Tomy Bollin, Hiphop dari Kebun Singkong
Tomy Bollin terkejut mendapati kawannya belum hafal gerakan menjelang lomba menari. Ia diminta meniru orang mengupas kelapa. Saking letihnya, remaja itu pingsan.
Lagu-lagu Tomy Bollin (46) tak hanya mengajak pendengar untuk bergoyang lantaran lirik yang pekat akan budaya daerahnya. Penyanyi asal Bukittingi, Sumatera Barat, itu juga meretas pandangan sebelah mata dan keterkungkungan masa silamnya yang serba kekurangan.
Tomy melancarkan rentetan bait yang tak pelak asing bagi penonton RRRec Fest in the Valley 2023 di Sukabumi, Jawa Barat. Maklum, ia menyanyikan rap berbahasa Minang, tetapi penonton terbuai juga dengan kerancakannya hingga turut berjoget.
Dibuka aksi disjoki Pucat Pasi, intro menggema dengan alunan saluang yang berpadu intrumentasi hiphop dan sekelumit soul. ”Semuanya, nanti nyanyi ’Dindin Badindin’, ya,” ujar Tomy menyapa pengunjung festival musik tersebut, Sabtu (7/10/2023).
Ia merapal hampir 10 gubahannya selama sekitar 45 menit. Tak cuma berlenggak-lenggok di panggung, Tomy turun dan menyodorkan mik kepada penonton. Memang tak berbalas, namun pengunjung tetap asyik berlenggang atau merentangkan tangannya.
”Siapa yang suka bete (kesal)? Ayo, dengarkan ’Ubek Poniang’ (obat pening) dengan berpantun supaya lebih santai,” katanya. Hawa sejuk pada petang itu berangsur hangat dengan polah Tomy yang memanas disambut liukan audiens. Telunjuk dan jempol khalayak kerap terlontar lazimnya musisi rap andal.
Kurang mampu
Seusai penampilannya seraya melepas lelah, Tomy mengungkapkan ciptaannya yang tak sekadar penghiburan. Ia umpamanya, mengutip ”Karatau Madang Di Hulu” dengan melafalkan, ”Babuah babungo balun/marantau bujang dahulu/di kampuang paguno alun/...”.
Tomy menyampaikan pesan moral untuk anak-anak muda di Ranah Minang, di mana lelakinya dianjurkan berkelana tanpa melupakan adat istiadat mereka. ”Tindak tanduk hendaknya dijaga supaya bisa hidup di perantauan dengan sukses,” ujarnya.
Ia juga mengutip ”Jangan Coba-coba” untuk mengingatkan penggemarnya akan bahaya narkoba. Sementara, ”Malin Kundang” tentu dilantunkan agar anak patuh kepada orangtuanya. Kreasi-kreasi Tomy yang lain semisal ”Es Tebak”, ”Siteba Lapai Khatib Minang”, dan ”Maleh Se Den Nyeh”.
Tomy lantas menyitir ”Tukang Boto” yang menyimpan memorinya semasa kecil saat ia masih mencari-cari botol bekas, besi karatan, wajan bocor, sampai karung semen. ”Aku jual ke penampung. Lumayan buat jajan tanpa mesti merengek sama orangtua,” tuturnya.
Baca juga: Minikino Setelah Dua Dekade
Tomy tak menyangkal keluarganya kurang mampu, tetapi ia justru ditempa dengan kemandirian untuk berkreativitas. Sang ayah hanya polisi berpangkat kopral yang kerap mengomel tatkala rentetan bait anaknya dianggap cerocos tak karuan belaka.
”Saya suka dance (tarian) hiphop. Kata Bapak, ’Kamu badan gede, jogetnya heboh rumah bisa roboh’. Mau beli kaset? Uh, boro-boro,” ujar Tomy sembari terbahak. Generasi muda di Bukittingi yang tengah tergila-gila menikmati pop, rock, dan metal rupanya masih asing dengan hiphop.
Jangankan warga senior, selera Tomy dinilai ganjil hingga teman-teman menjauhinya. Sewaktu ia singgah di tongkrongan, satu-satu sahabatnya hengkang. ”Kayak zaman jahiliah saja, saya disisihkan. Katanya, ’Sori, ya, pergi dulu’. Enggak tahunya mereka kumpul lagi entah di mana,” katanya.
Jajan cuma Rp 100-Rp 200 per hari, lama ngumpulin uangnya. Harus cuci kaki dulu soalnya nonton di rumah orang kaya.
Tomy tak ambil pusing meski hasratnya menggeluti hiphop berbuntut satir. Prihatin, tetapi sekaligus lucu ketika ia terpaksa berlatih di kebun singkong dengan penerangan yang kabelnya terurai dari dapur. Penghuni asrama itu umumnya terlelap mulai pukul 22.00.
”Sejam kemudian, baru latihan. Daya khayal saya tinggi, nyanyi ’It’s My Life’ lagunya Dr Alban. Saya masih kelas dua SMP,” ujarnya. Hiphop dari lahan di belakang kediamannya itu disambut anak-anak putus sekolah di sudut pasar. Tak dinyana, kenalan-kenalan baru Tomy memendam animo serupa.
Kekariban yang berawal dari menyemir sepatu, membantu pedagang, dan mencari karton untuk dijual berlanjut dengan ajojing bareng. ”Saya main ke pasar, ternyata mereka suka hiphop. Katanya, ’Coba, koreografimu bagaimana, Tom? Wah, keren’. Akhirnya, saya bikin komunitas,” tuturnya.
Demi menikmati idolanya bergaya, Tomy pun harus patungan dengan teman-temannya untuk menyewa video, bahkan membeli sabun. “Jajan cuma Rp 100-Rp 200 per hari, lama ngumpulin uangnya. Harus cuci kaki dulu soalnya nonton di rumah orang kaya,” ujarnya sambil tergelak.
Pamor selaku pembina seni dan olahraga OSIS semasa SMA tak memayungi dari sentimen gurunya. Pengajar itu menyilangkan jari di dahi saat atraksi Tomy digelar. ”Saya ketemu lagi, tahun 2008, karena membawa murid sekolah yang sama ke pentas nasional. Gurunya kaget terus ketawa sama-sama,” katanya.
Obsesi Tomy tak terbendung dengan merambahi berbagai kota seperti Padang, Payakumbuh, Solok, Pariaman, hingga Pekanbaru untuk menjajal festival tari kejang atau breakdance yang ditingkahi lagu-lagu Kris Kross, 2 Live Crew, Vanilla Ice, dan Iwa K.
Pingsan kecapekan
Ia pernah menjemput rekannya untuk berkompetisi menari hiphop. Betapa terkejut Tomy mendapati pasangannya belum menguasai gerakan, padahal lomba tinggal satu jam lagi. ”Saya ke dapur, ketemu Emaknya lagi mengupas kelapa pakai kayu dan besi dengan kait. Dapatlah ide,” ujarnya.
Disuruhnya sejawat Tomy itu untuk meniru saja orang sedang membuka kelapa selama lagu berkumandang sekitar tiga menit. ”Pas selesai, orangnya pingsan benaran. Kecapekan, napasnya habis, tetapi enggak sia-sia. Dapat juara harapan I,” tuturnya dengan geli.
Ia menyambangi kontes-kontes sejak tahun 1994. Juara hingga kepercayaan untuk menjuri bibit-bibit unggul acapkali diraih sampai Tomy lupa jumlahnya, tetapi sudah ratusan kali. Finansial orangtua yang tak mendukung disiasati dengan berdagang pakaian bekas.
Dapur rekaman ditembus, tahun 2005, untuk membuat album mini yang berisi tujuh lagu. Tomy sudah mencetak tiga album dan merilis sekitar 20 karya yang bernuansa Minang. Ia masih menyimpan lebih kurang 25 lagu yang belum diluncurkan. Lagi-lagi, nada sumbang sempat meluncur.
Baca juga: Hermanu, "Master of Lawasan"
”Banyak yang kontra setelah album saya keluar. Dibilangnya, bukap rap Minang. Dandanan dikira urakan dan melanggar kesopanan,” ujarnya. Ia konsisten menaati adab dengan mengamalkan lelaku yang kerap tak diindahkan seperti mengucapkan permisi kala mendahului orang-orang tua.
Tomy menggenggam pepatah muluik manih kucindan murah dengan rajin menyapa meski tak mengenal mereka yang berpapasan. ”Berbahasa santun mendatangkan kebaikan atau murah rezeki. Orang ngomong, Tomy kalau dilihat aneh, tapi sopan betul. Semua ditegur. Akhirnya, nama saya jadi baik,” katanya.
Kini, milenial dan generasi Z, terutama di Bukittingi, menyambut Tomy dengan respek disusul permintaan untuk mengalunkan rap. ”Begitulah perjuangan saya melewati transisi. Dulu, menatap tampang saya saja kayaknya mereka mau meludah,” ujarnya diiringi senyum.
Tomy Bollin
Lahir: Bukittingi, Sumatera Barat, 22 September 1977
Pendidikan terakhir: S-1 Jurusan Elektro Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Istri: Resty Harmileny
Anak: 3