Ahmad Jamaludin dan Sapu Pembuka Jalan Sekolah Gratis
Berkat sapu ijuk, Ahmad Jamaludin bisa mewujudkan mimpinya membangun sekolah gratis untuk warga Desa Jayagiri, Cianjur.
Pendidikan menjadi modal dasar untuk meraih kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Ahmad Jamaludin (38) meyakini hal itu. Ia pun berjuang membangun sekolah untuk anak-anak di tempat tinggalnya dari hasil produksi sapu.
Ahmad tinggal di Desa Jayagiri, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Lokasinya berada di selatan Jabar yang berjarak sekitar 130 kilometer dari Kota Bandung. Di daerah pesisir ini, pohon kelapa dan aren tumbuh dan tersebar di segala penjuru.
Potensi pertanian ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ahmad. Saat para petani di sana hanya terpaku pada gula aren dan kelapa, dia mengambil hasil bumi yang diabaikan, seperti ijuk dan lidi.
Sudah lebih dari lima tahun, dia menekuni pembuatan sapu dari ijuk dan lidi. Dengan bahan mentah yang melimpah, dia bisa memproduksi ribuan sapu untuk dijual ke berbagai daerah dalam sebulan.
Sore itu, sejumlah remaja mengamati empat ibu muda hingga paruh baya yang tengah membuat sapu ijuk di rumah Ahmad. Mereka adalah siswa Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMP IT) Pancuh Tilu di Desa Jayagiri, sekolah yang didirikan dan dibiayai Ahmad dari hasil produksi sapu.
”Kadang, anak-anak membantu membuat sapu ijuk. Katanya lumayan untuk membeli pulsa,” ujar Ahmad, Kamis (25/5/2023). Ia memang mendorong para siswa agar mandiri sehingga tidak menjadi beban orangtua.
Dunia pendidikan bukan hal yang asing bagi Ahmad. Dulu, ia pernah menjadi guru honorer di Sekolah Dasar Negeri Budi Bakti, Desa Jayagiri, dari tahun 2004-2014. Selama mengajar, ia menemukan banyak siswanya tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Alasananya orangtua tidak sanggup membiayai sekolah atau lokasi SMP terlalu jauh dari tempat tinggal mereka.
Ahmad yang tidak ingin siswa-siswanya putus sekolah tergerak mendirikan SMP Terbuka di Desa Jayagiri yang tidak menarik biaya. Dengan begitu, tidak ada alasan siswanya putus sekolah karena tidak punya biaya atau jarak sekolah terlalu jauh.
”Anak-anak ini perlu mendapatkan pendidikan lebih dari SD. Jika tidak, hidup anak-anak ini tidak akan lebih baik daripada orangtua mereka. Saya memang niat mengajar anak-anak ini tanpa imbalan, hitung-hitung ladang rezeki,” kata Ahmad.
Baca juga: Dede Suryana, Pengejar Ombak dari Cimaja
Sejak sekolah terbuka itu berdiri, setidaknya ada 200 anak mengecap pendidikan di sana hingga lulus SMP. Mereka tidak hanya dibekali pendidikan formal, tetapi juga keterampilan, seperti bertani dan kerajinan. Sayangnya, kegiatan sekolah terbuka itu berhenti pada 2014 ketika Ahmad mengadu nasib di perantauan antara lain di Jakarta, Bogor, dan Cibeber.
Cibeber masih masuk wilayah Kabupaten Cianjur, tetapi letaknya jauh dari Sindangbarang, daerah asal Ahmad. Kira-kira waktu tempuhnya sekitar 5 jam perjalanan dengan mobil.
Selama di rantau, Ahmad tetap memelihara mimpinya untuk membangun sekolah lagi. ”Jadi, saya tabung (sebagian penghasilan) walaupun sedikit. Semua saya kerjakan, sampai memulung besi,” kenangnya.
Inspirasi dari Cibeber
Ketika tinggal di Cibeber tahun 2018, Ahmad melihat banyak perajin sapu ijuk. Para perajin itu mengambil bahan bakunya dari daerah selatan Cianjur, seperti Cidaun yang lokasinya tidak jauh dari kampung asalnya. Ia pun melihat peluang usaha yang menjanjikan. Maka, ia datangi beberapa perajin dan minta diajarkan membuat sapu ijuk.
Setelah menguasai caranya, ia memutuskan menjadi perajin sapu ijuk. Awalnya, ia menjalankan usahanya secara sembunyi-sembunyi dari keluarga. ”Saya takut mereka malu. Yang mereka tahu saya bekerja di luar. Setiap berangkat (dari rumah), pakaian saya rapi,” kenang Ahmad yang ketika itu sudah pulang ke kampungnya.
Dia memproduksi sapu di kampung lain dan berjualan di daerah yang jauh dari rumahnya. Akan tetapi, ”rahasia” Ahmad terbongkar juga. ”Istri saya kecewa, kenapa saya berpura-pura. Saya tidak tahu pasti itu kapan, tetapi waktu itu istri saya langsung mengajak saya pulang dan membuat sapu di rumah saja,” kenangnya.
Saat tidak ada lagi yang ia tutupi, Ahmad semakin giat bekerja. Usahanya berkembang pesat. Para pembeli berdatangan dari berbagai daerah, mulai pesisir Cianjur hingga Garut. ”Pedagang keliling yang biasa jualan alat-alat dapur itu, sapunya dari saya,” katanya dengan nada bangga.
Baca juga: Aceng Supendi, Anak Sungai di Panggung Arung Jeram Dunia
Lambat laun, kesejahteraan Ahmad dan keluarga berubah. Saat itulah, ia teringat mimpi lamanya, yaitu membangun sekolah gratis di desanya untuk mencegah anak-anak putus sekolah.
Ia wujudkan mimpi itu dengan mendirikan SMP IT Pancuh Tilu di Desa Jayagiri pada 2020. Bangunan sekolah itu sederhana. Dindingnya terbuat dari papan kayu. Ruangannya hanya ada empat, masing-masing berukuran 5 meter x 5 meter. Tiga untuk ruang kelas, satu untuk ruang guru.
Sebagian kelas diisi dengan kursi plastik. Sementara itu, di ruang guru hanya ada satu meja dan satu kursi. Ahmad bilang, guru-guru di sekolah itu biasanya duduk di lantai. ”Kalau mau rapat atau beristirahat, ya kami ngemper saja. Yang penting ada ruangan. Ya seadanya saja dulu, dan syukurnya para guru tidak mengeluh,” ujarnya.
Sekolah itu dijalankan secara gratis. Untuk operasionalisasi sekolah, dia mengandalkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah. Akan tetapi, dana BOS hanya cukup untuk membayar gaji 12 guru di sekolah itu. ”Sisanya, saya menyisihkan uang pribadi untuk operasionalisasi sekolah. Yang penting anak-anak tidak perlu bayar,” tambah Ahmad.
Sering kali separuh penghasilannya dari jualan sapu disisihkan untuk operasionalisasi sekolah. Ia pun sempat diprotes anak dan istrinya. Apalagi Ahmad dianggap terlalu fokus mengurus siswa-siswanya. Seiring waktu, mereka bisa memaklumi. ”Cuma kadang-kadang anak-anak masih protes, kenapa yang diurus anak orang terus,” ujarnya diikuti tawa.
Agar operasionalisasi sekolah dan dapur rumah tangga tetap terjaga, Ahmad mencari cara untuk menambah pemasukan. Ia melihat peluang berjualan gula semut yang nilainya tinggi. Ia antara lain membeli gula dari Wati (50), petani gula aren, yang anaknya sekolah di SMP milik Ahmad.
”Sekarang, sehari bisa dapat Rp 30.000. Saya tidak sanggup memanjat seperti almarhum suami, jadi sehari cuma dapat beberapa tabung. Jadi, saya bersyukur Pak Ahmad masih mau membeli gula dari saya, bahkan anak saya bisa sekolah dengan beliau,” ujarnya.
Tekad mulia Ahmad untuk memberikan pendidikan secara gratis kepada warga relatif berhasil. Ternyata jalan untuk mewujudkan tekad itu dibuka oleh sapu ijuk, sapu lidi, dan kini gula semut.
Ahmad Jamaludin
Lahir: Cianjur, 17 Mei 1985
Pendidikan: STAI Siliwangi Bandung (lulus 2007)
Aktivitas: Ketua Yayasan Samudera Giri Cianjur (2020-sekarang)