Rupa-rupa Sinema Wahyu Agung Prasetyo
Masih ingat dengan Bu Tejo yang ceriwis? Sutradara dan penulis Wahyu Agung Prasetyo (30) merupakan salah satu sosok di balik kemunculan karakter ini.
Berbekal kemauan dan pengalaman yang digali secara mandiri, sutradara dan penulis Wahyu Agung Prasetyo (30) berkembang menjadi sutradara muda yang moncer. Ia mengolah isu kekinian tanpa menanggalkan keintimannya dengan budaya lokal tempatnya tinggal.
Wajah Agung sedikit berkerut sembari melihat ke kanan kiri mencoba mencari jawaban yang tepat. Istrinya, Elena Rosmaisara, yang menjadi produser tersenyum di sebelahnya bersama tiga anak kecil pemeran utama dalam film pendek terbaru yang dibuatnya. Mlethek (2023) merupakan judul filmnya yang ditayangkan di Layar Anak Indonesiana pada hari kedua Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF), Minggu (26/11/2023).
”Wes enggak usah dipikir. Susah soalnya,” jawab Agung sambil tersenyum seusai pemutaran film. Respons itu menanggapi seorang anak yang bertanya bagaimana membuat para tokoh utama berubah menjadi pohon.
Memang dalam film berdurasi sekitar 12 menit itu ketiga tokoh diceritakan menjadi pohon. Peristiwa ini terjadi setelah salah seorang tersedak biji rambutan hasil curian dari rumah tetangga. Ketiganya sempat bercanda bahwa jika biji rambutan tak bisa dikeluarkan, akan tumbuh pohon rambutan di kepala. Hanya hitungan menit, tunas rambutan muncul di atas kepala ketiganya.
Momen tokoh bersalin rupa menjadi pohon ini ternyata menarik bagi para penonton anak. ”Wes mengko njajal nggolek carane yok. Apike iso dadi Groot,” celoteh Kenzo (11), anak laki-laki yang bertanya tadi, kepada temannya saat sesi tanya jawab selesai.
Aku bingung mau njawab apa. Aku khawatir kalau aku juga njawab teknis, mereka malah mumet dewe. Malah bubar yang tadinya tertarik bikin film, mikire dadi susah.
Empat hari setelahnya, Kamis (30/11/2023), Agung membuka pintu kantornya, Ravacana Films. Di sebuah rumah sewa berhalaman lega di bagian samping dan belakang yang disulap menjadi kantor ini, film-film pendek besutan Agung digagas. Hari itu, kantor senyap karena padatnya jadwal festival film di Yogyakarta, November-Desember itu.
Baca juga: Laleilmanino: Populer via Pop
”Ada yang sibuk di JAFF, ada yang lagi nyiapin FFD (Festival Film Dokumenter). Aku sama istriku yang udah enggak terlibat lagi. Tadinya aku di JAFF dari 2012 sampai 2021. Dari jadi volunteer, terus jadi tim screening, terus jadi venue manager terakhir,” ujar Agung.
Ditemani segarnya es jeruk yang dipesan dari warung mi ayam seberang, ia pun menyinggung sekelumit tanggapannya ketika berjumpa para penonton anak di JAFF beberapa waktu sebelumnya.
”Aku bingung mau njawab apa. Aku khawatir kalau aku juga njawab teknis, mereka malah mumet dewe. Malah bubar yang tadinya tertarik bikin film, mikire dadi susah,” kata Agung yang mengakui membuat film sejatinya bukan sesuatu yang mudah.
Agung merasakannya sendiri ketika wira-wiri menyerap ilmu dari berbagai arah lebih dari satu dekade ini. Minatnya pada film sudah tumbuh sejak kecil. Ia kerap memanfaatkan handycam di rumah untuk merekam. Sempat surut, ia dipertemukan lagi dengan hasratnya pada film di 2010 setelah menyaksikan pemutaran film yang diselenggarakan komunita Cinema Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Atas dasar ini pula Agung memutuskan melanjutkan pendidikan sarjana dengan Jurusan Ilmu Komunikasi di UMY demi bisa bergabung di komunitas film tersebut pada 2011. Ia juga mengambil mata kuliah sinematografi yang pelan-pelan membuka matanya tentang proses produksi film secara profesional.
”Waktu itu kami dimarkasin di salah satu PH di Yogyakarta, namanya Lookout Pictures. Hampir setahun berproses di sana. Kami bikin film panjang, konsep omnibus dari enam film pendek dijadiin satu. Aku cukup belajar banyak di sana, kenal banyak orang, dan mulai belajar profesional di titik itu,” katanya.
”Nyemplung” sebagai panitia di JAFF selama hampir 10 tahun dijadikannya juga media belajar. Setahun kemudian, ia menjajal membuat film sendiri yang dinilainya hancur dan memacunya untuk kian menebar jejaring dan turun ke lapangan. Ia menyambangi ke berbagai rumah produksi yang ada di Yogyakarta saat itu.
Dari ikut shooting sebagai kru hingga menjadi pemeran tambahan di FTV dan layar lebar dilakoninya untuk menyerap pengetahuan di luar lingkungan kampus. Sampai pada satu titik, ia menyadari apa yang diperolehnya selama berada di komunitas ternyata tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
”Di film itu, kan, enggak ada rumusan benar salah, tetapi jatuhnya efektif apa enggak kamu ngerjain-nya. Ternyata selama ini, ya, enggak efektif,” katanya tergelak mengingat masa-masa dirinya mencari tahu seluk-beluk produksi film secara otodidak sambil berupaya lulus kuliah.
Film pendek
Usahanya seliwar-seliwer ke rumah produksi dan mencicip pengalaman lapangan tak sia-sia. Pada 2014, dua film pendek dihasilkannya, yakni Njlungup dan Mak Cepluk, yang mulai meraih penghargaan di ajang film pendek tingkat kampus. Salah satunya Film Terbaik Algorythm Short Film Competition Vokasi UGM 2014.
Eh bener, ternyata menang dapat hadiah Rp 20 juta. Berarti, kan, masih ada Rp 18 juta lagi. Terus buat apa nih uangnya? Ya, udah coba bikin PH aja.
Berlanjut pada 2015, film pendek Nilep bertubi-tubi menang lomba, antara lain Film Pendek Moviestifal Kantor Pos Indonesia 2015, Film Fiksi Pendek Terbaik ACFFest KPK 2015, dan Film Pilihan Juri ACFFest KPK 2015. Kelak, kemenangan dari Kantor Pos Indonesia itu menjadi cikal bakal Ravacana Films.
Baca juga: Kezia Karin: Si Pendengar Andal
Pertemuan dengan Egha Harismina yang juga menjadi pendiri Ravacana terjadi di JAFF. Agung dan Egha sepakat membuat film bersama untuk diikutkan juga ke dalam kompetisi yang diselenggarakan PT Pos Indonesia. Agung dan Egha merogoh kocek masing-masing Rp 1 juta untuk membiayai produksi film Nilep ini. Asumsi saat itu, uangnya akan dikembalikan jika menang.
”Eh bener, ternyata menang dapat hadiah Rp 20 juta. Berarti, kan, masih ada Rp 18 juta lagi. Terus buat apa nih uangnya? Ya, udah coba bikin PH aja. Sekalian biar enggak bingung gitu setelah lulus mau ke mana. Dari uang itu, sewa kamar kos-kosan, beli meja. Pokoknya running by doing karena emang enggak tahu sama sekali caranya,” tuturnya yang awal-awal juga mengambil proyek video pernikahan sebagai portofolio perusahaan.
Delapan tahun berjalan, Ravacana bertahan dengan lima orang, yakni Agung, Egha, Elena, Vanis, dan Ludy Oji Prastama. Tim yang berjalan tiap produksi merupakan pekerja lepas sesuai dengan kebutuhan. Lebih dari 20 karya ditelurkan Agung lewat Ravacana. Mayoritas tentu berupa film pendek.
Bukan tanpa alasan, medium film pendek dipilih karena pertimbangan bujet yang bisa disesuaikan. Selain itu, kebebasan berkreasi tanpa banyak intervensi dari aneka kepentingan juga menjadi keniscayaan. ”Lewat film pendek, itu sarana kami jujur secara berkarya sekaligus latihan menyiapkan diri untuk film panjang,” ucapnya.
Diakuinya mewujudkan film panjang butuh perjuangan, terutama persoalan pendanaan. Walakin, ia meyakini capaian itu bisa diraihnya tidak lama lagi. Belakangan, Agung mencoba peluang menggarap serial yang rilis melalui pelantar digital bekerja sama dengan MD Entertainment. Salah satunya adalah Tilik The Series (2022) yang merupakan pengembangan karakter Bu Tejo dari film pendek berjudul sama yang pecah pada 2020.
”Pandemi itu enggak karuan banget, tetapi kaget juga karena Tilik yang produksi 2018 booming saat diunggah ke Youtube. Ravacana jadi dilihat orang dan permulaan bagi kami bisa masuk ke industri. Orang juga jadi aware sama film pendek. Sebelumnya, kan, kalau kami produksi film pendek, ada aja yang nanya, ‘Nggawe opo tho, Mas?’,” paparnya.
Pedoman lokal
Di tengah naiknya popularitas, Agung dan teman-teman rupanya tetap berpegang pada idealisme menjaga nilai lokal. Mari dicermati dari film pertamanya. Hampir semua menggunakan bahasa Jawa. Ya judul, ya tema, ya dialognya. Tak ketinggalan istilah-istilah prokem yang ada di keseharian turut hadir mengalir. Suasana Yogyakarta beserta kebiasaan dan budaya Jawa terasa hidup.
Tilik, misalnya, rombongan ibu-ibu naik truk beramai-ramai untuk menjenguk tetangga yang sakit cukup familiar di kampung-kampung Yogyakarta. Begitu pula dengan Anak Lanang (2017) yang bercerita tentang obrolan keempat anak sepulang sekolah di atas becak jemputan. Khas Yogyakarta.
Bisa dibayangkan juga jika kekhasan ini diantarkan dengan bahasa campur-campur atau bahasa Indonesia yang di-Jawa-Jawa-kan, gugur sudah bangunan pesan dan nuansanya. Karena itu, Agung meracik semua seperti yang dijumpainya sehari-hari.
”Berangkatnya dari kedekatan dan mengolahnya sedemikian rupa sehingga yang nonton percaya dan ngerasa relate. Karena dari kedekatan, dialognya pakai bahasa Jawa. Soale pendak dino awake dewe nggo boso jowo. Yo ngopo ora kan,” katanya.
Kendati demikian, Agung membuka peluang untuk bereksplorasi dengan menampilkan wajah budaya atau latar di luar Jawa. Perjalanannya ke Kalimantan beberapa waktu lalu membangkitkan pemikiran untuk mengolah cerita dari sana. Jika terlaksana, Agung ingin kelokalannya dijaga, terutama rasa bahasa.
Meski ia memahami ketika berhadapan dengan bisnis atau investor, perlu ada penyesuaian karena ada kepentingan yang patut dipenuhi. Namun, bukan berarti pasrah dan melibas ciri khas. Sebab, rasa bahasa ini berpengaruh terhadap ambience film.
Ia mengambil contoh banyak istilah bahasa daerah, termasuk Jawa yang tak bisa serta-merta diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dibawakan dengan logat yang dipaksakan. Problem ini berulang kali dialamatkan pada industri film Indonesia ketika mengangkat cerita berbasis lokal. Entah Jawa, Sumatera, Maluku, Sumba, atau Papua.
”Makanya beberapa kali ditawarin sama beberapa investor. Bisa enggak bikin, tapi bahasa Jawa-nya dikit aja, kita ekspos lokalnya aja gitu. Aku sama teman-teman sepakat enggak bisa karena kalau kita yang bikin, ya, udah ada pakemnya,” ujar pria kelahiran Jakarta yang akhirnya fasih berbahasa Jawa sejak pindah ke Yogyakarta saat SMP.
Uniknya, ketika mengerjakan Mlethek, Agung malah dihadapkan pada tiga anak kecil yang lahir dan besar di Yogyakarta, tapi kewalahan berbahasa Jawa. Secara dialek dan logat tercapai, tapi bahasa paparannya bahasa Indonesia. Akibatnya, koreksi mau tidak mau dilakukan karena yang dibangun dalam film adalah budaya dan kebiasaan Jawa.
Berbeda saat produksi Mak Cepluk dan Nilep. Anak-anak yang diajak bermain lancar berbahasa Jawa. Bahkan paham dengan bahasa prokem yang ternyata sehari-hari juga diucapkan mereka ketika bermain bersama.
Dengan anak-anak
Keterlibatan anak-anak cukup sering dalam film-film keluaran Ravacana. Agung menyampaikan, awal-awal dirinya memang lebih akrab dengan film anak dengan pesan-pesan yang ringan keseharian. Bekerja bersama anak-anak baginya memupus rasa lelah. Apalagi jika bertemu dengan anak-anak yang lekas mengerti arahan dan bisa mengembangkan secara natural.
Anak-anak di Mak Cepluk dan Nilep, misalnya, mereka tidak pernah main film. Agung menemukan saat mereka asyik bermain. Agung tidak memberikan mereka naskah. Anak-anak ini diajarkan langsung teknik blocking dan detail lainnya. Namun, yang terjadi, anak-anak ini bergerak secara organik dengan pemahaman yang baik terhadap alur cerita.
Sementara untuk film teranyarnya, Agung mengaku perlu pendekatan ekstra meski anak-anak ini pernah mencecap tampil di layar. Apalagi, saat orangtua ikut campur dan mengatur si anak. Alih-alih santai, anak-anak justru dihantui ketakutan salah berakting.
”Kadang ngeliat anak-anak itu, apa sebenarnya ambisi orangtua, ya. Aku sampai ada momen kemarin itu orangtuanya nge-push banget harus gini. Pusing banget aku jadinya. Akhirnya pas shooting, aku mau orangtuanya enggak usah ikutan masuk ke dalam set karena jadi pressure anaknya. Bener aja, anak-anak happy mainnya dan bisa ngeblend,” tutur ayah satu anak ini.
Akan tetapi, film anak, film pendek, atau film panjang, bagi Agung, film lebih dari wadah hiburan, tetapi bisa menjadi wahana untuk bersuara dan memberikan sudut pandang. Hanya saja, cara penyampaiannya dibuat lebih ringan dengan bumbu komedi agar mudah diterima. ”Kalau terlalu serius, capek juga, ya,” katanya sambil tertawa.
Film, kan, layaknya cermin kehidupan. Ada drama, ada komedi, ada tragedi, ada horor yang semua terjadi sesuai tempo masing-masing.
Wahyu Agung Prasetyo
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 5 Agustus 1993
Pendidikan: S-1 Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Prestasi, antara lain
-Tokoh Sosial Masyarakat Berpengaruh versi The 3rd MAW Talk Awards 2023
-Outstanding Achievement, Indonesian Film Festival Australia 2019
-Film Cerita Pendek Terbaik Piala Maya 2019
-Honorable Mention, Panasonic Young Filmmaker 2018