Seni Tak Boleh Berhenti
Budi ”Ubrux” Haryono menawarkan gaya realisme sosialis saat berkolaborasi dengan Romo Sindhunata di pameran Ratu Adil.
Budi ”Ubrux” Haryono (55) selama ini lekat dengan lukisan manusia-manusia yang terbungkus kertas koran. Kreasi semacam itu mendapat apresiasi di kancah seni rupa kontemporer Indonesia. Kini, dia mengembangkan gaya realisme sosialis untuk menggambarkan perlawanan wong cilik yang tak ingin kehilangan harapan.
”Seni tak boleh berhenti berproses. Setelah ini, mungkin nanti saya akan menggarap tema atau pendekatan berbeda,” kata Budi Ubrux di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (11/1/2024). Sore itu, dia baru tiba setelah menembus kemacetan di jalanan Ibu Kota yang diguyur hujan. Rambut panjangnya agak basah.
Ngobrol dengan seniman ini perlu kesabaran. Setiap kali ditanya, dia perlu berpikir cukup lama, baru kemudian menjawab. Itu pun cenderung pelan dengan kalimat yang terseret-seret. Entah bagaimana, dia selalu kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan isi pikirannya.
Ubrux menyambangi Jakarta untuk menghadiri perhelatan Ratu Adil: Pameran Lukisan Budi Ubrux dan Peluncuran Buku Sindhunata di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), 11-18 Januari 2024. Materi serupa akan digelar di Bentara Budaya Yogyakarta, 25 Januari-4 Februari 2024. Pelukis itu membuat lukisan dan drawing berdasarkan buku Romo Sindhunata, Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Perlawanan Wong Cilik (terbitan Gramedia Pustaka Utama).
Hasilnya sungguh menggugah. Di ruang serbaguna BBJ, terpajang delapan lukisan besar, masing-masing berukuran 2 meter x 4 meter. Ada lukisan tentang orang-orang dengan ayam jago, Soekarno menyapa para petani, orang-orang berkuda, pertunjukan bantengan, kapal, dan komunitas Samin.
Ambil contoh lukisan berjudul ”The Eagle Watchmen” yang menampilkan sosok lelaki bersorot mata tajam duduk bersila bersama sejumlah pengikutnya. Di belakang, berdiri rumah kayu joglo. Ada juga kerbau dan burung elang terbang. Di atas, terbentang langit hijau dikerumuni awan bergumpal-gumpal warna keemasan.
Lukisan ini mengingatkan pada sejarah Samin Surosentiko (1859-1914), petani dari Desa Ploso Kediren, Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Tahun 1905, dia menolak membayar pajak kepada pemerintahan kolonial Belanda. Terganggu gerakan ini, Belanda menangkap Samin bersama beberapa pengikutnya dan membuang mereka ke Sumatera Barat. Gerakan ini mewakili ideologi wong cilik yang menantang penjajahan.
Lukisan lain berjudul ”All of My Hopes” menyuguhkan segerombolan lelaki bertelanjang dada yang mendekap ayam jago. Binatang itu gagah dengan jengger merah, sayap biru, leher dihiasi bulu keemasan, dan cakar yang kekar. Wajah orang-orang itu penuh semangat. Bagi Ubrux, jago adalah simbol perlawanan. Banyak orang memelihara ayam jantan ini karena suka dengan energinya bertarung. Kebetulan dia memang suka melukis jago.
Kedelapan lukisan itu memperlihatkan pendekatan visual baru Ubrux. Semua obyek, kebanyakan wong cilik atau kaum proletar, digambar secara realis, apa adanya. Mirip gaya realisme sosialis yang populer di Rusia dan Amerika Latin pada awal abad ke-20. Dia menambahkan goresan berwarna cemerlang sehingga bernuansa impresionis.
Baca juga: Imaji Harapan dari Jeritan Penderitaan Rakyat
Pelukis ini juga membuat puluhan drawing dengan tinta di atas kertas. Goresannya cenderung miring (hatching) dan berulang-ulang. Karya-karya itu juga menyajikan berbagai adegan terkait perlawanan. Lihat saja drawing berjudul ”Feodalisme Mubral-mubrul”. Karya dibagi dalam dua bidang. Bidang atas diisi para priayi tengah berpesta. Bidang bawah menampilkan rakyat yang hidup melarat di gubuk-gubuk reyot. ”Ini gambaran zaman dulu. Tapi, gambaran ini masih ada juga, kan, sekarang?” Ubrux bertanya.
Pelukis itu menyambut ajakan Sindhunata untuk membuat ilustrasi buku Ratu Adil. Buku itu terjemahan disertasi Sindhunata saat menyelesaikan studi doktoral di Hochschule für Philosophie, Philosophische Fakultät SJ, Muenchen, Jerman, tahun 1992. Proses kreatif ini disokong Telly Liando, pendiri Ohana Gallery, di Tangerang, Banten. Biar lebih fokus, Ubrux bahkan ”dipingit” di galeri itu. Setelah berjibaku sejak awal 2023, proyek itu kelar pada awal 2024.
Wong ”ndeso”
Bagaimana cerita Ubrux nyemplung dalam dunia kesenian? Semua mengalir nyaris tanpa rencana. Dia tumbuh di lingkungan ndeso di Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ayahnya, Marzuki, seorang guru madrasah ibtidaiyah (setingkat sekolah dasar). Ibunya, Ropin, membantu ayahnya yang nyambi bertani.
Selepas madrasah ibtidaiyah, Ubrux belajar di SMP Muhammadiyah Dlingo. Seorang gurunya, Sakiyo, menyukai bakat muridnya yang gemar menggambar di atas kertas, papan, atau pintu sekolah. Dia sarankan pemuda itu untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Kota Yogyakarta.
Manut dengan dorongan itu, dia masuk SMSR tahun 1984, pilih jurusan lukis. Dia gembira karena bisa mengeksplorasi cat air, cat minyak, kertas, dan kanvas. Lulus tahun 1988, lukisannya mendapat penghargaan Pratita Adhikarya.
Kian serius menekuni kesenian, tahun 1988, dia langsung daftar kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ndilalah, dia malah lupa jadwal tes. Gagal. Tahun berikutnya, dia coba lagi tes dan ikut ujian melukis dan teori. Namun, kandas lagi.
Ngebet masuk ISI, yang saat itu kampusnya di Gampingan, dia pilih kos di kawasan itu. Sambil menunggu tes berikutnya, dia menyibukkan diri bekerja di tiga tempat sekaligus. Sanggar Seniman Merdeka, perusahaan iklan Gema Multi Creative, dan daVinci Advertising. Semua terkait membuat poster. ”Saya seperti cowok panggilan. Gantian keliling, mengerjakan orderan,” katanya mengenang.
Selanjutnya, tahun 1993, dia sempat coba lagi tes ke ISI. Namun, belum berhasil juga. Dia kembali tenggelam dengan orderan gambar. Suatu ketika, dia dapat proyek melukis jaket kulit untuk dikirim ke Swiss. Kreasinya menarik perhatian sehingga dia ditawari membuat mural (lukisan dinding) di Diskotek CH milik Marcus Shanker di negeri itu.
Baca juga: Menjaga Asa Ratu Adil
Ubrux terbang ke Swiss tahun 1996. Selama beberapa tahun dia bolak-balik ke negeri itu untuk melukisi dinding diskotek. Pekerjaan yang mengasyikkan. Terlebih, dia leluasa mengunjungi museum dan art fair.
Tabungan cukup, Ubrux menikahi temannya di SMSR, Rengganis Dewi Wismasari. Dia membangun rumah di Sewon, Bantul, DIY. Lokasi ini dekat dengan kampus baru ISI. Maklum, hatinya masih terikat dengan institut ini. Apalagi, ayahnya terus mendorong dia untuk menjadi sarjana.
Tahun 1999, Ubrux kembali mendaftar ke ISI dan kali ini lolos. ”Saya sengaja ambil jurusan patung yang kurang peminat,” katanya.
Manusia-manusia koran
Nama Budi Ubrux mencuat saat menjuarai kompetisi seni rupa Philip Morris Indonesia Art Award tahun 2000. Lukisannya, ”Imagologi”, mendapat pujian luas. Karya ini menampilkan sosok-sosok manusia yang terbungkus koran. Sosok-sosok itu mewakili dilema manusia yang bergelut dengan berbagai persoalan sebagaimana berita-berita di koran.
Momen ini mengubah hidup Ubrux. Selain mengantongi hadiah belasan juta rupiah dari Philip Morris dan Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI), dia serta-merta diincar para kolektor dan galeri seni. Tawaran berpameran berdatangan.
Dia kian getol berkarya sekaligus masih bolak-balik ke Swiss. Kuliah di ISI pun keteteran. Tahun 2001, Ubrux menemui ayahnya, memohon maaf dan mengaku tidak bisa memenuhi harapan jadi sarjana. ”Niki situasi kulo mogol (Ini situasi saya berhenti di tengah jalan),” katanya. Ayahnya diam saja.
Ubrux berjuang membuktikan jalan keseniannya. Tahun 2002, dia menggelar pameran tunggal bertajuk Ilusi Koran di Galeri Semarang, Jawa Tengah. Ada 17 lukisan yang dipenuhi manusia-manusia koran. Semua dibeli oleh Galeri Semarang.
Apresiasi pada Ubrux kian meluas saat dia berpameran tunggal di iPreciation Gallery di Singapura tahun 2008. Dua tahun kemudian, dia berpameran tunggal di Parco Sculpture Park Delchianti, Italia. Lima belas lukisan yang dibawa terkoleksi.
Baca juga: Menghidupkan ”Ratu Adil” lewat Perlawanan Wong Cilik
Kehidupan Ubrux kian membaik bersama istri dan tiga anaknya. Tahun 2014, dia membangun studio tak jauh dari rumah tinggalnya di Sewon, Bantul. Tidak hanya untuk dirinya, ruang itu juga terbuka buat sesama seniman yang ingin bekerja di situ. Namanya Studio Nganu.
Banyak pencapaian diraih. Namun, Ubrux masih kepikiran dengan kekecewaan ayahnya setelah kuliahnya putus. Kegelisahan itu mereda ketika sang ayah membaca katalog pameran tunggal Ubrux di Galeri Nasional Indonesia tahun 2017 dan akhirnya menyadari pilihan anaknya. ”Yo wis lah mandek lek sekolah, pokoke kowe angger seneng. Ning ojo neko-neko. Aku melu ndongakke,” katanya menirukan komentar ayah. Intinya, ayah menerima anaknya berhenti kuliah asalkan senang dan tidak berbuat aneh-aneh.
Budi Ubrux
Lahir: Bantul, 22 Desember 1968
Pendidikan terakhir: Institut Seni Indonesia (ISI), 1999-2000 (tidak selesai)
Pameran tunggal: 9 kali (Indonesia, Singapura, Italia)