Di Rumah Panjang Dayak Iban Sungai Utik, Kapuas Hulu, terdapat tetua yang memiliki keahlian pada bidang tertentu. Klaudius Kudi (83), misalnya, ”guru” bagi generasi muda Dayak Iban Sungai Utik dalam bermain gendang.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
Di Rumah Panjang Dayak Iban Sungai Utik, Kapuas Hulu, terdapat tetua yang memiliki keahlian pada bidang tertentu. Klaudius Kudi (83), misalnya, ”guru” bagi generasi muda Dayak Iban di Rumah Panjang Sungai Utik dalam bermain alat musik gendang.
Klaudius Kudi tinggal bersama ratusan masyarakat Dayak Iban lainnya di dalam Rumah Panjang di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang membentang sepanjang 168 meter. Rumah panjang tersebut telah berdiri sejak tahun 1978.
Di sanalah masyarakat Dayak Iban merawat beragam warisan budaya leluhur mereka dari generasi ke generasi. Kudi tinggal di salah satu bilik di dalam Rumah Panjang. Saat dikunjungi pada Senin (26/6/2023) malam, Kudi tampak sedang menonton televisi menyaksikan beragam berita nasional sembari berbaring.
Beberapa saat kemudian Kudi duduk dan menyambut kami dengan ramah. Di salah satu sudut rumahnya terdapat alat musik tabuh yang dalam bahasa Dayak Iban disebut gendang. Gendang dimainkan dalam jumlah lebih dari 10 buah (12-14 gendang) dalam setiap acara adat. Karena jumlah gendang yang banyak maka yang memainkannya juga banyak orang sehingga dinamakan gendang mayoh.
”Setiap gendang ada beberapa nama, antara lain ngepun, tandan, gendang induk, pangkung bebendai, tinggang batang, dan tanggong,” tutur Kudi sembari memegang gendang.
Panjang gendang sekitar 1 meter dengan diameter sekitar 20 sentimeter (cm). Gendang terbuat dari beragam kayu, misalnya kayu ulin dan selangking. Sementara kulit gendang terbuat dari kulit binatang. Kulit tersebut kemudian diikat dengan rotan sehingga bisa ditabuh.
mayoh
gawak
”Dengan menabuh gendang mayoh berarti mengundang orang kayangan datang,” ujarnya.
Kudi belajar memainkan gendang sejak kecil dari Kakaknya. Kudi menceritakan asal usul gendang mayoh menurut cerita turun-temurun masyarakat setempat berasal dari orang panggau (orang kayangan).
”Orang kayangan dulu pernah hidup bersama dengan orang Dayak Iban,” tuturnya lagi.
Namun, suatu ketika orang Dayak Iban berpisah dengan orang kayangan karena mereka (orang kayangan) tinggal pada dimensi berbeda. Namun, orang kayangan masih bisa dipanggil. Media komunikasinya dengan menabuh gendang mayoh.
”Kalau kalian menabuh gendang ini kami datang,” ungkap Kudi menggambarkan pesan dari orang kayangan dulu.
Sekolah adat
Kudi merupakan ”guru” bagi generasi muda untuk belajar gendang mayoh. Generasi-generasi muda termasuk anak-anak belajar kepada Kudi. Transfer pengetahuan tersebut dalam keseharian juga berjalan.
Namun, ruang generasi muda untuk belajar kian terstruktur dan efektif tatkala kini telah ada Sekolah Adat. Kudi menjadi pengajar untuk permainan gendang mayoh di Sekolah Adat Temenggung Judan Sungai Utik.
Proses belajar di Sekolah Adat di luar jadwal sekolah formal, yaitu sore atau malam hari sehingga tidak mengganggu proses belajar di sekolah formal. Selain itu, proses belajar di Sekolah Adat juga dilakukan di Rumah Panjang.
Kudi mengatakan, selain belajar di Sekolah Adat, generasi muda juga belajar dengan menyaksikan tetua bermain gendang mayoh dalam suatu acara. Beberapa generasi muda yang sekarang bisa memainkan gendang mayoh juga belajar dari Kudi.
”Mengajarkan cara memainkan gendang mayoh harus bersama-sama karena jumlah gendangnya yang banyak,” kata Kudi.
Gendang mayoh perlu terus dilestarikan karena gendang mayoh selalu dipakai dalam ritual-ritual penting. Dalam setiap ritual selalu menghadirkan orang kayangan dengan alat komunikasi tabuhan gendang mayoh. Keberadaan Kudi penting sebagai sumber pengetahuan dalam hal bermain gendang mayoh.
Gendang mayoh juga ditabuh dalam ritual pengobatan. Orang Iban meyakini manusia memiliki tujuh semangat (jiwa). Ketika orang sakit salah satu jiwanya sedang ”bermain” dengan orang di dimensi lain.
Tetua yang memiliki keahlian dalam pengobatan akan pergi ke dimensi itu dengan bimbingan tabuhan gendang. Fungsi tabuhan gendang agar jiwa orang yang sakit maupun tetua yang mengobati mengetahui jalan pulang ke dunia. Tabuhan gendang mayoh semacam penuntun jalan pulang.
Gendang mayoh juga turut mewarnai perjumpaan saudara beda negara. Orang Iban Sungai Utik juga memainkan gendang mayoh tatkala hadir dalam acara bersama saudara mereka Dayak Iban di Sarawak, Malaysia. Orang Dayak Iban Sungai Utik bermain gendang mayoh bersama dengan orang Dayak Iban di Sarawak.
Orang Dayak Iban Sarawak sudah merasa kehilangan budaya itu. Tidak banyak lagi di Sarawak yang bisa memainkan. Dengan kehadiran saudara mereka dari Indonesia, menginspirasi orang Dayak Iban di Malaysia juga untuk tetap memelihara tradisi itu.
Kehadiran orang Dayak Iban Sungai Utik dalam acara saudara mereka di negara tetangga juga memberikan semangat bersama supaya warisan budaya tetap dilestarikan. Bahkan, saudara mereka di Malaysia juga ada yang belajar memainkan gendang mayoh.
Pentingnya tetua sebagai sumber pengetahuan, maka sejumlah generasi muda Dayak Iban pun mulai mendokumentasikan berbagai keahlian dari setiap tetua termasuk keahlian yang dimiliki Kudi. Generasi muda kini mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan ataupun video sehingga pengetahuan itu tetap bisa diakses generasi berikutnya.
Gendang mayoh sudah sering dimainkan oleh masyarakat Sungai Utik di berbagai kesempatan, misalnya di Putussibau, Yogyakarta, Jakarta, Bali, Pontianak, dan di Sarawak (Nanga Kumpang, Kuching, dan Bintulu), dalam kesempatan tersebut Kudi turut hadir.