Tony Richard Samosir dan Petrus Hariyanto, Pejuang Hak Pasien Cuci Darah
Perkenalan itu membawa mereka pada perbincangan hal remeh-temeh hingga kompleks. Topik soal kebijakan pemerintah, akses layanan kesehatan, dan biaya pengobatan dibahas. Perbincangan ini berujung pada pembentukan KPCDI.
Bak petir di siang bolong, siapapun pasti tidak siap mendengar vonis gagal ginjal. Tony Richard Samosir (38) dan Petrus Hariyanto (52) berusaha agar tidak berlama-lama terpuruk. Mereka malah membuat komunitas yang menyokong, mengedukasi, dan mengadvokasi pasien cuci darah di Jakarta hingga menyebar ke seluruh Indonesia.
Delapan tahun silam, Tony dan Petrus berkenalan saat menjalani cuci darah di sebuah klinik hemodialisis di Jakarta Selatan. Tony sudah terbiasa dengan rutinitas cuci darah sejak 2009, sedangkan Petrus baru berani mengikuti prosedur ini pada 2013. Keduanya sama-sama menderita gagal ginjal akibat hipertensi.
Perkenalan itu membawa mereka pada perbincangan hal remeh-temeh hingga kompleks. Topik soal kebijakan pemerintah, akses pada layanan kesehatan, dan biaya pengobatan dibahas. Perbincangan ini berujung pada pembentukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
Penting bagi kedua laki-laki ini untuk berkomunitas. Tony membutuhkan dukungan moril lantaran terkena gagal ginjal di usia muda. Petrus pun demikian. Ia juga memerlukan tempat diskusi soal penyakit ini. Komunitas sejenis waktu itu masih terbatas.
“Orang yang alami gagal ginjal perlu wadah agar bisa mengaktualisasi diri, curhat, berinteraksi, tidak merasa sendiri, dan bersenda gurau. Saling menyemangati. Kalau tidak ada komunitas kami pulang cuci darah melamun, berpikir hari esok seperti apa,” kata Tony, saat ditemui bersama Petrus di The CEO Building, Jakarta Selatan, Rabu (12/1/2022).
Orang yang alami gagal ginjal perlu wadah agar bisa mengaktualisasi diri, curhat, berinteraksi, tidak merasa sendiri, dan bersenda gurau. Saling menyemangati.
KPCDI resmi berdiri pada 15 Maret 2015, bertepatan dengan masa perayaan Hari Ginjal Sedunia yang jatuh pada hari Kamis di pekan kedua bulan Maret. KPCDI menjadi tempat pasien dan keluarga saling membantu dan berbagi informasi. Seiring bergulirnya waktu, komunitas ini turut mengadvokasi kepentingan pasien cuci darah dengan memengaruhi kebijakan publik.
KPCDI banyak berkutat dalam mengkaji program dan layanan kesehatan yang diberikan BPJS Kesehatan serta rumah sakit kepada pasien cuci darah. Apalagi pada masa itu, BPJS Kesehatan baru beroperasi pada 1 Januari 2014. Banyak fasilitas belum tercakup lengkap dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) seperti sekarang.
Salah satunya adalah ketika Tony dan Petrus berjuang menghadapi kesenjangan layanan kesehatan di RS tipe A, B, C, dan D. Mereka mendorong agar pasien yang berobat di RS tipe D juga bisa mendapat obat dan suntikan hormon eritropoietin untuk menstimulasi pembentukan sel darah merah.
Tahun 2015, KPCDI berupaya agar Tony bisa menjalani operasi cangkok ginjal dari istrinya di bawah tanggungan penuh BPJS Kesehatan. Waktu itu RS menerapkan skema berbagi biaya antara BPJS Kesehatan dengan peserta (cost-sharing). Upaya itu berhasil. Tony akhirnya menjalani operasi cangkok ginjal pada 2016.
Advokasi lain yang dilakukan KPCDI adalah dengan mengajukan uji materi Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang membahas penyesuaian iuran peserta JKN-KIS ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan mereka menang. Namun, pemerintah lalu merilis Perpres No 64/2020 sehingga iuran tetap naik. Gugatan kedua KPCDI ditolak MA.
“Sebagai pasien cuci darah, kami menyadari bahwa hidup kami sangat bergantung dan dipengaruhi oleh regulasi pemerintah. Kami juga dipengaruhi oleh kebijakan manajemen RS,” tutur Petrus yang mengalami gangguan pendengaran dan mobilitas akibat gagal ginjal.
Selain telah berbadan hukum sejak 2017, organisasi ini telah memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), menggelar kongres, dan mengadakan berbagai seminar atau diskusi tentang penyakit ginjal. Anggota KPCDI telah mencapai lebih dari 8.000 orang yang tersebar di seluruh Indonesia.
Saling membantu
Di balik segala upaya advokasi, KPCDI konsisten menjadi tempat mengadu bagi para pasien cuci darah. Pasien bisa meminta bantuan jika mengalami masalah dengan BPJS Kesehatan akibat menunggak membayar iuran.
Dalam beberapa kejadian, pasien juga terdampak kebijakan BPJS Kesehatan pada rumah sakit. Kasus ini sempat terjadi di Lampung di mana sekitar 30 pasien cuci darah sempat terlantar karena BPJS Kesehatan memutus kerja sama dengan sebuah RS yang bermasalah. Setelah melalui proses diskusi panjang, mereka akhirnya bisa tetap melakukan cuci darah.
Padahal proses pasien gagal ginjal untuk cuci darah tidak bisa ditunda, bisa dua hingga tiga kali seminggu. Cuci darah berfungsi untuk membuang limbah (sisa metabolisme) dan racun dari darah serta mengatur kadar cairan tubuh. Penundaan cuci darah bisa berakibat fatal: kematian.
KPCDI turut membantu penyaluran kursi roda atau obat-obatan dari pasien yang telah meninggal dunia ke pasien yang membutuhkan. Pasien yang menderita gangguan psikologis diberi penyembuhan trauma. Selama pandemi, KPCDI membagi-bagikan sembako, masker, dan cairan pensanitasi tangan.
Walaupun kami sakit, kami harus bermanfaat untuk orang lain di sisa hidup.
Salah satu sumber dana operasional KPCDI berasal dari penggalangan dana. Setiap tahun, KPCDI bisa mengucurkan rata-rata Rp 100 juta sampai Rp 200 juta untuk dana sosial. “Walaupun kami sakit, kami harus bermanfaat untuk orang lain di sisa hidup,” tutur Tony.
Ke depan, KPCDI akan fokus mengkampanyekan cangkok ginjal sebagai terapi gagal ginjal yang paling efektif dibandingkan terapi hemodialisis dan metode dialisis peritoneal. Dengan cangkok ginjal, kualitas hidup pasien bisa kembali produktif seperti sediakala dan tidak bergantung pada mesin seumur hidup. Karena itu, pembentukan bank donor organ semakin mendesak.
Baca juga: Manuel Alberto Maia, Dokumentasi Narasi dari Timur
Penyakit ginjal merupakan salah satu penyakit katastrofik sehingga membutuhkan perawatan medis yang lama dan berbiaya tinggi. Pada 2020, BPJS Kesehatan menghabiskan anggaran Rp 2,2 triliun untuk 1,7 juta kasus gagal ginjal, menduduki peringkat keempat setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke (data November 2021).
“KPCDI berada on the right track sebagai organisasi yang menjadi wadah solidaritas pasien dan memengaruhi kebijakan publik. Komunitas ini juga mendorong kesadaran politik pasien bahwa kebijakan di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif berdampak pada mereka sehingga pasien mau berjuang bersama-sama demi layanan kesehatan yang bermartabat,” kata Petrus.
Tony Richard Samosir
Lahir: Tanjung Morawa, Sumatera Utara, 12 Juli 1983
Pendidikan:
- Jurusan Teknik Geodesi, Program Studi Diploma Teknik Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2001–2004)
- S-1 Fakultas Hukum, Universitas Terbuka, Jakarta (2022-sekarang)
Keluarga: Eva Tampubolon (istri), dua anak
Jabatan: Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)
Pengalaman:
- Pembicara dalam “Diskusi Perlindungan Konsumen Pasien BPJS Kesehatan” diselenggarakan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Kementerian Kesehatan, dan BPJS Kesehatan, Jakarta (2020)
- Panelis dalam 1st Asia Patient Innovation Summit (APIS) “Raising Awareness on Disease Conditions and Advocacies” di St. Luke’s Medical Center, Bonifacio Global City, Filipina (2019)
- Pembicara dalam Kongres Indonesian Health Economics Association (InaHEA): “Policy Discussion: A Comprehensive View Toward ESRD Cost and Modality” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan FKM UI, Jakarta (2018)
Petrus Hariyanto
Lahir: Ambarawa, Jawa Tengah, 2 Juli 1969
Pendidikan: S-1 Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka (2010-2015)
Keluarga: Nurely Yudha, empat anak
Jabatan: Sekretaris Jenderal Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)
Penghargaan: Penghargaan dari Associacao Dos Combatentes Da Brigada Negra (ACBN) atas jasa membantu perjuangan kemerdekaan Timor Leste (2016)
Buku: Jiwa Jiwa Bermesin: Memoar Para Pasien Cuci Darah (2019)