Totalitas Melayani Anak-anak Istimewa
Maria Magdalena Tukilah mengabdikan dirinya melayani anak berkebutuhan khusus lewat SMP Maria Immaculata Cilacap.
Sejak 1987 menjadi guru Bahasa Indonesia di SMP Maria Immaculata, Cilacap, Jawa Tengah, Maria Magdalena Tukilah (61) tidak pernah membayangkan akan melayani siswa-siswi berkebutuhan khusus.
Perutusan dari Yayasan Sosial Bina Sejahtera di bawah naungan Pastor Charles Patrick Burrows, OMI alias Romo Carolus itu meminta sekolahnya tidak menolak siswa dengan kondisi apa pun. Menjadi sekolah inklusi dan melayani mereka yang berkebutuhan khusus justru jadi panggilan dan jalan pelayanan Maria bersama para guru di sana.
”Setiap anak punya kecerdasan masing-masing. Istilahnya mungkin ada anak yang nilai Matematika-nya dapat 3, tetapi taekwondonya sampai sabuk hitam. Anak lain yang Matematika-nya dapat nilai 4, tetapi menyanyinya bagus, menarinya bagus,” kata Maria di sela-sela peluncuran buku Gotong Royong Bangun Sekolah Inklusi: Kisah Inspiratif Tumbuh Bersama Anak Berkebutuhan Khusus, di Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (27/2/2024).
Baca juga: Sutrisno, Memajukan Desa dengan Buah Naga
”Jadi, anak-anak ini kita kembangkan sesuai dengan kemampuannya. Kita tidak mencari kekurangannya, tetapi kelebihannya apa yang bisa dikembangkan,” tambah Maria.
Maria menyebutkan, perlu proses yang panjang serta pendekatan personal agar anak berkebutuhan khusus bisa berkembang sesuai kemampuannya, mampu bersosialisasi dengan sesamanya, dan mandiri. Proses itu tak lepas dari peran serta sesama guru, teman-teman di sekolah, dan orangtua.
Saat awal Maria berkarya di SMP ini, setiap tahun sudah ada satu atau dua anak yang berkebutuhan khusus, di antaranya penyandang tunarungu. Oleh karena itu, lanjut Maria, guru saat mengajar tidak boleh membelakangi siswa karena siswa tunarungu biasanya memperhatikan gerak bibir untuk memahami lawan bicaranya.
Dalam perjalanan waktu, tepatnya pada 2011, sekolah ini dicanangkan sebagai sekolah inklusi. Selain menerima siswa normal, sekolah juga menerima anak-anak yang menyandang gangguan emosional, slow learner, autis, tunadaksa, dan lain-lain. Kepada mereka, Maria yang pernah menjabat kepala sekolah sejak 2013-2021 menerapkan sejumlah tips, di antaranya pendekatan personal dilakukan dengan sesekali membawakan jajanan atau permen untuk dibagikan ke semua siswa di kelas.
”Misalnya, kalau berangkat ke sekolah, saya beli donat atau bakwan untuk anak-anak,” kata Maria.
Baca juga: Suster Agnes Marni, SJMJ dan Suster Nicola, SJMJ Mengabdi untuk Anak-anak Yatim Piatu
Maria juga mengingatkan kepada para guru dan karyawan supaya tidak membuka kudapan atau makan di depan anak-anak jika memang jumlah makanan itu tidak banyak. Khawatir hal itu justru menjadi rebutan.
”Ada juga anak berkebutuhan khusus yang ngamukan (mudah mengamuk). Ini menjadi tanggung jawab semua. Anak itu kalau lapar, mengantuk, terus saya bisikin, ’Ayo saya beri permen.’ Lalu, saya ajak ke perpustakaan. Di sana lalu makan dan kemudian tidur. Emosinya reda,” kata Maria yang sering mendapatkan bimbingan teknis terkait sekolah inklusi dari Pemerintah Provinsi Jateng di Semarang.
Maria memberikan layanan yang optimal kepada siswa berkebutuhan khusus yang berasal dari keluarga tidak mampu. Pernah suatu waktu ada orangtua siswa yang tidak bisa mengantar atau menjemput anaknya yang berkebutuhan khusus, Maria kemudian membantu dengan menyediakan diri menjemput dan mengantarnya menggunakan sepeda motor.
”Perannya tidak lagi sebatas guru-murid, tetapi juga kadang menjadi pembantu dan tukang ojek,” ujar Maria sambil tersenyum.
Untuk itu, kepada siswa berkebutuhan khusus, Maria menyempatkan waktu pada akhir pekan untuk berkunjung ke rumah mereka masing-masing. Selain untuk mempererat persaudaraan, Maria juga menjadi tahu masalah atau keterbatasan yang dialami siswa di rumah.
Tanda cinta itu, kan, tidak harus mahal. Ada yang memberi jajanan atau gantungan kunci.
Kepada orangtua siswa berkebutuhan khusus, Maria selalu membesarkan hatinya. ”Panjenengan itu dipilih Tuhan, Bu. Anda dipilih Tuhan, dianggap mampu (membesarkan anak berkebutuhan khusus). Kalau datang ke rumah itu ada kedekatan batin tersendiri,” kata Maria.
Dari kedekatan dengan keluarga itu, tak jarang Maria mendapatkan cendera mata atau jajanan yang kemudian dibagi-bagikan kepada murid-muridnya di sekolah.
”Tanda cinta itu, kan, tidak harus mahal. Ada yang memberi jajanan atau gantungan kunci,” katanya.
Di sekolah, kepada para murid yang normal, Maria dan para guru berusaha memberi pemahaman bahwa teman-teman yang berkebutuhan khusus harus dijaga, bukan diasingkan, apalagi dirundung.
Maria selalu mengajak bicara empat mata siswa yang usil dan suka mengejek temannya yang berkebutuhan khusus. ”Saya panggil, (bertemu) empat mata. Lalu, saya bilang, ’Kamu mau apa seperti itu? Kamu mau tukaran nasib? Mulai hari ini dia tanggung jawabmu, ya.’ Kita beri tanggung jawab untuk melindungi bukan mem-bully,” paparnya.
Masa pandemi
Kedekatan dan pelayanan secara total itu Maria berikan pada masa pandemi Covid-19 sekitar tahun 2021. Selesai menjabat kepala sekolah, Maria ingin fokus melayani para murid berkebutuhan khusus.
”Kalau cuma jadi guru biasa, apalah artinya saya. Saat itu ada 11 anak berkebutuhan khusus, pandemi lagi. Mau diapakan mereka ini. Kalau saya enggak ngapa-ngapain, saya dosa. Istilahnya, mereka itu membayar sekolah. Kalau di sekolah tidak diapa-apain, tidak ada perkembangan, kan, dosa itu saya,” katanya.
Kemarin ada orangtua yang menangis haru ketika tahu anaknya bisa menulis. Lalu, sang anak dilepas sendiri ke bank untuk membuat buku bank dengan menulis sendiri identitasnya.
Untuk itu, dengan izin kepala sekolah yang baru, meski ada pembatasan akibat pandemi, Maria mengajak 11 siswa berkebutuhan khusus itu datang ke sekolah dan belajar sekitar empat jam per hari. Dari 11 anak itu, ada 7 anak yang masuk kategori mampu didik dan 4 lainnya termasuk tunagrahita berat. Dengan sabar, Maria mengajak mereka belajar membaca dan menulis.
Sepulang dari sekolah, Maria masih menyempatkan mengirimkan pesan suara lewat WA kepada murid-murid itu dan mereka harus membalasnya dengan pesan teks.
”Kemarin ada orangtua yang menangis haru ketika tahu anaknya bisa menulis. Lalu, sang anak dilepas sendiri ke bank untuk membuat buku bank dengan menulis sendiri identitasnya,” kenang Maria.
Kepada para rekan guru di sekolahnya, Maria terus mengingatkan bahwa sekolah inklusi bertujuan agar murid anak berkebutuhan khusus mampu bersosialisasi dengan sesamanya. Tujuan sekolah inklusi bukan untuk mengejar prestasi.
Dalam pembelajaran sehari-hari, ada kalanya murid berkebutuhan khusus dan normal dijadikan satu kelas. Namun, ada kalanya murid berkebutuhan khusus masuk ke kelas khusus untuk mengembangkan potensinya masing-masing.
Sepanjang mengajar di SMP Maria Immaculata, setidaknya ada 100 murid berkebutuhan khusus yang telah didampinginya. Setelah pensiun mengajar, Maria juga tetap mengabdikan dirinya untuk melayani mereka.
Sejak November 2023, Maria membuat lembaga pendidikan nonformal bernama Ria Metamorfosa untuk memberi pendampingan bagi anak berkebutuhan khusus.
Pengalaman bersama para murid berkebutuhan khusus menyadarkan Maria bahwa Romo Carolus, OMI adalah guru kasih bagi sesama. Romo Carolus sebagai Ketua YSBS berulang kali menyampaikan sebagaimana tertulis dalam buku yang diluncurkan, ”Bagi saya, anak berkebutuhan khusus itu berkat. Allah hanya menciptakan berkat. Hanya sering kali kita belum mengetahuinya.”
Maria Magdalena Tukilah
Lahir : Sleman, 10 Desember 1963
Suami : Yohanes Berman Girun (63)
Anak : Marselina Kurnianingtyas (28) dan Sirilus Maner Nugraha (23)
Pendidikan:
-S-1 Bahasa Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (1986)
-SPG PL Sedayu, Yogyakarta (1982)
-SMP Kanisius Klepu (1979)
-SD Kanisius Klepu (1975)
Kegiatan:
Guru Bahasa Indonesia SMP Maria Immaculata Cilacap (1987-1 Januari 2024)
Kepala Sekolah SMP Maria Immaculata Cilacap (2013-2021)
Konsultan dan Tutor di Pendidikan Nonformal Ria Metamorfosa (2023-sekarang)