Dulu, Ardin Mokodompit berburu burung liar untuk kesenangan sendiri. Kini, dia melindunginya demi masa depan alam.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Jika menembak burung, Anda bisa jadi tidak bisa melihatnya lagi di alam di kemudian hari. Namun, kalau membidiknya hanya dengan kamera, Anda dan banyak orang lainnya bakal terus bisa menikmatinya manfaat dan keindahannya. Pandangan itu yang mengubah jalan hidup Ardin Mokodompit (28), dari pemburu menjadi pelindung burung. Ia kini memetik berkah kelestarian itu.
Ardin menunjukkan hasil jepretan burung rangkong (Bucerotidae sp) dalam telepon pintarnya, Senin (18/7/2022), di rumahnya di Desa Tulabolo Barat, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Ada juga potret burung maleo (Macrocephalon maleo).
Aneka foto itu terekam dalam kamera yang ia beli dari hasil pemandu wisata pengamatan burung. Bahkan, sejumlah karyanya meraih penghargaan dalam Lomba Foto Destinasi Wisata dan Ekonomi Kreatif Gorontalo. Piagam itu terpajang di ruang tamunya yang berlantai semen.
Andai masih berburu, Ardin boleh jadi tak dapat melihat burung-burung di hutan itu. Sebelum 2015, ia masih dikenal sebagai pemburu ulung. Tamatan sekolah menengah atas (SMA) ini tahu lokasi dan waktu burung merpati hutan, rangkong, hingga maleo muncul. Kemampuan yang jarang dimiliki orang.
”Dulu, berburu burung seperti mainan. Di sini tidak ada jaringan internet,” ucapnya. Desa Tulabolo Barat berada di Resor Tunabolo-Pinogu, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Pepohonan masih asri di daerah yang berjarak 30-an kilometer dari Gorontalo itu.
Meski tidak terlalu jauh, jalur ke sana menanjak dan menurun. Warga harus menyeberangi jembatan gantung yang hanya muat untuk sepeda motor atau roda tiga. Ketika jembatan putus pada 2020, warga terpaksa menyeberang Sungai Bone. Kondisi lebih sulit terjadi puluhan tahun lalu.
Seperti teman-temannya, Ardin yang masih duduk di bangku sekolah dasar kerap berburu burung. Dengan ketapel, ia menyasar merpati hutan yang hinggap di pohon beringin. Sejak SMP, ia mulai bersenjatakan senapan angin.
”Senapan angin itu seperti motor dan ketapel itu sepeda, lebih memudahkan saja berburu,” ucap Ardin yang membeli sepucuk senapan seharga Rp 300.000. Hampir setiap hari ia mengejar burung, dari madu srigandi (Nectarinia jugularis), madu kelapa (Anthreptes malacensis), hingga rangkong.
”Dulu, burung di sini tidak diperjualbelikan, tetapi dikonsumsi. Burung mudah diburu dibandingkan ayam hutan,” ungkapnya. Jauh dari pesisir, warga sangat jarang mengonsumsi ikan laut, menu andalan restoran Gorontalo.
Kebiasaannya menembak burung mulai beralih ketika sepupunya mengajaknya bergabung dalam Masyarakat Mitra Polisi Hutan (MPP), selepas SMA. ”Waktu itu saya iseng-iseng tanya lowongan kerja. Dia bilang ada, MPP. Ternyata, pas saya masuk, dia keluar jadi kepala dusun,” ujarnya diiringi tawa.
Sebagai MPP, Ardin dan rekan lainnya ditugaskan menjaga hutan dari penebang pohon hingga pemburu satwa di wilayah sekitar 14.000 hektar. Perjumpaan dengan petugas mengubah pandangannya dari berburu burung menjadi penjaga satwa tersebut.
Pemandu wisata
Ardin kian teguh melindungi hewan bersayap itu saat menjadi petugas loket obyek Wisata Alam Hungayono pada 2016. Di sana, pengunjung dapat melihat maleo, menikmati goa kapur, hingga mengamati burung. Ia pun bertemu dengan wisatawan mancanegara yang tertarik pada burung.
Punya keahlian mengidentifikasi lokasi satwa itu, Ardin diminta menjadi pemandu turis. Awalnya, ia ragu karena tidak mengerti bahasa Inggris. Namun, ternyata, pengamatan burung itu yang penting diam. ”Kalau ribut, burungnya terbang. Penjelasannya nanti di kamp,” ungkapnya.
Sebagai MPP, Ardin dan rekan lainnya ditugaskan menjaga hutan dari penebang pohon hingga pemburu satwa di wilayah sekitar 14.000 hektar. Perjumpaan dengan petugas mengubah pandangannya dari berburu burung menjadi penjaga satwa tersebut.
Pernah ia meminta diajari bahasa Inggris oleh pemandu asal Kota Gorontalo yang membawa turis ke Tulabolo. Namun, ia ditolak. ”Jadi, saya komunikasi bahasa lokal di sini (Suwawa). Orang Gorontalo itu bingung. Akhirnya, saya dilatih bahasa Inggris, ha-ha-ha,” katanya.
Kini, bersama Resor Tunabolo-Pinogu dan organisasi Burung Indonesia, Ardin memasang spot pengamatan burung setiap 100 meter sepanjang 3,2 kilometer dari Tulabolo ke Hungayono. ”Dari 2018 sampai sekarang, terlihat 76 jenis burung. Ada suara dan jejaknya,” ujarnya.
Berbagai spot itu memudahkan Ardin meraup untung sebagai pemandu wisata pengamatan burung. Pernah ia mendampingi warga negara asing yang ingin menyaksikan burung pelatuk (Scolopax celebensis), mirip tokoh kartun Woody Woodpecker yang sempat disebut punah di Benua Amerika.
”Baru jalan beberapa ratus meter, kami sudah dapat burung pelatuk. Dia senang sekali dan kasih uang,” katanya. Padahal, sebelumnya ia sudah menerima sekitar Rp 200.000 dan ongkos karcis Rp 160.000. Sebelum pandemi Covid-19, ia bisa menemani lima wisatawan per bulan.
”Saya pikir, kalau hari ini kita tembak, besok (burung) itu sudah tidak ada. Namun, kalau jadi guide, kami potret, besok dia masih ada. Dapat duit lagi,” ungkap Ardin. Ia juga berjanji tak ingin makan burung lagi. Toh, bapak dua anak ini sudah bisa memberi makan keluarganya dari wisata.
”Memang tamu tidak datang setiap hari. Namun, kalau datang, saya bisa dapat uang yang sama dengan kemarin. Hasilnya berkelanjutan. Kalau berburu, ada konsekuensi hukum. Di ekowisata, justru petugas jadi teman,” ujar Ardin. Ia juga membentuk kelompok wisata di Tulabolo Induk.
Belakangan, muncul usaha ojek ke tempat pengamatan burung. Beberapa rumah warga juga menjelma tempat penginapan atau homestay. Warung warga bermunculan. Jika sebelumnya hanya Ardin yang jadi pemandu, kini ada lima warga yang aktif mendampingi wisatawan.
Meski demikian, perjuangan Ardin tidak selalu mulus. Tidak jarang ia berhadapan dengan pemburu liar. Pernah ia mendapati warga menangkap monyet hitam (Macaca nigrescens) karena dianggap hama tanaman. Di sisi lainnya, satwa endemik Sulawesi itu dilindungi dan dalam kondisi rentan.
Ia meminta primata di Tulabolo Timur itu dilepas. ”Dia (penangkap monyet) ngancam saya. Katanya, sepupunya juga polisi hutan. Saya bilang, biar ngana (kamu) ada sepupu, sekali aturan harus ditegakkan. Kalau tidak mau lepas, ngana ditahan. Akhirnya, dia lepas,” ungkapnya.
Keesokan harinya, tim gabungan menyisir daerah tersebut. Beruntung, warga itu telah membebaskan hasil buruannya. ”Akhirnya, dia kembali pro ke taman nasional dan tidak berburu. Istilah kami, dari lawan jadi relawan. Di sini, warga sudah tidak berburu satwa lagi,” ujarnya.
Keteguhannya menjaga burung dan satwa lainnya diapresiasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada 2021, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Wiratno memberikan piagam penghargaan karena Ardin beralih dari pemburu menjadi penggerak wisata di desanya.