Zona Gelisah Wayan Sunarta
Ia tidak tunduk dan tidak betah berada di zona nyaman. Alasannya, ternyata cukup sederhana. Di zona nyaman, ia tidak bisa mengembangkan proses kreatif.
Hadirlah di zona gelisah, bukan zona nyaman, karena zona nyaman akan membunuh daya kreativitas. Ini pesan penyair Wayan ”Jengki” Sunarta (46), yang terus merawat puisi-puisinya bertumbuh, bukan menjadi puisi sekali jadi.
Belum lama ini, Sunarta melalui buku antologi puisinya berjudul Jumantara meraih penghargaan utama Anugerah Puisi Terbaik 2021 dari Yayasan Hari Puisi Indonesia. Lelaki kelahiran Denpasar, 22 Juni 1975, itu ternyata cukup produktif. Saat ini, Sunarta sudah menulis sebanyak 14 buku sastra tunggal, 86 buku antologi puisi bersama, dan 11 buku antologi prosa bersama.
”Saya tidak ingin berada di zona nyaman, karena zona nyaman itu berbahaya,” ujar Sunarta dari Bali, Kamis (16/12/2021) pagi.
Percakapan melalui telepon di pagi hari pukul 09.00 Wita itu disepakati sejak sore sebelumnya. Ada hal ganjil. Sunarta ternyata sejak sore itu pula hingga keesokan paginya tidak tidur. Ia lalu bercerita tentang kebiasaan tidurnya dimulai antara pukul tiga atau empat dini hari.
Demi menjawab telepon pagi, ia tidak mau tertidur. Ia khawatir akan kebablasan tidurnya.
Sedari awal, ia pun tidak mau menawarkan jadwal lain untuk menerima telepon. Itulah Sunarta yang begitu menghormati orang lain, bahkan sampai mengorbankan kepentingan diri sendiri dengan tidak tidur.
Mungkin saja itu bagian dari zona gelisah Sunarta. Ia tidak tunduk dan tidak betah berada di zona nyaman. Alasannya, ternyata cukup sederhana. Di zona nyaman, ia tidak bisa mengembangkan proses kreatif. Ketika berada di zona nyaman, menulis pun menjadi macet.
Saya tidak ingin berada di zona nyaman, karena zona nyaman itu berbahaya.
Ruang sunyi
Sunarta bercerita tentang buku antologi puisi Jumantara. Jumantara bermakna sebagai awang-awang atau ruang sunyi. Dari kesunyian itu lahirlah puisi-puisi. Sebelumnya, Sunarta lebih banyak mencipta puisi dari peristiwa dan interaksi sosial.
”Jumantara itu kawasan sunyi. Di dalam diri setiap orang selalu ada jumantara sebagai alam sunyi, alam entah, dan dari sanalah berbagai ide terlahir dan tumbuh,” ujar Sunarta, yang merampungkan studi Antropologi Budaya di Universitas Udayana, Bali, tahun 2000.
Sunarta sempat pula menempuh studi Jurusan Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, pada 2002- 2003. Akan tetapi, studi seni rupanya tersebut tidak dirampungkan.
Sunarta mengirimkan buku digital Jumantara. Di situ ditulis buku itu ditujukan untuk Mahaguru Penyair Umbu Landu Paranggi, yang meninggal pada 6 April 2021.
Buku itu memuat 16 judul puisi. Bentuknya puisi-puisi panjang. Di dalam buku itu, ia menyertakan pula 16 sketsa. Ia yang membuat sketsa-sketsa itu. Selain di bidang sastra, Sunarta memang menekuni bidang seni rupa. Bahkan, beberapa kali ia menjadi kurator untuk beberapa pameran seni rupa di Bali.
Puisi baginya adalah anak rohani yang dilahirkan untuk menemukan jalan masing-masing.
Puisi baginya adalah anak rohani yang dilahirkan untuk menemukan jalan masing-masing. Ada yang menjadi juara, ada yang dimuat media massa, ada pula yang tidak menjadi apa-apa.
”Ketika puisi sebagai anak rohani, penyair tidak menjadi apa-apa, mungkin terjadi sesuatu di situ. Puisi-puisi itu perlu disentuh kembali,” ujar Sunarta, yang meraih penghargaan Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali pada 2020.
Sentuhan kembali itulah yang membuat puisi-puisi Sunarta menjadi puisi bertumbuh. Bahkan, Sunarta tidak pernah menganggap setiap puisinya final. Ia terinspirasi penyair Chairil Anwar yang terus mengasah, menggali kata hingga ke akar-akarnya.
”Bisa saja ketika buku puisi saya dicetak kembali, dari judul puisi yang sama akan berubah isi pada terbitan berikutnya,” kata Sunarta.
Puisi-puisi Sunarta bukan puisi sekali jadi. Proses mencipta satu puisi tidak akan pernah usai. Ini sama halnya dalam memaknai kehidupan yang tidak akan pernah usai. Takaran bagi puisi yang tidak disentuh kembali, yakni ketika sudah memuaskan batin. Kepuasan batin ini pun sulit diukur.
Sunarta mengawali jalan berpuisi sejak 1990-an. Ia merasakan berpuisi itu menjumpai banyak kemungkinan, sekaligus kejutan tak ternilai. Puisi menjadi anugerah semesta dan berkat bagi pengembaraan batinnya.
”Membukukan puisi-puisi panjang menjadi keinginan saya sejak lama. Tema puisi-puisi di dalam buku antologi Jumantara melingkupi persoalan karma, takdir, reinkarnasi, spiritualitas, pengembaraan, dan dialog batin,” kata Sunarta.
Di dalam puisi panjang Sunarta, sunting-menyunting pun terus terjadi. Beberapa puisi panjang di buku itu sebetulnya pernah dimuat secara terpisah di beberapa buku kumpulan puisi terdahulu. Sebelum dimuat kembali, Sunarta menyuntingnya terlebih dahulu.
Baca juga: Evy Gozali di Balik Anggur Pengubah Hidup
Puisi panjang tidak hanya bertumbuh, tetapi bisa bertransformasi, berubah bentuk. Sunarta melahirkan tiga puisi panjang di buku Jumantara yang sebelumnya pernah bertransformasi menjadi cerpen. Ketiga judul puisi itu ialah ”Cakra Punarbhawa”, ”Pengelana Tanah Timur”, dan ”Balada Sang Putri”.
”Di buku Jumantara, saya juga memuat seri puisi-prosa berjudul ’Igau’. Karya ini belum pernah saya terbitkan,” kata Sunarta.
Puisi ”Igau” terlahir dengan cara mengikuti arus bawah sadar. Sunarta menuliskan dengan mengikuti igauannya sendiri. Ini menjadi eksperimennya untuk memberi kemungkinan baru dalam penciptaan karya sastra.
Bank ide
Untuk menjadi produktif, Sunarta memiliki metode tersendiri dalam melahirkan karya-karya sastranya. Ia membuat bank ide di komputernya untuk menampung segala ide yang bisa muncul setiap waktu.
”Seperti ketika melintas naik sepeda motor, saya sering seperti melamun. Di situlah sering sekali bermunculan ide-ide untuk ditulis menjadi karya sastra,” ujar Sunarta.
Meskipun mengendarai sepeda motor, Sunarta tetap berusaha menangkap ide-ide yang datang berseliweran. Ia berhenti sejenak di pinggir jalan. Kemudian mengeluarkan telepon genggamnya. Di situ, ia mencatat semua ide yang datang. Setiba di rumah, ide-ide itu disalin dan dituangkan di bank ide komputer.
Tidak jarang Sunarta mendapatkan ide dari sebuah interaksi sosial. Seperti ketika nongkrong bersama anak muda, kerap muncul ide-ide yang tidak pernah terduga sebelumnya. Sunarta tidak segan-segan untuk menabung ide tersebut ke dalam telepon genggamnya. Setiba di rumah, tabungan ide itu dimuntahkan ke dalam bank ide di komputernya.
Seperti ketika melintas naik sepeda motor, saya sering seperti melamun. Di situlah sering sekali bermunculan ide-ide untuk ditulis menjadi karya sastra.
Bagaimana setelah terkumpul ide di komputernya? Beruntunglah Sunarta dengan insomnianya. Ia memiliki waktu-waktu panjang di malam hari. Jam tidurnya menjelang subuh hingga terbangun pada siang hari.
Di tengah insomnia itulah Sunarta membuka bank ide di komputer. Ia menjelajahi ide- ide itu dan sesekali menengok kemungkinan untuk dilahirkan menjadi sebuah karya sastra.
Lelaki penyuka keris ini banyak membaca buku untuk menggali kemungkinan melahirkan karya sastranya. Ia menyukai keheningan malam untuk menuntaskan bacaan-bacaan demi melahirkan anak- anak rohaninya.
”Kebetulan saya tipe orang yang suka di rumah dan senang berada di depan komputer, mengetik di komputer. Ketika muncul keinginan untuk membuat puisi, saya membuat rancangannya terlebih dahulu dalam waktu dua sampai tiga hari,” ujarnya.
Baca juga : Energi Sosial Nirwan Arsuka "Si Pengelana Buku"
Dalam berhari-hari, hasil rancangan puisi itu kemudian disunting. Penyuntingannya tidak bisa cepat atau instan. Ini butuh pengendapan, butuh penggodokan. Sunarta menengarai, bagi penyair muda penyuntingan karya sastra sekarang mulai terpengaruh media sosial yang membuatnya ingin menjadi lebih cepat dan instan.
Menjadi seorang penyair, bukan seperti mendapat ilham dari langit kemudian menuliskannya begitu saja. Penyair butuh merawat dan menumbuhkan karya supaya benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Dari suatu karya sastra yang diharapkan memberi manfaat kepada masyarakat inilah, Sunarta merasa berkewajiban membuatkan ruang bagi keabadiannya. Karena itulah, Sunarta menjadi produktif menerbitkan buku kumpulan puisi, juga karya sastra lainnya.
Karena itu pula, ia memilih berpijak di zona gelisah. Ia lebih memilih untuk tidak ingin mematikan daya kreativitas.