Cambuk Kreativitas Jay
Lahir di Ankara, ayahnya yang kala itu menjabat duta besar di Turki sempat khawatir Jay akan tumbuh menjadi anak yang tidak mengenal negerinya, tidak cinta negerinya.
Lebih senang disebut sebagai pekerja seni, Jay Subyakto sejatinya adalah seniman visual yang telah menapaki pucuk-pucuk pencapaian. Berada di usia yang menurutnya ”seharusnya sudah pensiun” gairah kreativitasnya tetap meluap.
Bagi Jay, cambuk untuk memacu kreativitas itu justru lahir dari pengalaman-pengalaman pahit yang mendorong lahirnya karya orisinal, kental dengan keindonesiaan.
Berlatar belakang arsitek, Jay piawai menata panggung dan merancang artistik pertunjukan. Ia menyutradarai film dokumenter, puluhan video musik, konser musik, program siaran langsung televisi, hingga peragaan busana. Profesi fotografer juga telah membawanya bertualang ke Asia, Afrika, Australia, Eropa, Amerika, dan Antartika.
Memasuki pengujung tahun, setumpuk kegiatan sudah menanti. Ketika dihubungi Kamis (19/11/2020), ia baru saja pulang dari Surabaya untuk kegiatan pemotretan mode bagi label busana Sejauh Mata Memandang. Sebelumnya, ia bersama arsitek Yori Antar kembali mendatangi Kawasan Saribu Rumah Gadang di Nagari Koto Baru, Kabupaten Solok Selatan, untuk pembangunan panggung permanen sebagai bagian pelestarian rumah gadang.
Saat ini pun, kesibukannya sedang menjadi-jadi sebagai penata artistik untuk panggung Malam Penganugerahan FFI 2020 pada 5 Desember 2020. Acara ini akan digelar secara luring dan daring dengan hadirin terbatas. Tentang kemampuan berpikir paralel di berbagai bidang ini, Jay berujar, ”Memang karena saya orangnya bosanan. Kalau di satu bidang saja mungkin saya akan mengulang apa yang pernah saya buat, jadi akhirnya tidak istimewa.”
Memotret mode sejak 1986, gairahnya untuk terus memotret tak terpadamkan. Pemotretan yang dilakukan di Surabaya lalu bekerja sama dengan adiknya, desainer Chitra Subyakto. Chitra bekolaborasi dengan tiga pabrik tekstil yang mengolah limbah tekstil lalu diproses dan dipintal kembali menjadi benang lalu busana. ”Saya support apa yang mereka lakukan, saya bikin fotonya. Davy Linggar bikin videonya,” tambahnya.
Sejak tiga tahun lalu, Jay juga mendukung Yori—yang juga teman kuliahnya—yang punya ide untuk menyelamatkan seribu rumah gadang di Solok Selatan, Sumatera Barat. Bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, mereka bertekad merevonasi semua rumah gadang milik penduduk di Kawasan Saribu Rumah Gadang secara gratis.
Setiap rumah gadang itu nantinya akan menjadi rumah singgah sehingga penduduk bisa hidup dari pariwisata. “Saya desain panggung permanen ada lapangan dengan latar belakang sungai. Bukan hanya sebagai panggung terbuka, melainkan juga olahraga, kegiatan seni budaya,” ujar Jay.
Tabungan ide
Beragam kesibukan yang dilakoninya saat ini memberi kesegaran baru sekaligus pengobat rindu bagi Jay setelah beberapa bulan terakhir lebih banyak berkegiatan dari rumah karena pandemi. Namun, ia tetap menetapkan protokol ketat.
Semasa pandemi, Jay juga sempat menjadi direktur kreatif untuk pergelaran mode virtual Nusantara Fashion Festival. Teknologi video membuat pekerjaannya menjadi ringkas. ”Ini kebebasan bukan main. Beberapa pakai penerangan hanya matahari. Variasi begitu banyak. Membuka kemungkinan yang luar biasa. Bisa ke galeri ataupun ruang terbuka. Enak sekali yang saya dapatkan,” tambahnya.
Namun, kepuasan menggarap panggung fisik seperti yang bakal disuguhkan di panggung FFI memang tak tergantikan. ”Buat saya membuat pertunjukan memang harusnya dirasakan semua orang yang hadir. Kalau lewat Zoom atau online itu kayaknya kurang bisa merasakan nuansanya,” kata Jay.
Pada saat lebih banyak di rumah, waktunya lebih banyak dipakai untuk membaca, terutama tentang situasi pandemi dengan segala kebaruan dan kesimpangsiurannya. Bekerja dari rumah juga memungkinkannya merampungkan beberapa karya lukisan lama. Rumah menjadi semakin penting karena menampung benda-benda bersejarah.
Jarang membeli benda baru, rumah yang ditinggali bersama sang istri, Elvara Jandini, dan anaknya, Kaja Anjali, itu dipenuhi benda peninggalan orangtuanya, seperti lukisan karya Pelukis Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Srihadi Soedarsono.
”Sebuah rumah harus merupakan kumpulan kenangan. Hidup yang kita rekam adalah kenangannya. Rumah jadi kumpulan kenangan yang sangat menginspirasi yang mentrigger ketika kehabisan ide,” katanya.
Di rumah pula, Jay membiasakan diri segera menuangkan ide yang muncul ke bentuk coretan. ”Ide enggak datang setiap saat. Saya perlu bank ide, kumpulan coretan saya. Begitu ada pekerjaan yang cocok saya keluarkan bank ide saya tadi. Prosesnya panjang, sesuatu yang dadakan pasti nggak orisinal,” tambah Jay yang anti melihat referensi atau membuat sesuatu yang pernah dibuat orang lain.
Rasa nasionalisme
Di dunia iklan, Jay memberi suguhan berbeda dengan sajian iklan yang menampilkan citra produk tetapi tidak terperangkap kesan komersial. Ketika membuat iklan produk kosmetik, Jay membuat dobrakan dengan menghadirkan perempuan berkulit khas Indonesia. Kekuatan perempuan Indonesia dihadirkan lewat video penenun perempuan di Sumba. Dengan cara ini, iklan tersebut membangkitkan rasa nasionalisme.
Hadirnya rasa nasionalisme ini menjadi kekuatan yang sengaja dimunculkan. Jay menyebut, sebagai pekerja seni, ia sering kali masih dinomorduakan ketika keran kesempatan justru dibuka lebar-lebar bagi pekerja asing.
”Pejabat kita masih menganggap orang asing lebih hebat. Itu kendala saya karena tidak pernah dihargai bangsa sendiri. Bagaimana memprioritaskan kita sendiri? Ini cambuk. Tapi, seumur hidup saya digituin,” tambahnya.
Kepiawaian bekerja paralel di banyak bidang itu terutama disokong oleh latar belakang ilmu arsitektur. Tak hanya sebagai seni merancang bangun, arsitektur juga mengajarkan tentang kesenian, dan psikologi manusia.
”Benar -benar membuka wawasan bagaimana kita berpikir. Bagaimana kita mau merencanakan sesuatu dari dasar. Kuncinya bagaimana pendekatan seni estetika dan bagaimana mengomunikasikan diri kita ke orang lain. Sesuatu bisa berhasil kalau kita punya persiapan praproduksi yang mantap,” kata Jay.
Jay mulai jatuh cinta dengan dunia arsitektur yang disebutnya sebagai ilmu ajaib itu sejak duduk di bangku SMA. Kecintaan pada seni juga diwarisinya dari sang ayah almarhum R Soebijakto, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (1948-1959). Sang ayah pula yang menanamkan kecintaan mendalam terhadap tanah air. Selain itu, tersimpan pula kenangannya ketika bertukar pikiran tentang Indonesia bersama pamannya sang Proklamator RI, Mohammad Hatta.
”Ayah saya pernah bilang. Semua profesi, yang penting tiap orang diberkahi rasa seni. Mau jadi apapun adalah seni dasarnya. Bagaimana kita melihat keindahan bagaimana kita mengolah rasa. Itu yang harusya dipupuk di pendidikan. Saya selalu dicekokin lihat kesenian sebanyak-banyaknya. Tidak pernah diajarkan bahwa sesuatu yang bagus itu karena harga, tapi nilai,” ujar Jay.
Lahir di Ankara, Turki, ayahnya kala itu menjabat duta besar di Turki lalu berlanjut menjadi dubes di Yugoslavia yang sekarang Kroasia. Ayahnya sempat khawatir, Jay akan tumbuh menjadi anak yang tidak mengenal negerinya, tidak cinta negerinya.
”Saya didoktrin harus baca komik RA Kosasih. Justru ketika di luar negeri itulah, saya di-cekokin bahwa Indonesia itu negara yang terbaik punya toleransi yang sangat tinggi,” kata Jay.
Ketika akhirnya pulang ke Indonesia, Jay pun bahagia dan bertekad turut berkontribusi memajukan negara. Kultur Indonesia lantas menjadi pendekatan utamanya dalam berkarya. Ketika orang lain meremehkannya, Jay terus bangkit dan menjadikannya cambuk untuk berkarya. Jalan panjang yang harus ditapakinya itu berbekal kecintaan pada Indonesia.
Biodata:
Jay Subyakto
Pendidikan: Arsitektur di Universitas Indonesia, lulus 1987
Pengalaman kerja, antara lain:
- Bekerja di RCTI, 1989 - 2004
- Konsultan kreatif Astro TV, 2005 - 2008
- Konsultan artistik dan fotografi di majalah Harper’s Bazaar Indonesia, 2000 - 2009
Produser & Sutradara, antara lain:
- 2019 Konser Anggun, Tennis indoor Senayan
- 2017 Konser Rossa, The Journey of 21 Dazzling Years, JCC Plenary Hall
- 2017 Konser Gue 2 , ex Golf driving range Senayan
- 2016 Konser Kerinduan Sheila Majid , JCC Plenary Hall
- 2015 Konser Krisdayanti ‘Traya’ , JCC Plenary Hall
Pengarah Artistik (Artistic Director), antara lain:
- 2019 Gandari 0.3, Graha Bhakti Budaya TIM
- 2018 Associate creative director & set designer Asian
Para Games Opening Ceremony with BWS Italy.
- 2016 Festival Film Indonesia 2016 , Teater Jakarta
Pameran Fotografi:
2002 Peluncuran Buku Fotografi & Pameran Foto Tunggal, Gedung 28, Jakarta.
Pameran Bersama, antara lain:
- 2020 Antarktik , Rumah Maén , Jakarta
- 2018 Lo Intrigue , Rumah Maén , Jakarta
- 2016 Abad Fotografi , Galeri Nasional , Jakarta
- 2015 Beyond Transisi , Fotografie Forum Frankfurt.
Penghargaan:
- 2007 Citra Pariwara, pemenang 10 kategori iklan Gudang Garam corporate versi Tahun baru dan 17 Agustus
- 2003 Longines Award of Excellence. Jakarta.
- 1987 Mimar Architecture Competition. Singapore.
- 1986 Mimar Architecture Competition. Singapore.
- 1977 LPKJ Festival Film Mini. Runner Up “Astercane Animashow”.
Buku Fotografi, antara lain:
- 2020 Antarktik , Postscript.
- 2019 Our Home , Astra
- 2018 LO Intrigue , Postscript.
Film:
2017 Banda , The Dark Forgotten Trail, Lifelike Pictures
- Nominasi Festival Film Indonesia kategori Film
Dokumenter Panjang Terbaik.
- Pemenang Piala Maya
Kategori Film Dokumenter Panjang Terpilih.