Ery Mefri, Dedikasi Sang Maestro Tari
Buat Ery Mefri, seniman tidak pernah pensiun. Sampai kapan pun ia akan terus berkarya. Mati pun akan terus berkarya.
Dedikasi Ery Mefri (65) di dunia tari telah mengantarkannya menjadi salah seorang maestro tari di Indonesia. Memasuki empat dekade berkarya, pendiri dan pemimpin Nan Jombang Dance Company ini tak akan berhenti berproses dan mencipta.
Ratusan karya telah dihasilkan Ery selama 40 tahun berkiprah di dunia koreografi. Namun, tidak semua karyanya yang terdokumentasi, terutama di awal karier. Yang tertulis dan terdokumentasikan sekitar 100 karya sejak 2004.
Ery dan kelompoknya, Nan Jombang, telah melanglang buana ke berbagai negara di empat benua menampilkan karya. Beberapa karya masterpiece-nya, antara lain Sarikaik, Rantau Berbisik, Sang Hawa, dan Tarian Malam.
Pencapaian Ery di bidang tari kontemporer pun mendapat pengakuan. Beberapa penghargaan tingkat provinsi dan nasional ia raih. Terakhir, 9 November lalu, Ery menerima penghargaan kategori penerus dari Cultural Heritage of Indonesia (CHI) Award 2023 di Jakarta.
Jurnalis senior sekaligus sastrawan Khairul Jasmi (60), dalam pembukaan Kaba Festival ke-9 pada 1-3 November, menyebut, sejauh ini, tidak ada orang yang melampaui Ery di Sumatera Barat dilihat dari karya dan perjalanannya ke luar negeri.
Dengan berbagai pencapaian yang diraih, Ery yang telah memasuki masa lanjut usia tak pernah berhenti dan merasa puas. Menurut pria asal Nagari Saniangbaka, Kabupaten Solok, Sumbar, ini, seniman harus terus berproses dan menghasilkan karya.
Kata orang, sekarang uda sudah berhasil. Kata uda, belum. Perjalanan uda belum selesai. Makanya kami tetap berkarya terus-menerus.
”Kata orang, sekarang uda sudah berhasil. Kata uda, belum. Perjalanan uda belum selesai. Makanya kami tetap berkarya terus-menerus,” kata Ery, ketika dijumpai di Museum Tari Ery Mefri di Ladang Tari Nan Jombang yang juga kediamannya, Kota Padang, Senin (6/11/2023).
Karya mutakhir Ery, “Salam Tubuh pada Bumi”, ditampilkan pada hari pertama Kaba Festival di Gedung Manti Menuik, Ladang Tari Nan Jombang. Pada hari itu, Nan Jombang juga meluncurkan museum tari dan buku Salam Tubuh pada Bumi: Perjalanan 40 Tahun Karya Ery Mefri yang ditulis oleh Hendra Makmur.
Karya koreografi Ery dikenal memiliki gerakan yang tegas, gesit, kuat, sekaligus lembut tetapi bertenaga. Baginya, tari bukan untuk melenggok dan senyum-senyum, merangsang penonton, melainkan untuk bercerita sebagaimana tarian-tarian adat di Minangkabau.
Selain itu, karya-karya Ery sejak tahun 2000 juga tidak menggunakan musik pengiring. Musik dihasilkan oleh para penari dari gandang tambua, celana galembong (celana silek (pencak silat) dan randai), bahkan anggota tubuh. Menurut Ery, kesakitan kita harus kita yang meneriakkan.
Meskipun masuk kategori kontemporer, seni tradisi dan budaya Minangkabau tetap menjadi pijakan ataupun inspirasi dalam karya Ery. Karya ”Sarikaik”, misalnya, terinspirasi dari seni tradisi randai.
”Dasar saya dulu seni tradisi. Bagaimanapun dan semodern apa pun kami (Nan Jombang), dasarnya tidak akan hilang. Itu barangkali yang membuat kami bisa dikenal,” kata Ery.
Pilihan hidup
Hidup Ery seolah telah ditakdirkan untuk berkecimpung di dunia tari. Darah seniman mengalir dari kedua orangtuanya. Abak-nya (ayahnya), Jamin Manti Rajo jo Sutan atau Manti Menuik, adalah maestro seni tradisi, sedangkan amak-nya (ibunya), Nurjanah, adalah penenun kain dalamak.
Pada usia enam tahun, tanpa pernah latihan, Ery sudah bisa menampilkan Tari Piring dalam sebuah pertunjukan yang diisi Grup Tari Tan Bentan yang dipimpin abak-nya. Keterampilan menari didapatkannya karena kerap menyaksikan proses latihan grup itu sembari duduk di pangkuan abak, kadang hingga terlelap.
Sejak penampilan perdana itu, Ery rutin latihan, baik bersama anggota grup tari tersebut maupun mandiri. Selain Tari Piring, ia juga mempelajari Tari Tan Bentan dan Randai Ilau—tiga seni tradisi yang paling sering dibawakan grup tari abak. Saat masuk SD, ia juga diantarkan abak belajar pada guru besar silek di Saniangbaka.
Meskipun mahir menari sejak dini, bukan hal itu yang membuat Ery memantapkan pilihan hidup di dunia tari. Dua peristiwa sepele tetapi sangat membekas saat kelas VIII SMP-lah yang menjadi titik mulanya.
Ery terpilih menari berpasangan dengan teman perempuannya untuk mengisi acara perpisahan siswa kelas IX. Hanya dua kali latihan, pelatih tiba-tiba mengganti posisinya dengan orang lain tanpa pemberitahuan. Alasan pelatih, pinggang Ery tagang (tegang atau kaku).
Selanjutnya, dalam persiapan acara perpisahan pula, Ery berkomentar terhadap lukisan untuk panggung yang dibuat seniornya. Ia merasa ada yang janggal dari lukisan bergambar manusia itu. Satu lukisan matanya kurang, sedangkan lukisan lain matanya lengkap. Seniornya menjawab, jika tidak mengerti seni, jangan bertanya pula.
”Dua kejadian itu membuat saya terhening. Itu menjadi dendam. ’Den (saya) kalahkan kalian nanti sadonyo (semuanya)’ dalam hati. Bukan dendam ke orang-orang itu, melainkan dendam ke diri sendiri. Sampai sekarang den masih bergaul dengan mereka,” kata Ery.
Gila menari
Setamat SMP, Ery yang telah mantap memilih tari sebagai jalan hidup melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Padang Panjang (sekarang SMK 7 Padang) pada 1977. Ia hendak mendalami dunia tari di sekolah tersebut.
Sementara itu, abak sebenarnya mengharapkannya masuk ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) di Payakumbuh. Harapannya, setelah lulus, Ery bisa menggarap sawah dan ladang abak yang relatif luas. Ia diiming-imingi Honda Astrea 70 jika masuk SPMA. Hadiah menggiurkan itu, tak menggoyahkannya.
Di SMKI, kegandrungan Ery pada menari semakin menjadi-jadi. Selepas belajar teori dan gerak dasar tari di kelas, ia melanjutkan dengan latihan mandiri. Sepulang sekolah pukul 13.00, Ery mencari ruang kosong di sekolah untuk mengolah tubuh. Jarak kediamannya dengan sekolah hanya 100 meter.
Saat maghrib, Ery pulang untuk mandi, kemudian kembali berlatih di sekolah. Ia berlatih hingga larut malam dan tidur di sekolah yang berbagi ruangan dengan Akademi Seni Karawitan Indonesia atau ASKI (sekarang Institut Seni Indonesia) Padang Panjang itu.
Rutinitas itu Ery lakoni selama 4 tahun bersekolah di SMKI. ”Anak ASKI, yang kuliah sore, sampai berkata, ’Paja ko gilo mah (dia gila).’ Pagi belajar di kelas, sore hingga malam latihan,” ujar Ery mengenang.
Semasa di SMKI, Ery juga kerap tampil di berbagai pertunjukan bersama anak-anak ASKI. Pria yang sekarang punya enam anak dan delapan cucu ini sering ”dipinjam” dan menjadi ”pemain bayaran” setiap kali anak ASKI diundang menari.
Mendirikan Nan Jombang
Tamat dari SMKI pada 1981, Ery sempat menjadi pelatih tari di Kantor Departemen (Kandep) Pendidikan dan Kebudayaan (PDK) Solok. Sejalan dengan itu, selama setahun pada 1982, ia juga bergabung sebagai penari dan ikut mendirikan Sanggar Tari Gumarang Sakti, pimpinan Gusmiati Suid, di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar.
Tahun 1982, Ery diterima sebagai ASN di Taman Budaya Padang (sekarang Taman Budaya Sumbar) di bidang peningkatan mutu. Di Taman Budaya, Ery juga memegang labor tari untuk melatih siapa yang saja yang datang hendak belajar menari.
Semasa itu, kegilaan Ery pada menari tak surut. Pagi sampai siang ia bekerja, sore dilanjutkan dengan latihan menari sendirian hingga lewat tengah malam. ”Jika tidak ada orang yang akan dilatih, saya melatih diri terus-menerus. Akan jadi apa, saya tidak peduli. Tidak ada target,” katanya.
Saat memegang labor tari itulah, Ery berinisiatif mendirikan Nan Jombang. Ini menjadi win-win solution. Sebab, tidak setiap hari ada orang yang datang belajar menari. Dengan adanya Nan Jombang—yang di masa awal merekrut siswa SLTA sebagai anggota—labor tari tetap aktif dan ia bisa terus berkarya.
Maka 1 November 1983 berdirilah Nan Jombang. Nama grup itu diambil dari judul karya perdana yang ditampilkan ”Nan Jombang”. Nan Jombang berarti gagah, nakal, dan tetapi disenangi. ”Bapak saya di kampung seperti itu. Ganteng dan gagah, disukai wanita,” ujarnya.
Perjalanan berat
Perjuangan Ery membesarkan Nan Jombang menempuh jalan berat dan berliku. Di sisi lain, keluarga besarnya di Saniangbaka tidak menyukai jalan hidupnya di dunia tari alih-alih di bidang pertanian. Ery mengenang kata-kata orang di kampung, ”Tidak ada orang yang kaya karena kesenian.”
Meskipun demikian, Ery tidak peduli karena memilih hidup di dunia tari. Di tengah keterbatasan ekonomi dan kesempatan tampil ia terus berproses dan berkarya bersama Nan Jombang tanpa target untuk menjadi apa.
Ery menjelaskan, 25 tahun pertama perjalanan Nan Jombang sangat berat. Semua biaya operasional grup bergantung pada gaji Ery sebagai PNS yang tak seberapa. Beberapa penari juga tinggal bersama keluarganya sehingga beban hidup membengkak.
”Kami sering pindah-pindah rumah kontrakan. Semuanya pindah karena diusir. Uang kontrakan menunggak sampai tiga bulan, tentu saja diusir. Makan kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak,” katanya.
Kami sering pindah-pindah rumah kontrakan. Semuanya pindah karena diusir.
Di sisi lain, Ery merasa perhatian dan kesempatan tampil yang diberikan pemerintah terhadap seniman sangat minim. Ia merasa Nan Jombang dianaktirikan oleh pemda, bahkan sampai sekarang. Grup kesenian lain dibina dan difasilitasi tampil di dalam dan luar provinsi dengan biaya penuh, sedangkan grupnya tidak.
”Mungkin kesalahan uda adalah di Minangkabau uda membuat tari kontemporer. Tari kontemporer kan tidak laku di pemerintahan dan tempat baralek (hajatan). Uda membuat tari memang tujuannya bukan untuk itu,” ujar Ery.
Agar Nan Jombang bisa tampil dan dikenali, Ery sering mengontak pihak-pihak yang mengadakan festival. Ia bersedia tampil meskipun tidak dibayar dan difasilitasi akomodasi. Biaya operasional ditanggung sendiri, baik dari gaji Ery maupun dari patungan anggota Nan Jombang.
Peristiwa duka juga berulang kali menguji Ery. Saat mengikuti lokakarya dan menghadiri ”American Dance Festival” di Durham, Carolina Utara, dan New York, Amerika Serikat, pada 5 Juni-28 Juli 1994. Baru delapan hari di Amerika, salah seorang putrinya, Gessi, meninggal pada usia 10 tahun.
Ery sempat limbung, tetapi dikuatkan oleh teman-teman sesama koreografer peserta lokakarya. Pesan Gessi—yang tengah masa pemulihan sakit tifus—sebelumnya agar Ery tetap berangkat ke Amerika untuk memperbaiki ekonomi keluarga, juga menguatkannya.
Pengorbanan tersebut tidak sia-sia. Selama di Amerika, Ery belajar banyak hal, terutama soal bagaimana menggali potensi penari. Selain itu, pengalaman hampir dua bulan di sana juga menguatkan keyakinan Ery bahwa target tidaklah penting. ”Ketika menentukan target, berarti kita sudah menentukan hari kematian,” ujarnya.
Momen berat lain adalah ketika abak, Manti Menuik, meninggal tiga jam sebelum keberangkatan Nan Jombang ke Australia untuk debut luar negeri di Brisbane Powerhouse, 2-11 Agustus 2007. Ery mengambil keputusan sulit untuk meneruskan perjalanan yang kelak membuka pintu kesuksesan di panggung internasional.
”Uda sadar akan menghadapi banyak penderitaan. Mungkin ibadah uda tidak cukup, tetapi keyakinan uda kuat. Uda sering dengar dari gaek (orangtua), alim ulama, ustaz di surau, ‘Bekerja keraslah kamu tanpa kenal lelah, saya akan mempersiapkan yang terbaik buat kamu,’,” kata Ery soal keteguhannya.
Arah angin mulai terasa berpihak kepada Ery ketika Nan Jombang diundang tampil di Indonesian Arts Mart (IPAM) di Nusa Dua, Bali, 15-17 Juni 2004. Pada acara itu ia berjumpa dengan Andrew Ross, Direktur Brisbane Powerhouse, salah satu gedung pertunjukan ternama di Australia.
Andrew terpincut dengan penampilan Nan Jombang dan menawarkan kerja sama. Tiga tahun kemudian, Nan Jombang sepakat tampil di Brisbane Powerhouse, 2-11 Agustus 2007. ”Ratok Piriang” dan ”Sarikaik” yang ditampilkan mendapat apresiasi dari publik Australia.
Sejak tampil di Australia, Nan Jombang masuk radar gedung-gedung pertunjukan mancanegara. Awal Juni 2009, tiga hari sebelum tampil dalam IPAM Solo, Nan Jombang mendapat undangan tampil di Theater der Welt di Essen, Jerman, pada 6-12 Juli 2010.
Saat tampil di IPAM di Solo pada 4 Juni 2009, Nan Jombang yang membawakan “Rantau Berbisik” di hadapan 32 buyers dari 22 negara, termasuk Andrew Ross, mendapat sambutan meriah. Hasilnya sejumlah kontrak pertunjukan didapat antara lain di Singapura, Jepang, Filipina, Korea Selatan, Jerman, dan Australia.
Penampilan di negara-negara tersebut memperluas jangkauan Nan Jombang ke negara-negara lain. Secara keseluruhan, Nan Jombang tercatat pernah tampil di Singapura, Jepang, Filipina, Korea Selatan, Jerman, Amerika Serikat, Swedia, Taiwan, dan Sri Lanka, selain juga di berbagai daerah di Indonesia.
Keteguhan Ery akhirnya membuahkan hasil. ”Selama 25 tahun perjuangan kami sangat berat. Akhirnya, 2007 kami bisa bangkit dan memperbaiki keadaan hingga sekarang,” katanya.
Kini Nan Jombang Dance Company beranggotakan 25 orang. Tujuh di antaranya adalah penari, termasuk istri dan dua anak Ery. Selebihnya adalah penata lampu, teknisi sound system, tim kreatif, fotografer, dan desainer grafis.
Ladang Tari Nan Jombang di Kota Padang menjadi monumen keberhasilan Ery dan Nan Jombang yang mulai mereka tempati tahun 2011. Selain rumah, kantor, dan museum, di kompleks seluas 2.500 meter persegi ini terdapat Gedung Pertunjukan Manti Menuik.
Kompleks itu tidak hanya menjadi kediaman keluarga Ery dan tempat olah seni Nan Jombang Dance Company, tetapi juga menjadi wadah bagi seniman lainnya.
Sejak 3 Maret 2013, Ery dan grupnya rutin mengadakan Festival Nan Jombang (FNJ) Tanggal 3 di kompleks tersebut. Festival yang digelar tanggal 3 setiap bulannya ini menjadi ruang tampil bagi pelaku atau grup seni tradisi dan pemula baik dari dalam maupun luar Sumbar.
”Uda menderita karena tidak diberi kesempatan. Uda tidak ingin teman-teman mengalami hal serupa. Uda buat festival ini supaya teman-teman punya kesempatan untuk mengadakan pertunjukan,” kata Ery, yang pensiun sebagai ASN di Taman Budaya Sumbar tahun 2014.
Selain itu, Ladang Tari Nan Jombang sekali setahun juga menjadi tempat perhelatan Kaba Festival yang pertama kali digelar 3-15 Desember 2014. Kaba Festival menjadi panggung tampil bagi pelaku atau grup seni dari dalam dan luar negeri—yang sudah matang dan tetap berproses—untuk dikenali dunia.
Menurut Ery, hasil dari Kaba Festival mulai terlihat. Beberapa pelaku atau grup seni muncul di panggung dunia seusai tampil di Kaba Festival. ”Kaba Festival mengundang orang-orang sebagai kaca banding. Uda ingin mencari teman sama-sama berlari supaya bisa saling mendukung,” ujarnya.
Sementara, bagi anak-anak dan remaja, Nan Jombang juga membuka sanggar belajar menari. Sekitar 50-70 orang belajar menari dua kali sepekan. Sanggar sempat terhenti karena Covid-19, tetapi akan kembali dibuka tahun depan.
Meskipun meraih banyak kesuksesan dan pencapaian, Ery dan Nan Jombang memang terus berlari. Mereka terus berlatih dan berproses menghasilkan karya setiap malam. Mereka biasanya istirahat saat Nan Jombang mengadakan festival atau pertunjukan.
Ketika ditanya sampai kapan akan terus berkarya, Ery menjawab tegas. ”Seniman tidak pensiun. Sampai kapan pun ia akan terus berkarya. Mati pun akan terus berkarya,” ujar pria yang punya enam anak dan delapan cucu ini.
Ery Mefri
Lahir: Saniangbaka, Solok, 23 Juni 1958
Pekerjaan: Koreografer, Pemimpin Nan Jombang Dance Company
Mahakarya:
- Sarikaik
- Rantau Berbisik
- Sang Hawa
- Tarian Malam
Penghargaan:
- Penghargaan “Tuah Sakato” dari Gubernur Sumbar (2008)
- Anugerah Kekayaan Intelektual Nasional dari Kemenkumham (2016)
- Penghargaan Kebudayaan dari Kemendikbud (2016)
- Anugerah Kebudayaan dari Gubernur Sumbar (2020)
- Cultural Heritage of Indonesia Awards dari Yayasan Al-Mar (2023)