Slamet Riaman dan Salasiah, Jalan Pemberdayaan Perajin Rotan
Produk kerajinan rotan dari Desa Pulau Telo Baru dipasarkan ke sejumlah kota di Indonesia, seperti Jakarta, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Gresik, Bali, dan Medan. Tikar rotan bahkan diekspor ke Jepang.
Pasangan suami istri, Slamet Riaman (42) dan Salasiah (36), membuka jalan pemberdayaan bagi para perajin rotan. Melalui usaha kerajinan rotan yang dirintis dengan jatuh bangun sejak 2012, keduanya memberdayakan ibu-ibu di Desa Pulau Telo Baru, Kalimantan Tengah, dan sekitarnya. Produk kerajinan rotan dari desa itu dipasarkan ke sejumlah daerah di Indonesia hingga diekspor ke Jepang.
Beberapa ibu terlihat sibuk menganyam tikar rotan di rumah produksi Usaha Dagang (UD) Nabil Reihan Rotan milik Slamet dan Salasiah di Desa Pulau Telo Baru, Kecamatan Selat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Senin (15/5/2023) siang. Selembar tikar berukuran 2 meter x 3 meter rata-rata dikerjakan dua orang.
”Kami melibatkan banyak warga desa sini dan desa sekitarnya, terutama ibu-ibu, untuk menganyam tikar dan tas rotan. Mereka semua adalah pekerja lepas dengan sistem borongan,” kata Slamet.
Ia menyebutkan, ada sekitar 200 perajin di Desa Pulau Telo Baru dan desa-desa sekitarnya yang memasok tikar rotan ataupun tas rotan ke UD Nabil Reihan Rotan. Kebanyakan dari mereka membuat anyaman di rumah masing-masing. ”Hanya 15-20 orang yang biasa menganyam di gudang kami,” ujarnya.
Menurut Slamet, ia bersama istri merintis UD Nabil Reihan Rotan di Kapuas sejak 2012. Mereka mencoba membuka usaha kerajinan rotan sendiri setelah belasan tahun bekerja di salah satu perusahaan rotan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Saya juga bertekad ingin maju dan membuka lapangan pekerjaan untuk orang-orang di kampung istri, yang pada umumnya terampil menganyam.
”Pada 2012 saya memutuskan keluar dari perusahaan karena sudah merasa jenuh. Saya juga bertekad ingin maju dan membuka lapangan pekerjaan untuk orang-orang di kampung istri, yang pada umumnya terampil menganyam,” ujarrnya.
Mereka menghasilkan empat produk unggulan berbahan rotan, yaitu tikar, tas, kursi, dan keranjang. Selain itu, mereka juga memproduksi berbagai dekorasi dinding dari rotan dan aneka produk kerajinan yang mengombinasikan rotan dan eceng gondok. Harganya mulai dari Rp 35.000 sampai di atas Rp 1 juta per buah.
Produk kerajinan rotan dari Desa Pulau Telo Baru dipasarkan ke sejumlah kota di Indonesia, seperti Jakarta, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Gresik, Bali, dan Medan. Khusus untuk tikar rotan bahkan sudah diekspor sampai ke Jepang. ”Omzet kami saat ini sekitar Rp 150 juta per bulan,” ucap Slamet.
Setiap bulan UD Nabil Reihan Rotan membutuhkan sekitar 1 ton rotan basah atau mentah. Bahan baku rotan didapatkan dari sejumlah kabupaten di Kalteng, antara lain dari Kapuas, Pulang Pisau, Katingan, Kotawaringin Timur, Barito Selatan, dan Barito Utara. ”Rotan di Kalteng masih cukup melimpah. Kami pun berharap pasokan bahan baku rotan tetap terjaga,” ujarnya.
Dekade kedua
Saat ini, usaha kerajinan rotan Slamet dan Salasiah di Kapuas sudah memasuki dekade kedua. Usaha itu berdiri setelah 13 tahun Slamet merantau ke Kalimantan. Slamet pun mengenang bagaimana kenekatannya merantau dari Jombang, Jawa Timur, ke Kalimantan pada 1999 saat berumur 18 tahun. ”Waktu itu saya baru selesai pelatihan dari balai latihan kerja (BLK) di Jombang,” katanya.
Bapak dua anak itu tidak melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas (SMA) setelah lulus sekolah menengah pertama (SMP) tahun 1997 karena ibunya tidak mampu membiayainya. Kala itu, ibunya menjadi orangtua tunggal karena sudah bercerai dengan bapaknya. Slamet akhirnya mengikuti pelatihan kerja di BLK selama empat bulan.
Baca juga: Gatot Sudariyono, Berlari untuk Berbagi
”Begitu selesai pelatihan dan punya keterampilan membuat mebel rotan, saya merantau ke Kalimantan. Saya tahu tempat rotan itu di Kalimantan. Dalam bayangan saya, pabrik rotan di Kalimantan pasti besar-besar,” katanya.
Slamet datang ke Kalimantan dengan berbekal uang Rp 60.000. Ia sempat kecewa karena tidak mendapat pekerjaan setelah tiga hari di Banjarmasin. Ia akhirnya mendatangi sebuah perusahaan rotan di Banjarmasin tanpa membawa surat lamaran kerja dan ijazah. ”Saat bertemu kepala bagian personalia, saya bilang saya terampil membuat mebel rotan dan mau bekerja di situ. Saya langsung dites dan diterima bekerja saat uang di tangan sisa Rp 5.000,” ujarnya.
Begitu selesai pelatihan dan punya keterampilan membuat mebel rotan, saya merantau ke Kalimantan. Saya tahu tempat rotan itu di Kalimantan. Dalam bayangan saya, pabrik rotan di Kalimantan pasti besar-besar.
Di perusahaan rotan di Banjarmasin, Slamet bertemu dengan Salasiah, yang waktu itu bekerja sebagai penganyam tikar. Keduanya kemudian menikah pada 2004. Di Banjarmasin, mereka sempat menjadi pemasok (supplier) barang kerajinan rotan ke perusahaan, tempat mereka bekerja.
”Di awal jadi supplier, kami mendatangkan pekerja dari Jawa. Namun, kebanyakan tidak bertahan lama. Mereka pulang lagi ke Jawa setelah bekerja 3-4 bulan. Akhirnya, kami memutuskan untuk mengajari ibu-ibu di sekitar tempat tinggal kami. Waktu itu, ada 50 orang yang menganyam di tempat kami,” kata Slamet.
Dapat cobaan
Usaha kerajinan rotan Slamet dan Salasiah mulai berkembang di Kapuas pada 2012. Jumlah perajin yang diberdayakan juga meningkat hingga empat kali lipat. Mereka tidak hanya dikenal di kalangan masyarakat setempat, tetapi juga dikenal di kalangan pemerintah daerah kabupaten dan provinsi. Usaha mereka mendapat perhatian dari pemda dan menjadi tempat rujukan untuk pelatihan.
Namun, setelah dua tahun berjalan, Slamet dan Salasiah mendapat cobaan. ”Kami jatuh bangkrut pada 2014 karena ditipu rekan bisnis di Surabaya. Barang yang sudah kami kirim tidak dibayar. Waktu itu kami rugi Rp 400 juta. Kami kehabisan modal dan terbelit utang,” ucap Slamet.
Dalam kondisi terpuruk, Salasiah mencoba mengikuti seleksi lomba Pemuda Pelopor, yang diselenggarakan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Ia pun berhasil menang di tingkat kabupaten, kemudian menang lagi di tingkat provinsi, hingga akhirnya menang di tingkat nasional. Salasiah menjadi Juara 1 Pemuda Pelopor Berprestasi Bidang Kewirausahaan Tahun 2014.
Saya juga tidak menyangka bisa menang karena saingannya waktu itu berat. Kebanyakan sarjana, sedangkan saya, SD pun tidak tamat.
”Saya juga tidak menyangka bisa menang karena saingannya waktu itu berat. Kebanyakan sarjana, sedangkan saya, SD pun tidak tamat,” ujar Salasiah, yang mengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD.
Dari Lomba Pemuda Pelopor, Salasiah mendapat hadiah uang sebesar Rp 32 juta. Ia juga mendapat dana hibah senilai Rp 50 juta untuk mengadakan pelatihan membuat barang kerajinan rotan bagi para pemuda.
”Uang hadiah lomba itu dipakai untuk modal usaha kami. Dari situ, usaha kami perlahan-lahan bangkit. Uang kami yang hilang Rp 400 juta akhirnya diganti dua kali lipat sama Yang Kuasa di tahun 2017. Waktu itu, kami mendapat keuntungan bersih Rp 800 juta dalam setahun,” tutur Slamet.
Slamet dan Salasiah bertekad membuat usaha kerajinan rotan mereka tetap berkelanjutan agar para ibu perajin rotan juga merasakan manfaat ekonominya. Bagi keduanya, usaha kerajinan rotan adalah jalan untuk memberdayakan warga di sekitarnya.
Baca juga: Bagas Sutoko, Opa yang Giat Berbagi Ilmu
Slamet Riaman
Lahir : Jombang, 1 Agustus 1981
Pendidikan : Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Pekerjaan : Wiraswasta
Salasiah
Lahir : Kapuas, 4 Mei 1987
Pendidikan : Sekolah Dasar (SD)
Pekerjaan : Wiraswasta
Anak : 2 Orang
Penghargaan :
- Juara 1 Pemuda Pelopor Berprestasi Bidang Kewirausahaan Kementerian Pemuda dan Olahraga (2014)
- Juara 3 Tingkat Nasional One Village One Produk (OVOP) Kementerian Perindustrian (2015)
- Penghargaan Kualitas dan Produktivitas ”Siddhakarya” Provinsi Kalimantan Tengah (2018)