Akhmad Riadiy, Merawat Seni Tradisi Lintas Generasi
Akhmad Riadiy jatuh cinta pada seni tradisi ladon sejak berumur 8 tahun. Selama 70 tahun ia masih setia melestarikannya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Sejak 1950-an, saat seni budaya masih merajai panggung pertunjukan, Akhmad Riadiy (79) telah jatuh cinta pada seni tradisi ladon. Selama tujuh dekade, ia setia merawat tradisi menari sambil melantunkan syair asal Kalimantan Selatan itu agar tetap bertahan lintas generasi.
Akhmad Riadiy, yang akrab dipanggil Guru Amat, tak bisa menutupi keterbatasan fisiknya saat tampil dalam Panggung Maestro 2024 di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (9/3/2024). Ketika melakukan gerakan memutar, kedua kakinya gemetar karena tidak kuat menopang berat badannya sehingga membuatnya terjatuh.
Kakek empat cucu itu tidak kuat mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Ia sempat jatuh terduduk sebelum tubuhnya terjungkal ke belakang. Seorang panitia berlari ke atas panggung untuk membantunya bangkit.
Iringan musik babun (sejenis gendang), biola, dan gong pun tetap mengalun. Bukannya mengakhiri penampilannya, Guru Amat justru kembali berdiri tegak dan melanjutkan aksinya. Tepuk tangan penonton menyambut kebangkitannya. Ia pun menolak ketika ditawari kursi agar ia bisa menari dalam posisi duduk.
Setelah terjatuh, ia lebih berhati-hati dalam bergerak. Gerakan yang bertumpu pada satu kaki sebisa mungkin dihindari. Trik ini ampuh untuk menyelesaikan penampilannya tanpa terjatuh lagi.
”Keseimbangan saya goyah. Mungkin tadi kaki saya juga agak terselip saat melangkah. Sempat diminta untuk duduk, tapi saya yakin masih bisa melanjutkannya,” ujarnya seusai tampil.
Ladon merupakan seni tradisi yang mempertunjukkan kepiawaian menari sambil menyanyi atau melantunkan syair. Tradisi ini berkembang di tengah masyarakat Banjar Batang Banyu, Kalimantan Selatan.
Gerakan tari bergaya Melayu klasik dalam ladon merupakan hasil kreativitas setiap peladon yang terinspirasi dari gerakan natural lingkungan tempat tinggal mereka. Tidak sekadar menari, peladon juga mampu bernyanyi merdu dalam rentang nada-nada kromatik dengan cengkok sangat panjang.
”Syair yang dinyanyikan sangat beragam. Namun, umumnya menceritakan keindahan alam dan pesan untuk menjaganya. Dulu, tradisi ini sering dimainkan oleh laki-laki di halaman rumah atau tanah lapang,” ucapnya.
Bermain ladon biasanya dibawakan oleh kelompok lelaki berjumlah ganjil, seperti tiga, lima, sampai tujuh orang. Adu kebolehan antarpemain ladon dalam bernyanyi, bersyair, berpantun, dan menari menjadi salah satu hal menarik dalam seni tradisi ini.
Iringan musik babun (sejenis gendang), biola, dan gong pun tetap mengalun. Bukannya mengakhiri penampilannya, Guru Amat justru kembali berdiri tegak dan melanjutkan aksinya.
Guru Amat bermain ladon sejak berumur delapan tahun. Sejak kecil ia sering dibawa ke berbagai tempat oleh ayahnya yang merupakan seniman mamanda, seni teater atau pementasan tradisional asal Kalimantan Selatan. Ladon atau biasa juga disebut baladon merupakan salah satu unsur dari mamanda.
”Sejak saat itu, saya mendalami seni ladon. Belajarnya bukan cuma dari orangtua, melainkan juga dari orang-orang dewasa di kampung yang dulu memang sering memainkan ladon di depan rumah,” katanya.
Guru Amat lahir dan besar di Desa Parigi, Kecamatan Bakarangan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Desa ini berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Banjarmasin. Ketertarikannya pada budaya tidak terlepas dari kekayaan seni tradisi di desa tersebut.
Sejak berusia enam tahun, ia sudah sangat akrab dengan tradisi kuda kepang, wayang gung, tari gandut, dan wayang kulit. Ia pun sering mengamati dan mengikuti dalang wayang kulit saat tampil. Ia merupakan keponakan dari Dalang Tulur, salah satu dalang terkenal di era 1970-an.
Alhasil, Guru Amat juga piawai mendalang serta membuat wayang kulit. Sudah ratusan wayang kulit yang dibuatnya untuk keperluan pribadi pementasan mendalang.
Dalam bermusik, ia mahir bermain biola dan beberapa instrumen lainnya. Meski sudah terkena stroke ringan, aktivitas berkeseniannya tidak luntur.
”Saya memang suka dengan kesenian tradisi sejak kecil. Mungkin karena pengaruh lingkungan sekitar juga. Awalnya hanya ingin mencobanya saja. Namun, seiring bertambahnya usia, saya sadar kalau seni tradisi ini bisa punah jika masyarakat adatnya tidak menjaganya,” tuturnya.
Tantangan
Oleh sebab itu, saat kesempatan tampil di Panggung Maestro 2024 datang, ia tidak mau melewatkannya. Semangatnya untuk berkeseniaan tetap menyala meskipun fisiknya mulai melemah.
”Panggung ini menjadi kesempatan untuk mengenalkan seni tradisi kami kepada orang-orang di Jakarta serta Indonesia secara luas. Saya berharap acara seperti ini terus ada di tahun-tahun mendatang,” katanya.
Panggung Maestro 2024 menampilkan delapan pegiat seni budaya dari Kalimantan Selatan dan Jambi. Satu orang berusia 62 tahun, sisanya berumur di atas 70 tahun. Bahkan, ada yang telah berumur 90 tahun.
Ajang yang digagas Yayasan Bali Purnati berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tersebut menjadi panggung penghormatan kepada para maestro atas kesetiaan mengalirkan energi seni budaya dari para leluhur ke generasi penerus. Energi itu menjadi daya hidup seni budaya agar bisa bertahan di tengah arus perubahan zaman.
Menurut Guru Amat, pelestarian seni tradisi menghadapi tantangan yang tidak mudah. Ia berkaca dari menurunnya minat generasi muda terhadap budaya lokal. Saat ini, banyak anak muda justru lebih tertarik dengan budaya luar karena dianggap lebih populer.
Ia mencontohkan tradisi ladon yang saat ini semakin jarang dibawakan oleh generasi muda. ”Padahal, dulu anak-anak muda sangat senang memainkannya. Baladon di halaman rumah dan ditonton banyak orang. Namun, harus diakui, generasi sekarang kurang meminatinya,” katanya.
Akan tetapi, Guru Amat tak putus harapan. Ia optimistis tradisi ladon dan kesenian lokal lainnya masih bisa eksis. Syarat utamanya dengan semakin sering menampilkan dan membangun kesadaran generasi muda untuk menumbuhkan rasa memiliki dan bertanggung jawab agar tidak kendur melestarikan warisan leluhur.
Akhmad Riadiy
Lahir: Desa Parigi, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, 14 Juli 1944