Cerita Masa dan Musik
Waktu mengalun, mengubah Addie Muljadi Sumaatmadja dari anak pemberontak menjadi sosok yang mengajak telinga menikmati keindahan musik. Pria yang pada tahun ini akan genap berusia 60 tahun itu meluncurkan biografi Addie MS sebagai peringatan 40 tahun berkarya di jagat musik.
Biografi Addie MS susunan Evariny Andriana terbitan BIP ini mengisahkan sosok Addie MS dari bocah ”nakal” sampai ia ikut menorehkan nada-nada indah di belantika musik sejak era 1980-an, hingga mengayun baton atau tongkat pengaba dalam Twilite Orchestra.
Ternyata Anda pemberontak, ya?
Aku itu pemberontak. Paling bergejolak dari delapan bersaudara, enggak tahu kenapa. Kalau enggak diajak pergi sama Papa, aku pasti berontak, mobil aku tendang kacanya, prangg! Sampai pecah. Zaman pacaran, Memes paling tegang.
Jika ada bus begajulan, pasti kukejar. Aku pasti turun, terus bilang sama sopir, turun kamu! Memes selalu nangis ha-ha.... Kalo udah teng gitu, enggak ingat apa-apa.
Addie lahir dari pasangan Bandi Sumaatmadja dan Sri Wahyuni. Bapaknya pejuang, tergabung dalam Tentara Pelajar, dan setelah kemerdekaan bekerja di Departemen Perdagangan. Sang bapak lalu mendirikan usaha pabrik ubin teraso.
Aku anak ketiga dari delapan bersaudara, ceweknya satu. Waktu kecil, aku pernah nganter pasir dan tegel, di truk, bersama kakak-kakakku. Makanya, (Papa) penginnya anaknya mau terusin usaha ubin, ha-ha....
Tetapi Anda memilih musik?
Iya..Eyangku, Mbah Susilo, itu arsitek yang ikut merancang kota Kebayoran. Mbahku itu otodidak di musik, dia arsitek, tetapi kadang-kadang main biola. Ada juga tante dan sepupu, dua-duanya bisa main musik klasik. Ketika kumpul di rumah Mbah di Bandung, mereka selalu main musik.
Kapan Anda mulai menekuni musik?
Aku dihadiahi piano pada umur 12 tahun, saat lulus SD. Itu sebenarnya piano untuk di rumah, tetapi kebetulan pas ultahku. Piano Petrov bekas, dibeli ibu dari adiknya. Aku saja yang main terus.
Baru aku dengar cerita kakakku yang paling tua, ”Kalau Addie udah main annoying (mengganggu) banget.” Dulu, kalau lagi kesel, aku main keras banget.
Akhirnya, aku dilesin di Mrs Rotti, orang Belanda. Orangnya sudah tua dan ketat banget kalau ngajar. Kursus selama dua tahun, dan itu juga bukan sampai (tingkat) tinggi banget, tapi memberi aku modal membaca notasi dan memperkenalkan aku dengan bahasa musik.
Dari kemampuan yang tidak hebat-hebat amat itu, passion-ku berkembang. Tapi, karena belum ketemu guru, aku cari buku-buku sendiri. Jadi, selebihnya otodidak.
Pilihan Anda di musik apakah disetujui orangtua?
Waktu lulus SMA, aku diminta melanjutkan kuliah. Aku bilang hidup cuma sekali, aku pengen ikuti apa yang aku suka, yaitu musik. Tapi, dilarang karena musik itu bukan profesi.
Terus aku bilang ke Papa. ”Gini deh, Papa enggak usah ngasih aku uang sama sekali. Aku numpang minum dan makan saja. Papa, kan, punya delapan anak, ada satu yang gagal, kan, enggak apa-apa.”
Itu masa terberat karena pengin beli buku, tapi enggak ada duit. Akhirnya minjem duit ke tante. Kalau ada duit, aku beliin buku, atau rekaman.
Bapak Anda yakin dengan pilihan hidup Anda?
Enggak pernah yakin dia. ”Udah, pegang pabrik ubin aja....”
Aku disuruh jadi kasir, akhirnya kami jadi tegang terus. Dia enggak pengen anaknya telantar.
Masak main musik? Aku pernah jadi kasir. Tapi, aku tekor terus tiap gajian karena enggak tegaan. Kembaliannya kurang, aku kasih lebih. Aku bukan orang bisnis.
”Good music”
Pada 1982, Addie menggarap musik album Vina Panduwinata, Citra Pesona, produksi Jackson Record. Album ini jadi tren ketika itu, semacam standard baru pada musik pop. Semula, produser Jackson Arief enggan membiayai rekaman dengan orkestra dan rekaman di Filipina pula. Namun, Addie bersikeras dengan idealismenya.
Bagaimana reaksi mereka waktu itu?
Aku diketawain, sok tahu banget. Aku bilang, aku mau honorku dipakai semua untuk rekaman orkestra di Filipina. Ketutup enggak? ”Ya bisa, tapi kamu enggak dapet apa-apa.” Ya udah, aku berangkat. Aku bahagia. I believe in good music.
Album itu meledak. Musik pop bisa bagus dengan orkestrasi meskipun aku enggak dapat duit sama sekali. Aku dapat bonus 1.000 dollar AS. Ditambah tabunganku, aku habisin untuk ke Amerika, belajar recording engineering di Ohio, 1984.
Hasil belajar sound engineering?
Pulang dari situ, proyek pertama yang aku lakukan ngerekam album Utha Likumahuwa, Aku Pasti Datang, tahun 1985. Semuanya, dari ngerekam sampai mixing, aku tangani sendiri. Aku belajar dari Ohio bahwa karakter mikrofon itu berbeda. Tiap mik punya kekhasan yang belum tentu cocok untuk semua orang.
Kita harus jujur sama kuping. Taunya mik Shure SM58 yang cocok untuk suara Utha. Itu mikrofon murah, enggak pernah dipakai buat rekaman vokalis di studio. Pas Jackson tahu, dia marah, dan minta harus diulang. Aku bilang, itu bagus karena suara lelakinya keluar. Eh albumnya meledak.
Hasil belajar sound engineering itu sangat berguna ketika Addie diajak Indra Bakrie dan Oddie Agam membentuk Twilite Orchestra pada 1991. Idealnya orkes simfoni harus dinikmati tanpa amplifikasi bunyi. Hal itu hanya mungkin jika orkes simfoni bermain di gedung konser dengan sistem akustik yang memadai.
Meski begitu, Addie dan Twilite Orchestra siap tampil di mana pun. Pagi sebelum konser yang berlangsung, Addie akan turun langsung membereskan tata suara dan memastikan panggung untuk musisi beres.
”Kadang, aku buka baju, angkat-angkat kursi, dan itu masih sampai hari ini. Aku pastikan pandanganku enggak keganggu dengan musisi lain, dan mereka mainnya nyaman.”
Dari musik industri kemudian menangani orkestra, apakah ada problem?
Indra (Bakrie) mau dukung kalau aku full time. Itu berat sekali karena aku sudah punya rumah tangga dan Kevin (anak pertama) sudah umur setahun. Memes awalnya enggak setuju. Duit banyak, tiba-tiba stop.
Kadang ada yang telepon, ”Tolong bikin rekaman” aku jawab, ”Maaf, saya enggak bikin rekaman....” Kesannya sombong, dan aku harus jelasin panjang.
Tapi, kalau ditanya kenapa akhirnya aku bersedia, aku juga enggak tahu jawabannya. Itu dari dalam saja, aku merasa happy di situ (Twilite Orchestra).
Kalau tanpa bantuan Indra (Bakrie), enggak mungkin. Masa awal memang berat banget. Tapi, kalau aku lihat, itu simply karena passion. Waktu itu, aku suka dibecandain, ”Ah...paling dua bulan.” Tapi, kalau udah tuiiing, nothing can’t stop me...!”
”Indonesia Raya”
Selain menggarap lagu-lagu daerah dalam album The Sounds of Indonesia, dan menggelar konser Simfoni Negeriku, Addie MS bersama Twilite Orchestra juga merekam lagu kebangsaan, ”Indonesia Raya”. Album ini didukung oleh pengusaha Youk Tanzil.
Rekaman ”Indonesia Raya” itu seperti apa?
Tahun 1997, Pak Youk (Tanzil) datang ngasih job musik. ”Aku butuh rekaman ’Indonesia Raya’,” katanya.
Aku wadul (curhat) ke Pak Youk, bendera kita kalau lusuh, pasti sudah dimaki-maki. Garuda dipajang dengan kepala miring pasti diketawain.
Lha ”Indonesia Raya” kita ini sudah kresek-kresek. Waktu itu, Indonesia sudah 46 tahun, dan disandingkan musik kekinian, kok, enggak ada yang malu.
Akhirnya, Pak Youk sendiri yang biayain rekaman (di Sydney, Australia). Pas didengar pertama kali dengan sound yang bagus, Pak Youk keluar ruangan dan nangis. Aku jadi ikut nangis, kami berpelukan. Sampai Jakarta, dia perbanyak, dan dibagikan gratis.
Musik dan orkestra, mengubah diri Anda?
Aku pikir, waktu yang mengubah jadi aku lebih sabar. Kalau ada yang salah, aku enggak sabar. Enggak semua masalah diselesaikan dengan keras. Kadang, kita ngalah dikit, bisa selesai. Waktu yang mengubah, bukan orkestra yang mengubah aku.
Setiap konser, aku berhadapan dengan banyak orang dan aku harus kelola semua. Lama-lama membentuk aku menjadi lebih problem solving.
Menggarap orkestra sama aja mengelola keanekaragaman. Luar biasa berbedanya alat musik, not yang berbeda, dan orang yang berbeda. Gimana perbedaan dalam chaos diarahkan dalam sinergi. Kita akhirnya bikin semua dalam harmoni.