Buntu tetapi Jitu
Billie Eilish menang Golden Globe lagi untuk film ”Barbie”. Lagu itu tercipta ketika pikirannya buntu.
Apa pun yang dibikin Billie Eilish—bareng abangnya Finneas O’Conell—sepertinya bertuah. Dia pemegang rekor pemenang Grammy Awards termuda yang menyabet lima kategori bergengsi sekaligus pada 2020. Lagu terbarunya, ”What was I Made for?” jitu meraih Best Original Song dalam anugerah Golden Globe pekan lalu. Mereka menulisnya ketika ide buntu.
Kategori Best Original Song dalam perhelatan Golden Globe ke-81 ini diisi enam lagu orisinal yang diciptakan khusus untuk film tertentu. Lagu ”What was I Made for?” adalah tembang orisinal untuk film Barbie garapan Greta Gerwig. Di kategori itu, Eilish bersaing dengan dua lagu lain dari film yang sama, yakni ”I’m Just Ken” dari Ryan Gosling dan ”Dance the Night Away” dari Dua Lipa.
Tiga nomine lain adalah lagu ”Addicted to Romance” dari penyanyi/penulis lagu kawakan Bruce Springsteen untuk film She Came to Me, lagu ”Road to Freedom” dari rocker veteran Lenny Kravitz untuk film Rustin, dan lagu ”Peaches” dari Jack Black dalam film Super Mario. Eilish, berusia 22 tahun, termuda di kontestasi itu, dipilih sebagai pemenang.
Piala Golden Globe itu bukan yang pertama buat Billie-Finneas. Tahun lalu, mereka membawa pulang piala atas lagu ”No Time to Die” yang dibuat untuk seri James Bond berjudul sama. Beberapa pekan ke depan, khalayak menanti apakah ”What was I Made for?” bakal menang banyak di Grammy Awards karena dinominasikan di lima kategori, termasuk dua yang paling bergengsi: Song of the Year dan Record of the Year.
Baca juga : Lola Amaria Mekar di Balik Layar
Lagu bernuansa balada itu seolah jadi tuah baru bagi Eilish. Malam itu, dia tak menyangka bakal menang. Dalam pidato penerimaan piala, dia bilang, ”Aku tidak menyangka ini bakal terjadi. Terima kasih abangku, Finneas, yang membantuku sampai di titik ini,” ucapnya disusul senyum lebar, lantas berterima kasih kepada banyak orang, termasuk sutradara Greta Gerwig dan Margot Robbie sang pemeran Barbie.
Pidato itu berlanjut lebih personal. ”Lebih kurang setahun lalu kami dipertontonkan filmnya, dan waktu itu aku sedang sangat, sangat payah dan depresi. Menulis lagu untuk film ini sedikit menyelamatkanku,” katanya. ”Dan sekarang, setahun kemudian, di sinilah aku. Ini sungguh-sungguh sureal.”
Lagu itu dirilis pada pertengahan Juli 2023. Ini jadi lagu favorit baru bagi penggemar. Dalam waktu dua bulan, lagunya telah diputar lebih dari 200 juta kali di pelantar Spotify. Klip videonya di Youtube ditonton lebih dari 95 juta kali. Rata-rata komentarnya memuji. Ada yang menyatakan depresinya tertahankan setelah mendengar lagu ini. Lagunya beresonansi baik dengan pendengar, juga dengan Eilish sendiri.
Kepada The Hollywood Reporter, Eilish mendetailkan isi pidatonya pada malam penganugerahan itu. ”Sejujurnya waktu itu aku putus asa. Kami telah berusaha sedemikian rupa, tapi hasilnya tak seperti biasanya. Aku merasa ’apakah aku sudah mencapai puncak dan lupa cara menulis lagu’,” ucap pengoleksi tujuh Piala Grammy ini.
Lalu larik ’I used to float/now I just fall down’ keluar. Lantas sisanya seperti mengalir begitu saja. Sepuluh baris larik lagu keluar dalam waktu 10 menit.
Di lain kesempatan, kepada Allure Magazine, Eilish mengatakan, dirinya merasakan ada sesuatu dalam lagu ini yang hendak keluar, namun tak menemukan momennya. Akor pertama dari sang kakak pada pianonya menyelamatkan kebuntuan itu.
”Lalu larik ’I used to float/now I just fall down’ keluar. Lantas sisanya seperti mengalir begitu saja. Sepuluh baris larik lagu keluar dalam waktu 10 menit,” ujarnya. Eilish tidak merancang lagu itu dari pengalaman dan perasaan pribadinya, tapi terinspirasi dari karakter film. ”Beberapa hari kemudian, baru aku sadar, lagunya tentang aku juga, tentang semua yang kurasakan. Bukan aku saja, tapi yang dirasakan banyak orang juga.”
Perempuan dewasa
Tak lama beredar, banyak perempuan memakai lagu itu melatari kisah dan keresahan mereka yang diunggah di pelantar video seperti Tiktok atau Instagram Story. Kisahnya bermacam-macam; cerita cinta, tragedi, pergulatan dari pernikahan yang berat, hingga perayaan atas perjuangan hidup. Suara Eilish menjembataninya. Judul lagu yang berupa gugatan menemukan konteksnya.
”Bagaimana perempuan merespons lagu itu terasa spesial bagiku. Aku melihat video-video itu. Semuanya meremukkan hati. Video demi video menunjukkan betapa beratnya menjadi perempuan,” ucapnya.
Keresahan semacam itu mungkin tak pernah terlintas di pikirannya ketika merekam lagu pertamanya, ”Ocean Eyes”, di kamar abangnya pada 2015 silam. Di lagu itu, Eilish ”sekadar” mengungkapkan kekhawatirannya jatuh cinta pada orang yang salah. Lima tahun lalu, Eilish juga masih ”centil” menganggap dirinya badung sebagai ”tipe yang disenangi ayahmu” pada lagu ”Bad Guy”.
Namun, pada lagu ”What was I Made for?”, temanya bergeser pada eksistensialisme: gugatan-gugatan yang berkecamuk di kepala orang dewasa. Potongan liriknya, dalam terjemahan bebas, kira-kira berbunyi, ”Aku merasa ideal, merasa sangat ceria/Ternyata tidak, hanya diremehkan/Apa gunaku?”.
Eilish menuliskan proses kedewasaannya dengan caranya sendiri. Dia tidak berusaha menasihati pendengarnya, yang rata-rata berusia lebih muda darinya. Eilish tetap menjadi dirinya yang penuh kegundahan; yang tak cuma bercerita tentang mabuk asmara, tapi juga keminderan, fantasi balas dendam, atau candaan konyol.
Itu membuatku sedih. Berusaha terlihat baik-baik saja itu merugikan. Itu tak baik bagi kebahagiaan dan kebebasan (bentuk) tubuhmu.
Perubahan dari penyanyi-penulis lagu remaja menuju dewasa terasa sejak dia melepas album Happier than Ever pada 2021. Lagu ”Getting Older” membuka album itu layaknya rangkuman yang hendak ia ceritakan dalam 15 lagu berikutnya. Petikan terjemahan liriknya berbunyi, ”Aku punya sejumlah trauma/perilaku yang tak kusuka/terlalu takut menceritakannya/kupikir sekarang adalah saatnya”.
Salah satu kisahnya ada di lagu ”Not My Responsibility”. Di lagu yang seperti bergumam itu, Eilish menuturkan, orang cenderung menuding bentuk fisik sebagai hal yang provokatif. Terjemahan liriknya lebih kurang berbunyi, ”Aku terlahir dengan tubuh ini, bukan itu yang kau harapkan?/Jika aku berpakaian yang membuatku nyaman, aku tidak dianggap perempuan/Jika kusingkap sedikit, aku dianggap jalang”.
Baca juga : Nishtha Jain dan Cerita Orang Biasa
Berhubungan dengan lagu itu, Eilish bercerita, ayahnya sering membicarakan seseorang yang selalu gelisah, tak nyaman dengan dirinya, sehingga harus berpura-pura di hadapan orang lain. Perempuan, katanya, menanggung beban dua kali lebih berat. ”Itu membuatku sedih. Berusaha terlihat baik-baik saja itu merugikan. Itu tak baik bagi kebahagiaan dan kebebasan (bentuk) tubuhmu,” kata Eilish kepada The Guardian.
Dari keluarga
Pola pikir Eilish yang terbilang liar namun cenderung tertutup itu bersumber dari keluarganya. Dia dekat dengan ayah, ibu, apalagi abangnya. Mereka tidak pergi ke sekolah, melainkan dididik langsung oleh orangtua. Pendidikan masa kecil Eilish tak cuma diisi dengan kurikulum sekolah, tapi juga diimbangi aktivitas kreatif. Eilish lulus ujian persamaan setara SMA pada usia 15 tahun.
Ibunya, Maggie Baird, mengajari mereka menyusun struktur lagu menggunakan gitar. Keluarga itu punya tiga piano di rumah, termasuk satu piano gran tua. Finneas dihadiahi kado natal berupa set drum di umur 11 tahun. Sementara Eilish menulis lagu pertamanya dengan ukulele di umur 4 tahun. Kedua anak ini senang bermusik. Orangtua mereka tidak akan menyuruh mereka tidur kalau sedang mengerjakan musik.
Setelah lagu ”Ocean Eyes” jadi favorit internet, label besar Insterscope Records tertarik pada mereka. Dua abang-adik ini diajak merekam lagu-lagu mereka di studio besar. Tapi, ruang nyaman sebenar-benarnya adalah kamar, tempat mereka biasa merekam lagu. Finneas duduk di bangku piano, sementara Eilish bisa tidur-tiduran di kasur melagukan lirik yang baru ditulis.
Kebiasaan itu masih berlangsung sampai mereka sudah menjadi megabintang seperti sekarang. Finneas masih membuka kamar studionya untuk adik tercinta meski mereka sudah tidak satu rumah lagi. Lagu orisinal untuk film Barbie itu adalah salah satu karya termutakhir di rumah Finneas.
Finneas, kini 26 tahun, mengatakan, kebanyakan lagu tercipta dari momen spontan mereka. ”Kami biasa duduk sejajar di bangku (piano). Mikrofon bergantung di atas, dan dia (Eilish) mengayun-ayunkannya. Begitu juga momen yang terjadi waktu kami membuat lagu untuk Barbie,” kata Finneas yang juga merilis album Optimist (2021) atas namanya sendiri.
Finneas bilang, lagu ”What was I Made for?” ditulis setelah ia dan Eilish dipertontonkan klip dasar film Barbie berdurasi 40 menit. Sutradara Greta Gerwig meminta mereka menulis ”lagu menyentuh” untuk karakter Barbie di film. ”Dalam 45 menit, lagunya sudah jadi, sih. Tapi jelek sekali, sampai kami harus menulis ulang,” kata Finneas.
Sepanjang karier bekerja bareng sang adik, Finneas merasa Eilish adalah partner paling ia percaya. ”Sekaligus yang paling rapuh,” katanya.
Begitulah Billie Eilish. Dia menyisakan kerapuhan, seperti kebanyakan orang dewasa lainnya. Semoga penggemarnya menerima perubahan ini.
Billie Eilish
Lahir: Los Angeles, AS, 18 Desember 2001
Diskografi:
- Don’t Smile at Me (2017)
- When We Fall Asleep, Where do We Go (2019)
- Happier than Ever (2021)