Ratih Kumala, Keturunan Pemilik Pabrik Rokok Kretek
Menulis karya sastra, terutama novel, butuh upaya lebih. Bahkan walau masih keturunan pemilik industri rokok kretek di masa lalu, Ratih Kumala butuh empat tahun riset untuk novelnya, ”Gadis Kretek”.
Oleh
WISNU DEWABRATA
·2 menit baca
Walau keturunan langsung dari keluarga pemilik perusahaan rokok kretek masa lalu di Muntilan, Jawa Tengah, tetap bukan perkara mudah bagi penulis novel Ratih Kumala untuk membuat salah satu karyanya, Gadis Kretek (2012). Novel berlatar perkembangan industri kretek periode penjajahan Belanda, kemerdekaan, hingga peralihan rezim Orde Lama ke Orde Baru itu berkisah tentang kehidupan Dasiyah. Gadis putri pertama pemilik pabrik rokok terkenal itu diceritakan terus berjuang untuk eksis di tengah masyarakatnya yang patriarki.
”Keluarga besar mamaku dulu itu pengusaha kretek lokal di kota kecil di Jawa Tengah. Nama kakekku, eyang kakung Affandi. Tapi, jauh sebelum aku lahir, bisnis kretek yang dibangun kakekku sebetulnya sudah enggak ada. Yang tersisa hanya cerita-cerita kalau di rumah ini tuh dulu isinya pelinting, di pojok situ apa, di pojok situ ngapain,” ujar Ratih, Rabu (1/11/2023).
Ratih lalu bercerita tentang proses kreatifnya menulis novel yang sempat mandek dan membutuhkan waktu hingga empat tahun untuk melakukan riset, terutama seputar industri rokok kretek di masa lalu. Dalam menentukan judul pun, Ratih membuat sejumlah pilihan. Pilihannya kemudian jatuh pada judul Gadis Kretek, yang tak lain merek kretek dalam novelnya itu.
Saat novelnya itu dipilih untuk diterjemahkan ke dalam cerita serial orisinal Netflix, Ratih merasa senang dan bangga. Film serial yang disutradarai pasangan suami istri Ifa Isfansyah dan Kamila Andini itu melibatkan sederet artis film papan atas, seperti Dian Sastrowardoyo, Ario Bayu, Arya Saloka, dan Putri Marino.
Ratih berharap Gadis Kretek bisa menjadi semacam pintu masuk dunia untuk mengenal lebih dekat Indonesia. Mengenal baik dari aspek kisah manusia, latar sejarah, maupun perekonomiannya walau di masa lalu.
”Soal pesan apa yang mau disampaikan, sebagai penulis aku tidak pernah punya agenda tertentu untuk menyampaikan sesuatu, sih. Di novel ini maupun yang lainnya, ya sudah, sebatas cerita saja,” ujar Ratih.
Selain Gadis Kretek, Ratih juga menulis sejumlah novel lain, seperti Tabula Rasa (2004), Larutan Senja (2006), Kronik Betawi (2009), Bastian dan Jamur Ajaib (2015), dan Wesel Pos (2018). Pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (2004) ini juga aktif menulis naskah film dan drama televisi.