Rio Afrian, Bakti Guru Batin Sembilan
Rio pernah diancam menggunakan golok hingga berpapasan dengan beruang. Ia gigih mencerdaskan anak-anak Batin Sembilan.
Rio Afrian (32) menaklukkan tantangan untuk menekankan pentingnya pendidikan bagi anak-anak masyarakat adat Batin Sembilan. Ia menyongsong risiko diserang hewan buas, diacungi golok, berkelit dari ancaman saat konflik lahan memanas, sampai merayu anak-anak yang merajuk tak mau sekolah.
Murid-murid Sekolah Besamo asyik menggambar dan mengguratkan pensil warna, Sabtu (10/2/2024). Rio pun menyemangati mereka sambil menyarankan kelir yang cocok untuk mewarnai aneka kreasi, seperti bunga, kucing, dan pohon. Hari itu memang libur, tetapi ia sekadar ingin mengajak anak didiknya bersenang-senang.
Kelas dengan panjang 10 meter dan lebar 4 meter tersebut berlantai semen dengan pintu usang dan ventilasi dari kawat besi. Langit-langit yang tak rata tampak diselingi beberapa celah. Tempat duduk Rio hanya bangku lipat tanpa bantalan yang telah berkarat.
Baca juga: Totalitas Melayani Anak-anak Istimewa
Dinding kayu yang kusam dipasangi lukisan anak-anak, poster lusuh tentang alat musik tradisional, dan peta Indonesia. Terlihat empat papan tulis yang sudah kotor dengan bercak, bolong, atau corat-coret murid. Sedikit kejahilan yang jenaka seperti ”Mira imut dan lucu” atau ”Alisa cinta Riski” tercantum di papan tulis dan jendela.
Ulah anak-anak dan kelas yang begitu sederhana baru menggambarkan sekelumit dari keteguhan Rio berbakti di keterpencilan. Sekolah Besamo berada di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi. Ia mengajar sejak tahun 2015.
Kelas jauh SD Negeri 49 Bungku di tengah Hutan Harapan itu berjarak sekitar 125 kilometer (km) dari ibu kota Jambi. Bila menunaikan ketentuan di atas kertas belaka, ia bisa saja mendekam di kelas tanpa perlu berlelah-lelah. Akan tetapi, pengabdian Rio jauh melampaui tanggung jawabnya. Ia kerap berkeliling untuk menyambangi murid-muridnya dengan jarak terjauh, hampir 30 kilometer.
Diacungi golok
”Pakai sepeda motor sekitar satu jam. Kalau hujan, lebih lama 30 menit. Setiap minggu, tiga sampai empat kali saya datangi murid,” tuturnya. Jalur yang tak bisa ditempuh kendaraan pun dicapai dengan berjalan kaki hingga 3 kilometer.
Rio sudah kenyang ditolak orangtua murid yang menganggap faedah mencari damar lebih besar daripada belajar. Ia menolak jera meski tak jarang dipandang sebelah mata, bahkan salah satu orangtua murid pernah mengacungkan golok, tahun 2017.
”Ayahnya ke belakang. Anaknya ada tiga yang sekolah. Saya kira mau dipanggil. Ternyata, saya enggak boleh datang lagi. Bukan mengusir, hanya waktunya kurang tepat,” katanya.
Baca juga: Luviana Ariyanti, Pergulatan Pejuang Kesetaraan
Usut punya usut, orangtua itu sedang berselisih tergolong sengit dengan pasangannya. Rio justru terus mengikuti keluarga yang hidup seminomaden tersebut.
”Saya jelaskan kalau (saya) cuma mau mengajar. Ibunya cerita dan minta maaf kalau saya terbawa-bawa. Sekarang, malah jadi keluarga,” ujarnya.
Orangtua yang memboyong anak-anak memancing, menanam padi, atau menyadap karet pun tak bisa dipaksa meninggalkannya untuk belajar. ”Saya bisa ikut mereka dari pagi sampai sore. Hokinya, sekarang musim durian. Kalau yang lain beli, saya dikasih,” ucapnya sembari tertawa.
Orangtua juga terbiasa membawa anaknya bermalam di hutan atau manda. Demikian pula anak-anak yang disuruh menunggu durian jatuh.
Jumlah murid terdaftar di Sekolah Besamo sekitar 25 anak, tetapi hanya enam murid yang aktif. Jika ditotal dengan murid yang tak terdaftar, mereka berjumlah 46 anak, tetapi ia tak pandang bulu. Beberapa remaja seusia pelajar SMA turut mengungkapkan niatnya melanjutkan pendidikan yang difasilitasi Rio dengan pusat kegiatan belajar masyarakat.
Ia acapkali mesti putar otak lantaran polah anak-anak yang sulit diduga. Jika anak-anak kelas I sedang belajar, misalnya, murid lain bermain dulu. Tak disangka, mereka merasa dianaktirikan. ”Katanya, saya pilih kasih. Jadi, papan tulis saya bagi tiga atau empat untuk mengajar kelas yang berbeda,” katanya.
Saya jelaskan kalau (saya) cuma mau mengajar. Ibunya cerita dan minta maaf kalau saya terbawa-bawa. Sekarang, malah jadi keluarga.
Seorang murid yang bertubuh besar menolak ketika diminta duduk di belakang dengan alasan sudah nyaman. Ia lalu tak masuk selama seminggu. Lain waktu, Rio lebih sering mengajar siswa-siswa tertentu, tetapi sejumlah anak lain cemburu. Mereka melewati sekolah dan menatap gurunya dengan wajah masam bagai bersua musuh.
”Jalan sambil ngintip. Dipanggil-panggil, tapi masih ngambek. Katanya, ’Kami bukan anak Bapak lagi.’ Saya datangi rumahnya untuk minta maaf,” tuturnya sambil tersenyum.
Sampai syok
Ia sempat bekerja di minimarket sebelum mendapati lowongan yang dipublikasikan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki). Kebetulan, Rio menyandang gelar sarjana pendidikan hingga memantapkan langkahnya menuju perusahaan yang mengonservasi Hutan Harapan itu.
”Waktu diwawancara, cuma diminta praktik mengajar. Begitu di lapangan, sampai syok. Kok, muridnya enggak pakai baju dan celana,” ujarnya.
Semula, Rio berencana berdiam dua atau tiga tahun saja. Tak dinyana, ia malah menemukan renjana (passion) untuk mencerdaskan ”tunas-tunas muda” Batin Sembilan setelah lima bulan beradaptasi. Batin Sembilan adalah sebutan untuk masyarakat adat yang hidup dan beraktivitas di Hutan Harapan.
”Tantangan terberat memang mendongkrak kesadaran soal pendidikan. Kalau libur seminggu saja, mengajak sebagian anak belajar lagi susah. Harus kontinu,” ucapnya. Ia juga menekankan pentingnya motivasi orangtua agar anak mampu meraih masa depan yang lebih cerah.
”Belum tentu anak yang enggak mau sekolah yang diomeli. Kadang, guru datang malah dimarahi karena keluarga murid mau mencari damar,” katanya. Orangtua baru pulang saat petang, tetapi Rio mengajar paling lama dua jam sehingga mereka khawatir jika anak-anaknya tak diawasi.
Baca juga: "Malaikat" bagi Banyak Mahasiswa
Sesekali, Rio dianggap pengasuh anak-anak. Bocah usia empat tahun saja dititipkan di Sekolah Besamo, sementara ibunya memancing. ”Jam 09.00, anaknya datang ke sekolah. Sejam kemudian, (dia) lapar, terus minta pulang,” tuturnya.
Belum lagi ketika Rio mencatat biodata murid-murid, beberapa orangtua hanya menjawab anaknya lahir ketika musim durian. ”Iya, tapi musim yang kapan? Ya, sudah, tanggal dikira-kira seingatnya saja dan disepakati,” ujarnya sambil terbahak.
Kini, kehangatan telah terjalin. Rio pun telah dianggap keluarga. Ia disuguhi kopi dan dioleh-olehi ubi atau madu ketika pulang. ”Waktu hujan, diminta berteduh dulu. Kalau ke rumah murid yang sekarang sudah punya anak, saya dipanggil datuk atau kakek,” ucapnya.
Berkelana di hutan tentu juga dibayangi mara bahaya. Saat konflik agraria memanas, sejumlah warga yang berseberangan dengan PT Reki, tak pelak mencurigai Rio memata-matai mereka. Mantan murid Sekolah Besamo, dengan badan yang sudah kekar, datang dan meminta gurunya itu tak diusik.
Ia juga pernah berpapasan dengan beruang yang dikhawatirkan sangat agresif karena sedang mendampingi anaknya, tahun 2022. ”Saya tancap gas saja. Lolos. Beruk kadang ngejar sampai ngeri kelihatan taringnya. Pernah ketemu kobra juga,” katanya. Semua itu tak menghentikan semangat pengabdian Rio.
Baca juga: Basuki Budi Santoso, ”Gila” Menanam Pohon
Rio Afrian
Lahir: Bumirejo, Pringsewu, Lampung, 28 April 1991
Istri: Dwi Sunarti (33)
Anak: 1
Pendidikan:
SD Negeri 177 Tri Jaya, Bahar, Muaro Jambi, Jambi
SMP Daar el-Qolam, Tangerang, Banten
SMA Daar el-Qolam, Tangerang, Banten
S-1 Jurusan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung