Nur Kartika, dokter gigi yang gigih memperjuangkan kemajuan pendidikan di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Masih dengan baju operasi, Nur Kartika (43) ngobrol bersama beberapa temannya sembari menyeruput kopi di pinggir Pantai Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, suatu malam medio Juni 2022. Dokter gigi yang baru pulang dari tempat praktik tak tampak lelah apabila diajak diskusi mengenai timpangnya layanan pendidikan di Pulau Flores dan sekitarnya.
Kali ini mereka menyusun rencana lanjutan untuk membantu pembangunan satu ruang belajar untuk SDN Oka di Pulau Palue. Palue masuk wilayah Kabupaten Sikka. Letaknya di tengah kepungan Laut Flores. Dari Maumere, Palue dapat dijangkau dengan kapal feri sekitar enam jam perjalanan pada saat cuaca normal.
Beberapa hari sebelumnya, Nur bersama sejumlah sukarelawan baru pulang dari SDN Oka. Mereka memantau langsung sekolah yang kondisinya sangat memprihatinkan itu. Bangunan dengan dinding terbuat dari bambu yang sudah lapuk, atap seng bekas penuh karatan, dan berlantai tanah.
Bangunan hasil swadaya masyarakat itu disekat menjadi lima ruangan belajar untuk kelas satu sampai kelas lima. Menjelang penerimaan siswa tahun ajaran baru 2022/2023, dibutuhkan satu ruangan lagi. ”Kemarin kami sudah bawa beberapa lembar seng untuk atap, tetapi rupanya belum cukup. Masyarakat siap bangun pakai bahan dari alam, seperti bambu dan kayu,” ujar Nur.
SDN Oka hanya satu dari begitu banyaknya sekolah yang pernah dikunjungi Nur bersama tim. Selama lebih dari tujuh tahun terakhir, mereka menginisiasi berbagai kegiatan sosial dengan fokus pada isu pendidikan. Sekolah yang didatangi kebanyakan di daerah pedalaman, minim sentuhan pengambil kebijakan.
Gerakan itu pertama kali muncul setelah beredarnya sebuah foto yang menampilkan ada anak sekolah dasar di Pulau Flores mengenakan sandal jepit saat mengikuti kegiatan pembelajaran. Foto itu menarik perhatian banyak orang. Nur yang aktif dalam berbagai komunitas diajak temannya menggalang sepatu untuk anak-anak yang ada di dalam foto itu. Gerakan itu kemudian semakin intens dan meluas. Hingga kini, pembagian sepatu sudah berlangsung di 36 titik dengan jumlah paling sedikit 100 pasang di setiap titiknya.
Mereka menyebutnya gerakan Shoes For Flores. Sasaran adalah siswa sekolah dasar. ”Ini gerakan tim. Saya hanya bagian kecil. Banyak teman yang mau terlibat. Juga dukungan dari donatur. Ada yang dalam bentuk uang dan ada juga berupa sepatu langsung dicetak dengan tulisan shoes for flores,” kata Nur, lulusan dari Universitas Gadjah Mada tahun 2006 itu.
Seiring waktu, mereka tidak hanya sekadar membagi sepatu. Lebih dari itu, mereka mengelar banyak kegiatan di sekolah yang dikunjungi, seperti kelas inspirasi, permainan, kelas menulis, kelas fotografi, pemeriksaan kesehatan, sosialisasi tentang bahaya kanker, hingga pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitar sekolah.
Lokasi kegiatan mereka di Pulau Flores dan sekitarnya. Di sana terdapat sembilan kabupaten, yang meliputi Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, dan Lembata. Sejak 2014, mereka sudah datang ke semua kabupaten itu.
Melihat keseriusan dan konsistensi mereka dalam isu pendidikan, beberapa lembaga pemerintah dan kementerian menjadikan mereka sebagai partner lokal. Ada pula lembaga swasta dari Jakarta yang mengajak mereka berkolaborasi untuk aksi sosial kemanusiaan.
Sebelum memulai kegiatan di sekolah sasaran, Nur bersama tim membuka perekrutan bagi sukarelawan yang ingin bergabung. Ada guru, tenaga kesehatan, jurnalis, petani milenial, hingga tukang gorengan. Kehadiran orang-orang inspiratif diharapkan membuka ruang mimpi anak-anak di kampung yang selama ini banyak di antara tidak berani bermimpi.
Namun, dalam kenyataan, mimpi banyak anak di Flores tidak bisa terwujud karena masalah ekonomi. Beberapa anak yang pernah mereka motivasi belakangan didapati tidak lanjut sekolah karena tidak punya biaya. ”Ibaratnya seperti menyiram air di atas tanah yang gersang. Airnya akan kering lagi,” ujarnya dengan perumpamaan.
Membagi waktu
Sebagai dokter gigi dengan tingkat kesibukan tinggi, Nur membagi waktu antara tugas pokok dan kegiatan sosial yang dia anggap sebagai bagian dari hobi itu. Ia memanfaatkan waktu liburan hari Sabtu dan Minggu untuk kegiatan sosial. Jika lokasi kegiatan jauh dan memaksanya tinggal di sana selama beberapa hari, ia meminta izin dari pimpinan.
Yang berkesan saat ia ikut kegiatan di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur. Tengah malam ia mendapat kabar bahwa di puskesmas tempat ia bertugas akan dikunjungi pejabat. Dini hari ia menyeberang dari Adonara ke Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur.
Dari Larantuka, ia kemudian menggunakan mobil ke Maumere. Ia berusaha secepat mungkin agar bisa tiba di sana sebelum jam kunjungan pejabat dimaksud. ”Saya wajib ada di tempat karena saya menjabat kepala puskesmas,” ujarnya mengenang. Ia mengakui, banyak waktu untuk keluarga dikorbankan. Ibu satu anak itu bahkan sering kali mengajak anaknya ikut dalam kegiatan.
Keterlibatan dalam kegiatan sosial sudah tumbuh sejak remaja. Ia mulai aktif dalam kegiatan pramuka sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ketika masih mahasiswa, ia sering kali menjadi sukarelawan untuk kegiatan bencana dan aksi sosial kemanusiaan. Bahkan, ia mengambil cuti demi bisa ikut menjadi sukarelawan. Itulah mengapa masa studinya di kampus melebihi batas normal.
Bagi Nur, kegiatan sosial di luar tugasnya sebagai seorang dokter gigi adalah ruang lain untuk bisa melakukan sesuatu bagi orang yang membutuhkan. ”Saya sedang menjadi manusia, dalam artian saya memanusiakan diri saya sendiri. Sebab, manusia itu hakikatnya adalah bermanfaat bagi orang lain,” ujarnya.
Remigius Nong, aktivis sosial di Kabupaten Sikka, menyebut Nur merupakan sosok yang dapat menggerakan orang lain untuk berbuat sesuatu. Banyak anak muda ikut dalam barisannya lantaran menilai Nur berkarya tanpa pamrih. Tidak ada kepentingan lain selain untuk memajukan dunia pendidikan di Pulau Flores.
”Dia bukan dokter biasa. Dia berbuat melebihi tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang dokter. Dia juga rela berkorban. Banyak orang bilang, dia ini dokter gila,” kata Nong yang sering kali terlibat dalam kegiatan bersama. Nur, dokter gigi yang gigih memperjuangkan kemajuan pendidikan di Flores.