Mimpi dan Persahabatan Ardhito Pramono Menyatu di Java Jazz Festival
Musisi jazz Ardhito Pramono muncul sebagai sosok muda yang mencuri perhatian atas musikalitasnya dalam pop jazz di tengah dominasi musik pop dan terjangan musik EDM.
Musisi jazz Ardhito Pramono (24) muncul sebagai sosok muda yang mencuri perhatian atas musikalitasnya dalam pop jazz di tengah dominasi musik pop dan terjangan musik EDM.
Di mata publik, Ardhito adalah musisi yang santai, cool, dan menikmati panggung ketika tampil. Namun, bagaimana dengan sosok Ardhito ketika berada di balik panggung?
Sisi lain Ardhito terungkap dalam wawancara ketika dia berkunjung ke Menara Kompas di Jakarta, Rabu (19/2/2020). Ardhito menceritakan persiapannya menjelang Java Jazz Festival (JJF), sebuah festival musik bergengsi di bagian selatan dunia, dan proses kreatifnya dalam menciptakan musik.
Bagaimana persiapan menjelang JJF pada 28 Februari-1 Maret 2020?
Gue main pada 28 Februari. Persiapannya cukup intens karena gue yang awalnya enggak bisa menulis partitur terpaksa mencari orang yang bisa menulis partitur. Jadi, gue sempat menghubungi Aldi Nada Permana untuk bantu tulis partitur agar bisa dibaca sama musisi-musisi yang sudah gokil itu.
Persiapan lainnya latihan sama anak-anak dan ngobrol sama tim juga. Gue latihan baru dua kali. Tetapi, gue manggung lumayan sering, jadi setiap mau manggung, kami pasti latihan pas check sound. Jadi total, ya, persiapan sudah berjalan selama sebulan.
Sebenarnya, Java Jazz 2020 ini yang paling spesial karena gue bakal featuring sama salah satu musisi dan pemain trompet legendaris Ron King.
Apa saja yang akan ditampilkan dalam JJF?
Gue bakal rilis mini-album pada 28 Februari. Pas tampil pada 29 Februari, gue akan main seluruh mini-albumnya perdana di Java Jazz Festival. Set list-nya nanti 10 lagu, terdiri dari album mini yang pertama, A Letter to My 17 Year Old, lalu album mini kedua, Craziest Things Happened on My Backyard, dan lagu ”Fine Today” yang merupakan lagu soundtrack untuk film Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini.
Ini yang kedua kali tampil di JJF, apa makna JJF?
JJF itu kayak sesuatu yang enggak bisa gue lewati setiap tahun. Dari SMP, mimpi gue bisa main di Java Jazz. Dari SMP dan SMA belum sempat, lalu kelar kuliah bisa ke JJF cuma untuk meliput. Baru tampil pada 2019 lalu. Buat gue, makna JJF adalah acara tahunan yang enggak bisa dilewati begitu saja di mana meskipun gue enggak tahu salah satu artisnya, tetapi bisa menginspirasi gue dalam berkarya.
Ada ceritanya juga, salah satu teman SMP gue, namanya Dana. Gue sayang banget sama teman gue ini. Dia suka main gitar dan gue main drum. Kita lagi telat, dia dihukum dan menangis karena enggak ada yang bangunin pagi-pagi. Terus gue bilang, tenang saja, kita bakal bikin band dan akan tampil di JJF. Sampai SMA, kita masih nge-band. Pas kuliah, dia pindah kota dan kita udah enggak berhubungan lagi.
Pas gue abis manggung di JJF tahun 2019, dia nyamperin gue. Dia membahas soal impian ingin tampil di JJF, akhirnya gue yang tampil duluan. Itu memori yang enggak bisa gue lupain soal JJF. Kalau ingat, jadi heartwarming karena tentang persahabatan dan merasa bagian dari keluarga.
Pernah muncul kritik bahwa JJF sudah tidak jazz. Bagaimana tanggapannya?
Menurut gue, masih jazz. Mungkin dalam beberapa tahun ada beberapa line up dari musik pop. Tetapi, artis pop yang tampil juga mengaransemen lagunya supaya kedengaran jazz. Waktu itu gue nonton Iwan Fals yang bukan musisi Jazz, tetapi dia main bosas (bossa nova). Bebas, sih, kalau namanya festival, bebas mengundang semua artis. Cuma, konsep artisnya harus berubah, bisa dalam bentuk set panggung. Gue juga jadi merasa tertekan, gue harus jazz banget gitu.
Bagaimana antusiasme pasar terhadap JJF dan musik jazz?
Line up JJF mulai dari The Jacksons hingga Bruno Major. Dari kakek, ayah, sampai anak-anak bisa nonton JJF. Lebih luaslah.
Pasar musik jazz dulu segmented. Orang mengerti jazz itu hanya funk atau fusion. Padahal, jazz bukan cuma itu. Gue datang ke industri ini dengan membawa musik jazz yang sedikit terlupakan dan bersama-sama membuat kolaborasi musik. Gue coba membawa bosas, yang dulu sempat dibawa oleh Rafika Duri dan Ermy Kulit, diterima. Lagu-lagu fast swing gue juga diterima anak-anak muda. Mungkin dari tahun 2000-an sampai sekarang jazz sudah lumayan diterima. Semua orang suka mendengarkan jazz setiap hari. Tujuan gue bermusik sebenarnya sudah kesampaian, agar anak muda mendengarkan lagu fast swing, Sarah Vaughan, Sam Saimun. Sekarang mereka mendengarkan lagu-lagu itu, jadi seleranya sudah mulai terbuka.
Bagaimana proses kreatif dalam membuat musik?
Proses kreatif enggak, sih, niat saja. Gue balik ke studio dengan niat bikin lagu atau kadang di tengah tur bikin lagu. Main beberapa chord saja bisa jadi lagu. Ada beberapa lagu yang dibuat pas di atas panggung pas lagi check sound, terus dicatat, direkam, dan dibawa ke studio untuk direkam. Gue biasanya mulai dari chord dulu, baru lirik.
Inspirasi lagu-lagu gue, kayak di album mini baru ini, random. Misalnya, ada lagu judul ”Trash Talking” tentang sebal dan muak dengan orang-orang yang ingin menunjukkan kehidupan sosial dan dirinya lebih tinggi. Kita lagi cerita, terus orang itu kayak, ”Oh, iya, gue juga, lebih-lebih gue.” Ada juga lagu mengenai pengalaman pribadi, seperti mengenai kebiasaan minum gue yang ujung-ujungnya jadi enggak bisa KPR rumah. Ada juga lagu sedih yang judulnya ”Happy” yang menceritakan orang yang telah berusaha membuat senang orang yang disayangnya, tetapi ternyata belum.
Video-video klip lagu gue enggak gue sutradarai sendiri. Gue sempat mau, tetapi susah loh harus menyutradarai dan berperan. Mendingan gue sewa sutradara saja, tetapi ada kolaborasi ide juga dari gue.
Siapa saja musisi yang menginspirasi dalam bermusik?
Gue dengerin musik lawas dan jazz sejak usia 6 tahun dari eyang. Musisi yang menginspirasi banyak sih sekarang. Ada yang dari tahun 1918, Gene Austin dari tahun 1920-an, sampai musisi dari era 1940-an sampai 1950-an. Musisi Indonesia dari tahun 1940-an, hampir semua artis di tahun itu gue jadikan inspirasi di awal karier.
Sekarang ada yang lebih modern, seperti Fiona Apple atau musisi Indonesia seperti Hindia. Bahkan sekarang di atas panggung bareng mereka dan sering tukar pikiran sehingga referensinya jadi luas banget. The Strokes-lah bisa tiba-tiba, luas saja. Pengaruh musisi luar negeri dan dalam negeri terhadap musik gue 50:50.
Sejauh mana pengaruh mereka dalam karya yang diciptakan?
Lumayan jauh. Dalam album gue yang baru ini, gue mendengarkan Antonio Carlos Jobim dan (João) Gilberto, mereka membuat album bersama Stan Getz. Gue dengerin album itu, terus memikirkan bagaimana caranya membuat lagu dengan sound yang sekarang. Penyanyinya juga anak muda, tetapi bisa didengarkan sama anak muda dan tidak dicap sebagai musik tidur. Beberapa kali gue tampil di panggung nyatanya anak-anak awalnya ”woah”, tetapi enggak benar-benar menikmati musik. Jadi ini PR buat gue untuk bisa, entah dengan membuat panggung jadi menarik atau apa.
Mengapa kebanyakan lagu dalam bahasa Inggris?
Beberapa lagu sebenarnya bahasa Indonesia, seperti ”Bila”, ”Di Senayan”, dan ”Perlahan Menghilang”. Gue juga ingin merilis lagu bahasa Indonesia, cuma belum bisa menemukan kenyamanan menulis pakai bahasa Indonesia. Gue sering ikut workshop-workshop bareng Sal Priadi dan Nadin Amizah untuk menulis lagu dalam bahasa Indonesia yang enak. Mereka punya formula sendiri. Untuk bahasa Inggris, gue, Rendy Pandugo, dan Vira Talisa juga punya formulanya sendiri, tergantung mulainya dari mana.
Untuk feel lagu, sama saja pakai bahasa yang mana, yang penting kata-katanya bagus. Gue pede nyanyi bahasa Indonesia kecuali liriknya enggak gue banget atau gue enggak bisa mendapatkan apa yang ingin disampaikan pencipta lagu ke penonton.
Bagaimana Anda mengategorikan musik sendiri?
Musik gue jazz dan ada unsur pop. Gue pernah bilang gue musisi jazz, terus dihujat. Jadi, ya, gue bilang musik gue pop jazz, ada sentuhan jazz, tetapi masih pop juga.
Ke depan, gue masih akan tetap mengulik di sini, sampai gue merasa ini musik yang gue mau. Tetapi, belajar dari yang sudah-sudah, kayaknya gue enggak mau lompat genre atau lintas genre. (*)