Pelita Edy dan Swan Ti
Ada bara yang selalu membuat semangat pasangan fotografer dan pendidik, Edy Purnomo dan Ng Swan Ti, terus menyala, yakni ketika melihat anak-anak didik mereka menemukan apa yang mereka cari melalui fotografi.
Ada bara yang selalu membuat semangat pasangan fotografer dan pendidik, Edy Purnomo dan Ng Swan Ti, terus menyala, yakni ketika melihat anak-anak didik mereka menemukan apa yang mereka cari melalui fotografi. Pada nyala itu, keduanya terus bersiteguh.
Dari fotografer lepas, Edy dan Swan Ti merambah dunia yang tak pernah mereka rencanakan, menjadi pendidik di bidang fotografi. Semua berawal dari keinginan untuk berbagi.
”Awalnya sebenarnya dari awal karierku juga. Sekitar tahun 1998-2003. Saat itu aku merasa masuk ke fotografi juga karena dididik sama Maya Vidon (mantan bos Edy di Kantor Berita Perancis, Indonesia). Nah, itu sangat berarti buat aku,” ujar Edy yang ditemui Kamis (7/5/2020) sore di Jakarta Selatan bersama sang istri, Swan Ti.
Pengalaman itu membuat Edy memiliki pemikiran yang sama, berbagi ilmu. Sebagai jurnalis foto dia merasa memiliki sesuatu yang layak dibagikan.
Tahun 2003, Edy pertama kalinya memberi lokakarya. Ide membuat pendidikan fotografi pun muncul. ”Gimana kalau bikin pendidikan fotografi. Kalau aku cuma sendiri, perspektifnya cuma satu. Aku pengin ajak kawan-kawan kayak satu kolektif. Jadilah Rana Foundation. Itu tahun 2004,” tutur Edy.
Dengan payung Rana Foundation, Edy membangun kolektif bersama tujuh fotografer lain, termasuk Swan Ti. ”Awalnya enggak hanya berdua. Ada kolega dan teman fotografer lain juga. Ngobrol-ngobrol, kayaknya seru kalau selain motret bareng, kami juga berbagi. Tapi ini bukan keputusan sadar kami mau melakukan edukasi fotografi. Waktu itu belum kepikir ke sana,” ujarnya.
Bersama Rana, Edy dan Swan Ti lalu memulai perjalanan berbagi mereka ke kampus-kampus. Hal-hal yang mereka bagikan pun masih sederhana. Lebih banyak hal teknis, berangkat dari pengalaman mereka. Mulai memotret, scanning, mengirim foto, membuat invoice, menawarkan cerita, dan bekerja profesional sebagai jurnalis foto paruh waktu. Kadang juga hanya simulasi mengirim foto.
”Kami ngajar bawa tentengan semua. Scanner. Kedua kampus yang aku ingat, UNJ dan IISIP. Mereka bingung kenapa kami mau mengajari terus enggak minta bayaran,” ujar Swan Ti.
Saat itu, lokakarya fotografi seperti yang mereka lakukan belum terlalu umum. Pembelajaran fotografi yang diketahui orang adalah pendidikan yang dilakukan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) atau klub foto.
Mengelola ruang
Bersama Rana, perjalanan berbagi Edy dan Swan Ti makin jauh. Tahun 2004, setelah tsunami, mereka ke Aceh memberikan pelatihan fotografi. Setelah dua tahun, Rana bertransformasi menjadi JiwaFoto yang pada tahun 2004 membuat pendidikan fotografi. Dari Jiwa, mereka melebur ke PannaFoto Institute yang juga fokus di pendidikan.
Saat itu, World Press Photo (WPP) mulai memberi mereka dukungan. Mereka diundang mengikuti pelatihan WPP. Salah satunya Training for Trainers tahun 2006 di Amsterdam,
Belanda. ”Itulah feedback yang paling besar. Kemudian lahirnya Panna. Itu titik baliknya karena kami jadi tahu pendidikan secara terstruktur,” kata Edy.
Mereka terus melaju. Pengalaman dari Aceh memberi pelajaran berarti. Aceh, bagi Edy dan Swan Ti, ibarat momentum. ”Bagaimana kami meliat ada organisasi yang bertujuan nirlaba, lebih untuk perubahan sosial. Kami lalu bikin Mamipo (Malang Meeting Point),” kata Swan Ti.
Konsep Mamipo adalah belajar mengelola ruang karena sebelumnya mereka mengajar fotografi dengan berkeliling. Di rumah yang menjadi markas Mamipo, mereka membuat perpustakaan, juga tempat diskusi. Mereka mengusung fotografi yang membawa misi perubahan.
”Konsepnya lebih ke ruang cipta dan dialog, terutama bagaimana menggunakan fotografi untuk keberagaman. Value-nya lebih ke sana,” kata Swan Ti.
Tahun 2008-2011, Edy bolak-balik Jakarta-Malang mengurus Mamipo. Tahun 2011, mereka kembali fokus ke Jakarta karena Panna membuat program Permata Journalist Grant bersama Bank Permata. Swan Ti menjadi Managing Director PannaFoto Institute.
Tantangan terbesar di awal mengelola program tersebut adalah bekerja dengan peserta yang memiliki latar belakang pemikiran berbeda. Kedua, menumbuhkan sikap kritis dan terbuka.
”Berpikir terbuka sangat penting karena kembali lagi, fotografi sebenarnya hanya alat atau medium untuk menumbuhkan cara berpikir terbuka. Yang aku pelajari, banyak konflik lahir karena prejudice, judgemental,” kata Swan Ti. ”Nah, karena kami fotografer dan bergerak di situ, inginnya, ya, berkontribusi. Kalaupun enggak mengubah semua tatanan masyarakat. Paling enggak ada satu dua jurnalis yang berpikiran lebih terbuka, lebih menghargai keberagaman.”
Toh, keduanya tak surut. Selalu ada yang melecut mereka untuk maju. Salah satunya antusiasme peserta.
”Dulu sebelum terjun ke dunia pendidikan, aku selalu bertanya ke diri sendiri. Aku, kan, fotografer, pasti ada ego, nanti kalau mendidik murid-murid pinter gimana, ya. Tapi ternyata beda. Melihat mereka lebih dari kami itu jauh lebih membahagiakan,” katanya.
Bukan pilihan pertama
Fotografi sesungguhnya bukan pilihan pertama Edy dan Swan Ti. Sebelumnya, Swan Ti berurusan dengan sepatu dan bahan pangan, sementara Edy menggeluti dunia interior.
Saat mahasiswa, Swan Ti yang senang naik gunung memotret awan dengan kamera pinjaman. Hasilnya diperlihatkan kepada teman kosnya dan dikritik fotonya kurang bagus.
Dia mulai ke dunia fotografi sejak ikut kelas Kumara Prasetya, salah satu pengajar fotografi profesional. Motivasi Swan Ti untuk bisa memotret ketika itu karena ia suka jalan-jalan dan menceritakan hasil jalan-jalannya.
Rupanya, dari situ dia terpacu belajar lebih serius. Dari Kumara, Swan Ti melompat ke Klub Foto Media (KFM), belajar pada fotografer senior Antara, Hermanus Supriatna, hingga ke WPP. Dia tak menyangka fotografi membawanya sejauh itu karena sebenarnya minatnya banyak. Tak hanya fotografi.
”Bukan fotografinya sebenarnya, tapi bagaimana fotografi membawa aku berkenalan dengan banyak dunia, banyak cerita, hal-hal yang enggak kubayangkan, kulakukan atau kuketahui kalau aku kerja di kantor. Fotografi bisa jadi alat untuk eksplorasi cita-citaku tentang keberagaman,” tutur Swan Ti.
Edy yang serius menggeluti fotografi di tahun 1998 belajar fotografi di GFJA. Setelah belajar, ia melamar menjadi stringer di Kantor Berita Perancis dan diterima. Hari itu juga ia meninggalkan pekerjaan kantoran yang sudah ditekuninya selama empat tahun.
Kini, setelah sekian lama bergelut di dunia fotografi, bahkan menjadi pendidik fotografi, mereka menyepakati satu hal. Hal terpenting dari pendidikan fotografi adalah bagaimana fotografi, selain menumbuhkan sifat terbuka, juga menumbuhkan rasa ingin tahu.
”Buat kami, edukasi tantangannya bagaimana peserta terinspirasi. Ketika mereka terinspirasi, mereka akan terus mencari,” kata Swan Ti. Seorang fotografer yang berhenti mencari, tidak berpikiran terbuka, tentu akan ”mati api”, kehilangan elan.
Edy dan Swan Ti merasa pekerjaan rumah mereka masih banyak. Perjalanan juga masih panjang. Namun, keduanya tetap teguh. ”Ya tetap dituju,” kata Swan Ti.
Mereka berencana membuat pendidikan lebih terstruktur berupa pendidikan satu tahun setara Diploma 1. Selama ini, pendidikan yang mereka buat lebih berupa pelatihan. ”Basic-nya, fotografi sebagai bahasa. Dengan begitu tetap harus ada pesan, bagaimanapun cara menyampaikannya,” kata Swan Ti.
Ibarat pelita, nyala semangat mereka terus benderang, sejauh apa pun jalan membentang.
Edy Purnomo
Lahir: Ponorogo, 13 September 1968
Pendidikan formal:
- SMAN 1 Ponorogo (1988)
- Universitas Jember, Sastra Inggris (1989-1994)
Pendidikan nonformal:
- Worskhop for South East Asian Photographer oleh World Press Photo (2002)
- Workshop Training for Trainers oleh World Press Photo (2006)
Pengalaman kerja:
- Fotografer lepas dan pendidik fotografi (2003-sekarang)
- Stringer fotografer Getty Images News Service (2001-2003)
- Stringer fotografer Agence France Presse (1998-2001)
- Marketing Executive Dekor Haus (1994-1998)
Organisasi:
- Ganesha Pala (pendiri pencinta alam SMAN 1 Ponorogo) (1987)
- Rana Foundation (pendiri) (2004)
- Mamipo, Malang Meeting Point (2008-2011)
- PannaFoto Institute (2006-sekarang)
Karya:
- Buku foto Passing (2012)
- Buku foto Wildtopia (2018)
Ng Swan Ti
Lahir: Malang, 31 Agustus 1972
Pendidikan formal:
- SMA Santa Maria, Malang (1988)
- Diploma 1 Universitas Brawijaya, Malang (1990)
- STIE Malangkuçeçwara, Malang (1992)
Pendidikan nonformal:
- World Press Photo South East Asian Photography Workshop and Photo Exhibition, Jakarta, Indonesia (2002)
- World Press Photo Cooperation with Asia Europe Foundation Workshop and Photo Exhibition; Amsterdam, Belanda (2003)
- Perjalanan kuratorial ke Fotofestival Mannheim_Ludwigshafen_Heidelberg dengan dukungan Goethe-Institut Indonesia (2003)
- Ford Motor Company International Fellowship of the 92 Street Y; New York, AS (2011)
Pengalaman Kerja:
- Managing Director di PannaFoto Institute (2017-sekarang)
- Program Manager di PannaFoto Institute, Jakarta (2011-2017)
Karya:
- Terpilih mengikuti Noorderlicht Photo Festival, Belanda (2006)
- Pameran tunggal dan menerbitkan buku foto Illusion, Yogyakarta (2014) dan Jakarta (2015)
- Terpilih mengikuti Jakarta Biennale (2015)
- Terpilih mengikuti Dong Gang International Photo Festival, Korea Selatan (2016)
- Pameran tunggal ”My Name is Ng”, Hong Kong (2018)