Jalinan alami seperti kisah asmara anak muda dapat melebur sekat-sekat primordial dan ego sektarian. Ini mewujud dalam Studio Mendut yang dikelola Sutanto alias Tanto Mendut (64). Kedamaian mewujud karena mereka berteman.
Di tempat Tanto, berkumpul anak muda dari berbagai kelompok dan agama. Ada anak atau keponakan petinggi organisasi kemasyarakatan berbaur dengan kelompok abangan atau kejawen. Mereka akur-akur saja.
”Ormas-ormas ini kenapa rukun? Karena adik-adiknya ikut menari di sini. Sepele banget, kok,” kata Tanto menggambarkan kerukunan di Magelang, Jawa Tengah.
Pendiri sekaligus penggerak Komunitas Lima Gunung ini menambahkan, ketika orang-orang memahami tujuan yang sama, mereka bisa akur. Di tempatnya, anak-anak itu ingin foto untuk Instagram, mencari jodoh, sama-sama tertarik kepada perempuan atau lelaki berparas surgawi. Mereka akur karena sama-sama mencari hal yang sama. ”Konsep bersatu itu sederhana,” ucap Tanto.
Dia lalu mengkritik gaya orang kota dalam menyampaikan pesan persatuan. Biasanya para elite dari beragam agama dikumpulkan lalu berdialog tentang agama dan pentingnya toleransi. ”Itu elitis. Pemimpin terus yang muncul.”
Tanto memberikan metafora tentang persatuan di tingkat akar rumput. Di desa di sekeliling Candi Borobudur, ketika pemilu, warga kerap saling bertanya memilih siapa. Namun, jawabannya selalu halus. ”Jawabane, ’padha karo kancane’. Itu fundamental,” kata Tanto.
Frasa padha karo kancane atau sama dengan temannya, menurut Tanto, memiliki kedalaman makna. Frasa itu menyiratkan bahwa siapa pun calonnya, mereka sejatinya berteman, tertawa dan berjabat tangan saat bertemu, seperti Jokowi dan Prabowo sekarang.
Jadi, siapa pun pilihan kita pasti sama dengan pilihan yang lain, sama-sama memilih orang-orang yang berteman. Dengan demikian, tidak perlu bertengkar hanya karena berbeda pilihan.
Politik, bagi Tanto, hanya permainan, seolah-olah berkonflik. Dia mencontohkan seorang tokoh sebuah partai politik yang membiayai keponakannya untuk menjadi calon anggota legislatif dari partai politik lain.
Padahal, antara partai politik tempat tokoh itu beraktivitas dan partai politik kendaraan keponakannya mengusung calon presiden yang berbeda. ”Sebenarnya tidak serius banget. Yang penting keponakannya jadi tokoh, kok.”
Bagi orang desa, perbedaan partai politik atau agama itu urusan pribadi yang tak perlu diributkan.
Selain itu, setiap orang mempunyai sisi gelap sekaligus sisi terang. Dia mencontohkan pria yang berjuluk Mister Ojo Dibahas. Perilakunya banyak yang minor sehingga rekan-rekannya enggan membahasnya.
Namun, di balik itu dia memiliki kesetiaan yang tak diragukan lagi dalam berkontribusi terhadap Festival Lima Gunung. Dia lalu mendapat penghargaan dari DPRD di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Tanto menganjurkan tak perlu menyoal sisi gelap orang lain karena kita berteman. (E10/E17/MHF)