Hartawan Setjodiningrat, Bermobil Keliling Dunia Perkenalkan Nusantara
Hartawan Setjodiningrat alias Hauwke jungkir balik di Mongolia sampai mobilnya penyok. Ia juga tak segan menggunakan bahasa tarzan demi mengenalkan Tanah Airnya.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Hartawan Setjodiningrat (68) menggaungkan keelokan Indonesia yang diyakininya tiada tara dengan keliling dunia. Kemapanan tak lantas membuat dia berpangku tangan. Hartawan yang biasa disapa Hauwke berkelana dengan mobil meski harus menyongsong bahaya.
Hauwke berjalan santai sambil menunjukkan mobil-mobil lawas koleksinya di belakang rumahnya. Kendaraan paling tua bakal mencengangkan siapa pun yang melihatnya, yakni Laurent-Dietrich yang diproduksi tahun 1908. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke deretan Chevrolet jadul. ”Kelihatan mirip, tetapi teknologi beda, contohnya buatan tahun 1952 dan 1957,” ujarnya seraya menunjukkan sejumlah kendaraan semodel.
Ia punya sekitar 100 mobil. Selain semuanya masih jalan, hampir semua koleksi Hauwke dilengkapi surat-surat, termasuk yang paling kuno. Sehari-hari ia menyetir mobil tahun 1980-an dan 1990-an.
Ia malah ogah membeli produk gres. Sehari-hari ia menyetir mobil tahun 1980-an dan 1990-an. Sembari berseloroh, Hauwke mengaku biasa saja jika tak sempat bersalin pakaian, tetapi mobilnya bisa berganti. Hobi tersebut ditekuni sejak lebih kurang empat dekade silam.
”Suku cadang bisa dari komunitas atau luar negeri. Kalau enggak tersedia, ya, bikin,” ujarnya di Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Kecintaan Hauwke pada otomotif berjalin dengan kesibukannya bertualang. ”Besok, saya harus berangkat ke Brasil. Saya mau melanjutkan keliling dunia. Perjalanannya sudah dari tahun 2014,” katanya.
Berselang empat hari kemudian, ia sudah memperlihatkan videonya seusai berpesawat dan transit hingga 40 jam disusul melintasi jalan-jalan sempit. ”Jarang orang overland (lewat jalan darat) ke Brasil karena rawan sekali. Kriminalitas tinggi, tetapi saya nekat saja,” ujarnya.
Dalam video yang ia kirimkan kemudian, ia terlihat menemui beberapa warga dan berbincang-bincang ramah. Ia bercerita soal Indonesia dan menggugah mereka untuk berkunjung ke sini.
Hauwke yang pergi tanpa tenaga mekanik juga hendak melewati Bolivia, Peru, Ekuador, dan Kolombia sejauh lebih kurang 6.000 kilometer hingga Oktober 2023. Sejauh ini, ia sudah menjelajahi 80 negara dengan jarak sekitar 120.000 km yang menghabiskan hampir 25 ton solar.
Bahasa tarzan
Hauwke tak pernah menyia-nyiakan kesempatan mengenalkan Nusantara ke seantero negeri yang ia singgahi. Banyak bule kesengsem dengan ceritanya lalu berniat melancong ke Indonesia. Jika lawan bicaranya memakai bahasa yang tak dipahami, Hauwke cuek saja menggunakan bahasa tarzan.
”Bisa juga ngobrol pakai aplikasi penerjemah, tetapi lama. Bolak-balik nyodorin ponsel. Malah, kadang saya ngomong Jawa saja. Habis, enggak ngerti juga,” ujarnya diiringi tawa. Ia bersahabat dengan warga Argentina yang mampir bersama keluarganya ke Jakarta.
Ia pun sering menyorongkan layar gawai untuk memvisualkan tanah tumpah darahnya yang jelita dengan video dan foto. Promosi digencarkan pula dengan bermacam media sosial. ”Enggak sedikit orang yang ke Thailand dulu soalnya lebih ramah turis. Saya ajak (mereka) ke Indonesia. Mereka suka yoga, arca, atau hio. Jadi, saya masuk lewat spiritualitas,” katanya.
Hauwke tak bisa memastikan seberapa luas pertemanan yang telah terjalin selama di perjalanan. Namun, kesupelannya sudah menyentuh ratusan insan. Salah seorang di antaranya warga Argentina yang akhirnya mampir bersama keluarganya ke Jakarta. Mereka terkagum-kagum dengan ekspeditor dari negeri nun jauh ini, berikut mobil berpelat unik karena tetap bernomor polisi Indonesia. Hauwke membalas kehangatan mereka dengan menginap di rumah penggemar mobil klasik itu selama hampir sebulan.
Sambutan hangat tak jarang memeluk Hauwke dengan memo-memo untuk mencurahkan ketakjuban yang diselipkan di penyeka kaca mobilnya. ”Penulisnya menginfokan kalau enggak ketemu, hanya bisa menyampaikan selamat jalan dan mengagumi Indonesia yang sangat indah,” ujarnya.
Banyak pengalaman lain ia dapatkan. Termasuk diberhentikan polisi di Polandia yang menilangnya gara-gara disangka melecehkan bendera negara mereka. Kebetulan bendera Polandia berwarna putih-merah. Kebalikan dari bendera Indonesia. Setelah dijelaskan soal pengembaraannya yang bertajuk ”Happy Go Lucky Expedition” tersebut, Hauwke dilepaskan.
Sesekali, ingar-bingar klakson dari belakang bukannya mengekspresikan kejengkelan, melainkan antusiasme pengemudi yang telah kepincut kecantikan lanskap Indonesia. Mereka dengan berseri-seri mengacungkan jempol atau mengirimkan cium jauh.
Jungkir balik
Berjibaku merambah teritorial yang sungguh asing jelas dibayangi bahaya. Ia, misalnya, jungkir balik di Mongolia sampai mobilnya penyok. ”Saya enggak sakit parah. Cuma baret-baret, paling berdarah, tetapi bodi mobil harus diganti sampai mekanik dikirim dari Indonesia. Baru selesai sepuluh bulan,” ujarnya.
Misi yang dimulai di Malaysia itu sudah dihadang aral melintang saja di China lantaran ia meski dikuntit pemandu dengan biaya tinggi. ”Harus nginep bareng. Enggak nyaman. Kalau pemandu tidur, mobil enggak bisa dipakai. Akhirnya, saya dapat operator terus gabung sama 12 mobil,” katanya.
Di Irkutsk, Rusia, mesin mobil Hauwke pecah lagi. Ia juga nyaris mati didera suhu yang bisa menyentuh minus 10 derajat celsius di Siberia. ”Saya tenang saja. Datang mobil kecil. Mobil saya ditarik, talinya putus, tetapi sudah dipinggirkan,” ujarnya.
Saat ia termenung, sekonyong-konyong datang truk dengan nama perusahaan derek tertera pada pintunya. Dalam lima jam, mobil Hauwke sudah diangkut ke kota besar. ”Saya percaya Tuhan selalu bersama dengan pertolongan-Nya. Makanya, yang lebih penting dari mobil dan perlengkapan justru mental,” ujarnya.
Ia tak lupa menebar kebaikan seperti saat bersua pengamen di Argentina yang lantas diboyongnya hingga sebulan. Setiap pagi, musisi itu dilepas untuk mengalunkan saksofonnya. ”Saya kasih makan, wah, lahap sekali. Kalau tidur, orangnya pakai kasur yang saya bawa. Saya biar tidur di mobil,” katanya.
Hasrat Hauwke mengakrabi roda empat bersemi sejak dini saat menikmati trip dengan mobil untuk membeli bermacam kebutuhan. ”Saya dari desa mesti ke kota kalau beli apa-apa. Kayak cari sepatu. Mau beli buku saja susah. Saya enggak malu, justru karakter jadi kuat,” ujarnya.
Diawali bekerja di bengkel las pinggir jalan, Hauwke kini mengelola pabrik komponen mobil di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. ”Setelah Amerika Utara, saya ke Afrika, Timur Tengah, India, dan Australia. Total, 120 negara mungkin selesai tahun 2027 atau 2028,” katanya.
Asam garam lambat laun menyublim hingga mengemudi bagi Hauwke bagai bermeditasi saja. Ia tak pernah ngeri menyetir sendiri dengan gelapnya malam sejauh mata memandang. ”Sudah sumeleh (ikhlas). Saya tak terikat apa-apa lagi. Bebas. Ketemu orang lapar, saya bahagia kalau bisa kasih makan,” ujarnya.
Hartawan “Hauwke” Setjodiningrat
Lahir: Temanggung, Jawa Tengah, 25 Maret 1955
Istri: Minarsriani Soedargo
Anak:
Edwin Setjodiningrat
Ronald Setjodiningrat
Laurent Setjodiningrat
Pendidikan:
SD Masehi Temanggung
SMP Domenico Savio Semarang
SMA Loyola Semarang
S-1 Mechanical Engineering University of Technology Sydney, Australia