Raineldis Boleng Hayon, Menolong Perempuan, Mengurangi Tengkes
Raineldis mendorong semua anggota KSP Mawar agar mengembangkan keterampilan yang dimiliki.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Banyak ibu rumah tangga sulit mengelola keuangan keluarga karena penghasilan suami terbatas. Padahal, ibu rumah tangga juga memiliki kemampuan mendukung ekonomi keluarga. Raineldis Boleng Hayon mendirikan Koperasi Simpan Pinjam Mawar beranggotakan ratusan perempuan dan anak-anak untuk menopang ekonomi keluarga. Ia juga membangun rumah produksi kelor bubuk untuk menekan tengkes di kalangan generasi muda.
Keputusan mendirikan koperasi simpan pinjam (KSP) pada 2017 tersebut, menurut Raineldis Boleng Hayon (55), berawal dari keluhan sejumlah ibu rumah tangga mengenai kesulitan ekonomi di dalam keluarga. Suami mereka kebanyakan buruh bangunan, tukang ojek, pekerja proyek, dan pekerja serabutan, dengan penghasilan tidak tetap.
”Berawal dari 50 ibu rumah tangga yang terlibat saat doa kelompok di salah satu rumah warga di Kelurahan Kolhua, Kota Kupang. Saat itu kelompok ibu-ibu ini saling berbagi pengalaman rohani terkait kehidupan ekonomi keluarga. Terinspirasi dari sharing pengalaman ini, saya akhirnya membentuk koperasi tersebut,” tutur Raineldis, Senin (11/3/2024) di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Saat ini jumlah anggota koperasi tersebut mencapai 350 ibu rumah tangga yang sebagian besar tinggal di Kelurahan Kolhua. Setiap anggota dikenai uang pangkal Rp 10.000 dan iuran bulanan Rp 5.000, dengan jumlah simpanan sukarela. ”Pinjaman awal dibatasi Rp 10.000 per anggota. Sekarang batas pinjaman sampai Rp 20 juta,” katanya.
Tidak hanya ibu rumah tangga. Lebih dari 70 anak SD dan SMP yang orangtuanya anggota KSP Mawar ikut bergabung di koperasi itu. Mereka belajar menyimpan dan menabung uang sebagai persiapan masuk perguruan tinggi. Tabungan anak sekolah ini disebut TAS. Melalui koperasi ini pula mereka bisa berbelanja ponsel pintar, buku tulis, dan kebutuhan sekolah lain.
Kini aset KSP Mawar mencapai Rp 350 juta. Melalui KSP ini, para ibu rumah tangga bisa membantu suami meringankan beban ekonomi keluarga, memiliki simpanan di koperasi, dan dengan mudah berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Ia tidak berhenti di situ. Raineldis mendorong semua anggota KSP Mawar agar mengembangkan keterampilan yang dimiliki. Mereka menganyam topi ti’ilangga dari lontar muda, menganyam dese, sejenis keranjang tempat menyimpan pakaian, sirih pinang, makanan, dan bisa menjadi tas. Berbagai ukuran dese mereka buat, dari yang kecil sampai besar.
Selain itu, mereka juga menganyam tikar dari daun lontar, usaha tenun ikat, dan minyak kelapa murni (virgin coconut oil/VCO). Sementara sampah kain tenun ikat diproses menjadi gantungan kunci, dompet, dan tas kecil.
”Semua hasil karya anggota dipamerkan di setiap ajang pameran kriya, dijual di rumah masing-masing, dan di halaman gereja pada hari Minggu. Saat pertemuan G20 di Labuan Bajo 2023, ratusan hasil karya anggota KSP ini juga ikut dipamerkan,” kata Raineldis.
Pengurus Wanita Katolik RI (WKRI) wilayah NTT ini menambahkan, anggota yang ingin mengembangkan keterampilan lain juga diberi kesempatan, seperti kursus menjahit dan kursus kecantikan. Setelah terampil, mereka membuka usaha sendiri di rumah. Sebagian dari mereka sudah bisa menjahit, termasuk jahitan modifikasi antara tenun ikat dan kain biasa, sehingga tampilan baju itu lebih menarik.
Kini para ibu rumah tangga itu tak lagi merasa kesulitan berbelanja kebutuhan keluarga, termasuk membiayai pendidikan anak. Mereka sudah memiliki keterampilan yang menghasilkan uang. Jika masih kesulitan uang, bisa meminjam dari koperasi.
Kelor bubuk
Selain membesarkan KSP Mawar, Raineldis juga terlibat menangani kasus tengkes (stunting)di NTT melalui usaha memproduksi kelor bubuk di rumah produksi kelor. Raineldis terpanggil dalam upaya ini setelah mengetahui NTT dikenal sebagai gudang tengkes nasional. Di sisi lain, daerah ini memiliki sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi tengkes, salah satunya kelor. Kelor tumbuh liar di seluruh wilayah NTT, tetapi sebagian daerah tidak memanfaatkan.
Tidak hanya sebagai antioksidan, daun kelor juga mengandung vitamin B6, B2, vitamin C, vitamin A, zat besi, dan magnesium. Satu mangkuk sayur kelor (sekitar 21 gram) mengandung protein nabati 2 gram. ”Karena itu, saya yakin, dengan daun bubuk kelor, anak-anak yang mengalami stunting bisa diatasi,” katanya.
Saat Raineldis berlibur ke kampung asalnya di Lato, Flores Timur, awal 2019, dia menyaksikan anak-anak di desa itu bertubuh kerdil, kurus, pendek, dan kecil. Selesai ibadah Minggu, ia mengumpulkan ibu-ibu di desa itu. Ia pun mendorong mereka menyediakan sayur daun kelor sebagai upaya menekan jumlah anak-anak yang menderita tengkes. Pemikiran Raineldis disambut baik ibu-ibu rumah tangga, termasuk kepala desa setempat.
Agar daun kelor bisa dikonsumsi secara variasi oleh anak, Raineldis membuat daun kelor bubuk. Rumah Produksi Kelor pun didirikan di desa itu dengan modal yang dipinjam dari KSP Mawar senilai Rp 10 juta. Kelor bubuk dalam kemasan seberat 100 gram pun dihasilkan. Kelor yang sebelumnya terbuang begitu saja menjadi sumber penghasilan baru warga.
Di saat itu pula ada program Pemerintah Provinsi NTT mengatasi gizi buruk dan stunting dengan kelor di 22 kabupaten/kota di NTT. Setiap kabupaten/kota wajib menyajikan sayur kelor bagi anak-anak balita. Ia pun menawarkan kerja sama dengan pemda Flores Timur dan Lembata untuk mengatasi gizi buruk dan stunting di dua kabupaten ini.
Kerja sama ini berlangsung tiga tahun, 2020-2023. Angka stunting di dua kabupaten itu kemudian menurun drastis. Dari 65 persen di Flores Timur turun menjadi 24 persen, dan di Lembata dari 58 persen menjadi 15 persen. Proyek bantuan itu berlangsung tiga bulan per tahun.
Melalui Rumah Produksi Kelor, Raineldis memproduksi 50-100 kg kelor serbuk per bulan. Kelor serbuk ini sebagian dimasukkan dalam kemasan 100 gram, dijual Rp 35.000-Rp 40.000 per kemasan. Selain kelor bubuk dalam bentuk kemasan, diproduksi juga kelor bubuk yang bisa dicampur nasi atau langsung sebagai bubur kelor. Tergantung selera anak.
”Daun kelor hijau dibeli masyarakat lokal. Nilai ekonomi dari kelor ada di tangan petani. Sebelumnya daun kelor terbuang-buang atau hanya untuk pakan ternak. Tidak dimanfaatkan sebagai asupan gizi anak-anak karena mereka tidak paham manfaat kelor,” kata Raineldis. Setelah mengetahui manfaatnya, para petani pun mulai membudidayakan tanaman kelor ini.
Kini Raineldis menjual kelor bubuk di rumahnya di Kupang dan di Flores Timur. Ia juga menitipkan kelor bubuk dalam kemasan di sejumlah toko dan pusat perbelanjaan di Kota Kupang dan kabupaten lain. Ia mengikuti setiap pameran yang digelar pemerintah dan swasta untuk terus mempromosikan kelor bubuk dalam kemasan itu. ”Kasus gizi buruk dan stunting di NTT bisa diatasi jika pemerintah, masyarakat, dan pelaku UMKM kerja kolaboratif,” kata Raineldis.