Taufik, Olah Limbah Kelapa agar Petani Kelapa Sejahtera
Taufik, petani Pangandaran, ikut berjuang mengangkat potensi limbah kelapa. Dari awalnya tidak berguna menjadi bahan baku yang laku diekspor.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
Taufik (31), petani kelapa asal Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Pangandaran, Jawa Barat, unjuk gigi lewat ekspor cocopeat, olahan limbah sabut kelapa untuk media tanam. Kreativitasnya ikut memberikan tambahan penghasilan bagi petani lainnya agar lepas dari jerat utang.
”Cocopeat diambil dari limbah sabut kelapa. Dulu, petani hanya mengambil buahnya. Ternyata, sekarang nilai ekonominya lebih besar ketimbang buahnya apabila diolah dengan benar, bisa sampai belasan kali lipat,” kata Taufik, beberapa waktu lalu di Pangandaran.
Di pabrik pengolahan berkapasitas 2 ton per hari di Cintakarya, dia memperlihatkan pengolahan itu. Sabut kelapa dimasukkan ke dalam mesin giling yang didesain khusus, kemudian dicacah menjadi dua jenis. Selain cocopeat ada juga cocofiber, sabut dengan serat lebih kasar untuk furnitur hingga jok kendaraan kelas premium. Setelah itu, cocopeat masuk ke dalam proses pencucian dan masuk ke mesin pemerasan.
Mesin pemerasan ini adalah yang paling vital dan unik. Dibuat Yohan Wijaya Noerahmat (40), pendiri Koperasi Produsen Mitra Kelapa (KPMK), mesin itu disebut satu-satunya di dunia. Yohan merancang dan mengumpulkan alat-alatnya sendiri selama bertahun-tahun. Sebagian komponennya didatangkan dari berbagai negara.
Taufik pertama kali belajar soal cocopeat dan cocofiber kepada Yohan di KPMK. Dia kemudian ikut menikmati manfaat dan merawat mesin pemeras itu. Sejak rampung dibuat pada tahun 2022, dia tidak perlu lagi mengandalkan proses pemerasan dan penjemuran cocopeat pada alam untuk mendapatkan kadar air 20 persen.
”Dulu harus dijemur selama dua hari. Sekarang dengan mesin hanya butuh dua jam,” katanya.
Dengan kemudahan itu, pasar ekspor terbuka lebar. Sejak lama, konsumen ingin ada produk cocopeat konsisten berkadar air 20 persen. Tujuannya, menciptakan kelembapan produk yang baik saat digunakan.
Salah satu pasarnya adalah Jepang. Awal tahun 2023, dia mengirimkan 28 ton. Ekspornya berulang kembali pada Maret dan Juni.
Selain itu, Taufik dan belasan kawan-kawannya juga tetap memenuhi pasar lokal sekitar 500 karung per minggu, seperti ke Jakarta dan Bandung. Satu karung rata-rata seberat 50 kilogram (kg) dengan harga sekitar Rp 3.000 per kg. Atas kinerjanya ini, ia menjadi salah satu wakil andalan Dinas Perkebunan Jabar saat gelar produk kreatif di berbagai daerah.
”Tidak hanya teknis di pabrik, Kang Yohan mengajarkan banyak hal, termasuk penjualan dan mencari pasar di dalam serta luar negeri. Dia juga tidak lupa mengingatkan untuk mengajak petani kelapa lainnya sejahtera bersama,” katanya.
Potensi kelapa
Sejauh ini, pesan itu tengah dijalani Taufik. Bersama belasan anak muda lainnya, dia aktif di Kelompok Tani Gembala sejak 2019. Fokusnya tetap mengembangkan potensi kelapa. Mereka kerap berdiskusi dan menerapkan pola penanaman dan pemanfaatan kelapa yang melimpah di Pangandaran.
”Kami tengah merancang penanaman pisang dan rumput gajah di sekitar lahan kelapa. Harapannya, hasilnya bisa menambah pemasukan petani,” katanya.
Pangandaran adalah sentra kelapa Jabar. Data Dinas Perkebunan Jabar tahun 2022 menyebutkan, luas lahannya 25.266 hektar atau sekitar 15 persen dari total luas Pangandaran sebesar 168.000 hektar. Produksinya 13.148 ton per tahun. Ribuan orang bergantung hidup pada hasil kelapa.
Sekilas, potensi itu luar biasa. Namun, Taufik menyebut belum semua petani kelapa Pangandaran menikmati hasil ideal. Minim kreativitas, petani masih hanya menjual buah kelapa yang harganya kerap anjlok menjadi Rp 1.000 per butir. Terjerat utang dan tanpa modal cukup, sebagian petani bahkan menjual lahannya atau tidak lagi menanam kelapa.
Kondisi ini berdampak pada berkurangnya lahan tanam komoditas ini di Pangandaran. Lahan kelapa mulai beralih fungsi ditanami komoditas lain atau bahkan berubah menjadi perumahan atau bangunan lain.
Data Badan Pusat Statistik menyebut, lahan tanaman kelapa di kebun rakyat Pangandaran pada tahun 2021 mencapai 25.370 hektar. Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan setahun sebelumnya, 25.390 hektar.
”Para petani memang memiliki lahan, tapi tidak menikmatinya dengan maksimal karena produksinya diambil pemberi utang. Mereka juga masih mengambil buahnya. Beberapa petani tua-muda sudah kami dampingi dan paparkan manfaat besar cocopeat, termasuk jual langsung lewat online tanpa tengkulak,” kata Taufik yang menjadi salah satu petani milenial, program pendampingan petani muda di Jabar sejak 2022.
Yohan mendukung asa dan rencana Taufik untuk mencapai keuntungan dan kesejahteraan bersama para petani kelapa di Pangandaran. Bahkan, dengan potensi yang besar ini, dia berharap semakin banyak pemuda yang membangun Pangandaran menjadi lebih baik.
”Mungkin saat ini masih banyak pemuda kami yang pergi ke luar daerah, padahal di desa ini ada banyak hal yang dikembangkan, khususnya kelapa. Mereka bisa belajar dari Taufik bahkan bekerja sama. Dari Taufik, mereka bisa sama-sama mengembangkan ide lain demi hasil yang baik,” ujar Yohan.
Apalagi, kata Yohan, potensi cocopeat dan cocofiber masih sangat tinggi. Cocopeat dari Indonesia, termasuk yang diproduksi Taufik dan kawan-kawan, sangat diminati untuk diekspor ke China, Jepang, dan Korea Selatan. Sementara cocofiber kini dilirik produsen jok pesawat komersial. Ekspor keduanya 200 ton per bulan senilai lebih kurang Rp 1,5 miliar. Sedikitnya 2.500 petani dan pengepul kelapa terlibat di situ.
”Saat ini, produksinya hanya mampu memenuhi lima persen permintaan. Apabila terus digenjot, ia yakin bisa memasok kebutuhan hingga 30 persen, terutama untuk pasar Eropa. Peran anak muda seperti Taufik dan kawan-kawannya bisa ikut meraih potensi itu atau bahkan lebih besar,” katanya.
Kerja sama dari para pemuda ini menjadi modal untuk membangun desa. Tidak hanya menambah kesejahteraan dengan mengolah dan meningkatkan nilai produk kelapa, para petani juga bisa lepas dari jerat utang.