyanya memang jelek sih, tapi kan itu meninggalkan jejak. Itu cukup membesarkan hati. Jadi, saya terus saja berkarya entah nanti bagus atau malah enggak jadi apa-apa…. Wong bisanya cuma itu….
Bagaimana cara Anda memindai permukaan kanvas?
Sewaktu mengantar anak saya beli ikan cupang di pasar, saya mulai sadar kenapa enggak bikin abstrak. Ikan cupang itu terlihat sangat abstrak saat berkelahi. Saya mulai melukis abstrak, tak banyak, mungkin ada delapan.
Lalu juga melahirkan periode mosaik, berupa titik-titik. Ya mungkin hasilnya jelek, ha-ha…. tapi periode ini justru banyak dicari kolektor…. Saya juga heran. Mungkin karena saya tidak bisa lagi mengerjakannya dalam kondisi normal.
Bagaimana ceritanya mata Anda bisa sembuh total seperti sekarang?
Atas anjuran seorang teman, setiap hari saya mengonsumsi jus buah gac, yang memiliki kandungan vitamin C jauh lebih tinggi dari wortel atau jeruk. Sampai sekarang seluruh keluarga saya mengonsumsinya.
Independen
Perupa kelahiran Yogyakarta, 16 Juni 1964, ini dikenal para kolektor dan pemilik galeri tidak mudah diikat. Ia punya cara kerja dan kepribadian yang tangguh, tak mudah menyerah hanya karena uang.
Suatu kali seorang kolektor mapan mengajak para kolektor muda mendatangi rumah studionya di kawasan Sidoarum, Yogyakarta, lalu mengatakan bahwa karya-karya Pupuk sangat cocok sebagai investasi.
”Buru-buru saya potong. Saya tidak bisa memberi jaminan kalau karya saya layak sebagai investasi, yang bisa saya berikan, saya akan melukis sepanjang hidup,” kata Pupuk. Sikap ini penting bagi Pupuk untuk menghapus kesan bahwa ia mata duitan dan gampangan menjual karya.
Apakah sikap seperti ini membuat Anda dicap sebagai pelukis sombong?
Semua orang butuh duit, saya juga. Istri saya pernah tegur, jangan menolak rezeki, kalau ada kolektor yang mau beli. Saya kemudian bertanya kepada kiai saya, dia bilang, ”Kamu tidak menolak rezeki, tetapi memilih rezeki.” Jadi saya makin yakin pilihan saya benar.
Enggak mungkin saya melepas karya kepada seorang peminat yang baru pertama kali datang ke rumah. Saya harus pastikan dulu dia benar-benar menyukai karya saya.
Anda kan benar-benar hidup dari lukisan, kalau pas tidak punya uang, misalnya, apakah Anda akan jual karya kepada siapa saja, misalnya?
Oh enggak. Kalau sangat terpaksa, misalnya, untuk membiayai pameran, saya akan pilih kolektor saya yang sudah mapan. Sekarang, misalnya, kalau saya bilang kepada Jasdeep (Jasdeep Sandhu, Direktur Gajah Gallery Singapura), mau pameran tunggal, ia pasti akan bersedia pamerkan karya saya. Modalnya kepercayaan dan saling menghargai.
Tahun 2006 Jasdeep memberangkatkan beberapa pelukis dari Indonesia, Malaysia, dan Vietnam untuk tamasya ke Kuil Angkor Wat di Kamboja atas biaya dari Gajah Gallery. Pupuk secara kritis bertanya, apa tujuan tamasya itu dan biayanya ditanggung siapa.
Ketika diberi tahu bahwa ini tamasya yang kalau bisa dapat lukisan akan dipamerkan di Gajah Gallery, Pupuk buru-buru ambil sikap. ”Saya akan tanggung sendiri biayanya. Saya tidak mau terbeban saat tamasya,” kata Pupuk.
Selang beberapa bulan kemudian, justru cuma Pupuk yang bisa berpameran tunggal di Gajah Gallery dengan memamerkan 18 karya hasil perjalanannya ke Angkor Wat. ”Waktu itu sold out, semua terjual, kecuali satu karya yang mau saya koleksi sendiri,” ungkap Pupuk.
Akhirnya Anda bayar sendiri biaya tamasya itu?
Jasdeep memotong biaya perjalanan ke Angkor Wat dari penjualan karya saya saat pameran di Singapura.
Mengapa sikap independen ini penting bagi seorang perupa?
Saya hanya enggak mau kebebanan. Sejak kecil saya ini mudah terdramatisasi, selalu mikir, dan kemudian jadi beban. Pernah suatu kali ada yang kasih cat, saya berpikir terus ini jangan-jangan dia minta (beli) lukisan, dan seterusnya gitu….
Jadi, sewaktu kerja saya enggak mau mikir karya ini buat siapa. Saya ingin bebas. Bahkan, saat MOU dengan galeri pun, saya hanya mau sekali pameran, sudah itu selesai. Saya enggak mau dikontrak lalu dipasok cat, kanvas, dan segala materialnya. Jadi, selama ini saya enggak punya apa yang disebut bapak angkat itu….
Saya dengar ibu Anda sangat berperan dalam hidup Anda?
Sewaktu hidup saya terpuruk, dia cuma berpesan begini: kalau kamu mau jadi pelukis, yang kamu kejar itu bukan kekayaan. Kalau cuma mau kaya, karena kamu orangnya hemat, kamu dagang aja pasti kaya.
Tetapi, kalau mau jadi pelukis, yang kamu cari harus nama dulu. Kamu enggak cari kekayaan, tetapi nama, nanti kekayaan akan menyusul sesuai dengan yang kamu capai.
Akhirnya saya berpikir, saya enggak bisa janjiin apa-apa, saya bisanya cuma nggambar…. Itu pesan yang selalu saya ingat. Jadi, nama itu perkara penting sebagai orang yang hidup dari dunia citra. Harga lukisan itu relatif, tergantung cara melihatnya.
Begitu juga lukisan jelek atau bagus, itu juga relatif. Buat saya, lukisan periode saya mengalami kebutaan itu mungkin kurang sempurna, tetapi kan banyak orang yang kemudian mengoleksinya. Mungkin karena ia punya jejak dipandang dari sekarang.
Sekarang Anda menjadi salah satu pelukis Indonesia yang karya-karyanya dikoleksi banyak kolektor, apalagi keinginan Anda?
Ya saya mengalir saja. Sejak dulu, setidaknya sejak pameran tunggal pertama saya di Bentara Budaya Yogyakarta tahun 1995, karya saya sudah mulai terjual dan itu berlanjut sampai sekarang. Saat ada booming seni rupa, saya biasa saja, saat banyak seniman krisis saya juga biasa saja. Artinya, sampai sekarang, masih ada yang mau mengoleksi karya saya.
Cuma saya ingin memamerkan karya-karya etalase boneka saya, yang terinspirasi dari etalase boneka Marionette di Praha. Ini periode yang menampung hampir seluruh drama hidup saya.
Mungkin tahun depan saya akan pamerkan khusus karya etalase boneka, jumlahnya dulu 10 buah, tetapi sudah terjual 3 karya, kini tinggal 7 saja. Periode itu seperti revolusi dalam hidup saya setelah melalui begitu banyak cobaan.
Mbak Nining kembali menawarkan teh dan mendoan goreng yang sejak tadi belum kami sentuh. Telanjur dingin. Pupuk buru-buru mengajak makan siang di sebuah warung ayam goreng sederhana bernama Kepik Sawah di kawasan Godean, Yogyakarta, yang mana sawah masih banyak menghampar.