Fatma Hassan Alremaihi, Membongkar Stereotipe Perempuan Arab
Fatma Hassan Alremaihi, CEO Doha Film Institute, melawan stereotipe tentang perempuan di dunia Arab melalui sinema.
Fatma Hassan Alremaihi menjadi salah satu bukti perempuan Arab juga berhak mengejar mimpi. Dengan ketekunannya, Fatma dipercaya memimpin sebuah entitas film di Qatar dan memberi warna lebih cerah bagi industri perfilman di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Mengenakan kaftan putih dan hijab berwarna senada, ia berjalan bersama putranya menyambangi tiap tamu yang diundang ke Qumra 2024. Hari itu, Rabu (6/3/2024), merupakan hari terakhir penyelenggaraan program inkubasi bakat baru perfilman di Timur Tengah dan Afrika Utara yang digelar di Doha, Qatar, sejak Jumat (1/3/2024).
Hampir tiap hari, Fatma juga hadir mengikuti kelas lokakarya dengan sejumlah pembicara dan juga pemutaran film. Di hari penutupan yang dilakukan Ramlah Resort yang dikelilingi gurun pasir dan berbatasan langsung dengan Teluk Persia, Fatma mengajak keluarganya turut serta menghabiskan waktu sembari bersilaturahmi dengan para peserta program dan para tamu.
Di tengah kesibukannya, Fatma yang merupakan ibu dari empat anak ini tetap berupaya membagi waktu bagi keluarga. Dengan mengajak mereka ikut dalam kegiatan Fatma, ia tak hanya bisa bercengkrama bersama, tetapi juga memperkenalkan dunia di luar rumah yang digeluti sang ibu selama ini, yaitu dunia film.
Sebuah dunia yang baru dikenal Fatma ketika masa remaja. Saat itu, film yang ditontonnya pertama kali adalah Titanic (1997) karya sutradara James Cameron yang memenangi kategori Film Terbaik pada Academy Awards ke-70. Ia pun kepincut seusai menyaksikan film itu di sebuah layar besar di Qatar.
Namun, kala itu jalan untuk mendalami film masih nihil di Qatar. Bahkan, sampai ia berkuliah, tak ada jurusan yang spesifik mengenai film. Fatma kemudian memilih jurusan Sastra Inggris di Qatar University. Selepas kuliah, ia memperoleh pekerjaan di Qatar Supreme Council for Family Affairs (Dewan Tertinggi Urusan Keluarga).
Bertahan selama tiga tahun, Fatma pindah bekerja ke kantor pemerintahan utama atau Diwan sepanjang delapan tahun. Walakin, ia paham panggilan jiwanya adalah dunia seni, khususnya film. Ketika adik dari Raja Qatar, Sheikha al-Mayassa mendirikam Doha Film Institute (DFI) pada 2010, Fatma merasa jalurnya terbuka.
Baca juga: Sepotong Afrika Selatan dalam Musik Tyla
”Saya selalu bersemangat melakukan pekerjaan kreatif. Namun,saat itu di Qatar, kami tidak memiliki entitas film di industri sinema. Saat datang kesempatan bekerja di Doha Film Institute, saya langsung ambil dan berada di tempat yang tepat,” kata Fatma saat berbincang.
Fatma langsung dibimbing oleh Sheikha al-Mayassa yang memang sudah malang melintang mengurus persoalan seni budaya dan pengembangannya di Qatar. Pada 2014, Fatma diberi mandat menjabat pucuk pimpinan tertinggi di DFI sebagai chief executive officer.
Ekspansi
Di tangan Fatma, DFI perlahan menjadi tempat bagi para pembuat film muda berbakat untuk memulai perjalanan sinematik mereka. Bermula dari para sineas di Qatar, Fatma melebarkan sayap untuk menjangkau para sineas di Timur Tengah, seperti Palestina, Arab Saudi, Iran, Oman, Yaman, Lebanon, hingga Turki. Lalu, cakupannya meluas hingga Afrika Utara, seperti Mesir, Maroko, Aljazair, Tunisia, hingga Libya.
Dua agenda besar lahir di masa kepemimpinannya. Pertama, Qumra yang merupakan program inkubasi sekaligus pendanaan kepada para sineas dan tiap tahunnya memilih sekitar 40 sineas dari Timur Tengah dan Afrika Utara untuk didanai dan dilatih. Kedua, Ajyal yang merupakan festival film. Kedua agenda ini simultan berjalan selama 10 tahun terakhir ini.
Selain itu, ada juga sesi pelatihan rutin untuk para sineas Qatari. Dalam setahun, biasanya mencapai 150 Qatari terpilih mengikuti lokakarya terkait film ini. ”Saya selalu merasa bahwa dunia Arab membutuhkan representasi yang lebih memadai dalam sinema global, dan bahwa penting bagi pembuat film yang baru muncul untuk memiliki platform khusus. DFI menjalankan peran itu,” ucap Fatma.
Sejumlah film yang didukung DFI terbukti mampu menembus pasar internasional dan berkibar di berbagai festival film dengan menceritakan tentang dunia Arab dan Afrika. Setidaknya, lebih dari 600 penghargaan, termasuk kemenangan di Cannes, Berlin, Venesia, Toronto, BAFTA dan Oscar. Selama tujuh tahun berturut-turut pula, film yang didukung DFI masuk nominasi Oscar.
Sebut saja, Capernaum (2018) buatan sutradara Nadine Labaki yang menjadi nomine di Academy Awards ke-91 untuk Film Asing Terbaik. Kemudian, ada The Present (2020) dari sutradara Farah Nabulsi, Bye Bye Tiberias (2023) dari sutradara Lina Soualem dan The Mother of All Lies (2023) milik sutradara Asmae El Moudir yang juga diapresiasi di Festival Film Cannes dan Festival Film Venesia.
”Kami telah membangun ekosistem yang berawal dari pendidikan hingga pembiayaan film. Saya yakin bahwa film-film dari dunia Arab, dan yang dipupuk oleh Doha Film Institute, akan terus membuat dampak global,” ujarnya.
Saat ditanya mengenai film favoritnya, Fatma memilih jawaban diplomatis. ”Pada berbagai tahap dalam hidup, berbagai film memengaruhi Anda; jadi tidak mudah untuk memilih sendiri hanya beberapa. Saya selalu terinspirasi oleh film yang membuat kita berpikir, memberi pemahaman, dan mendorong untuk mengambil tindakan,” ujarnya.
Kekuatan perempuan
Selain memberi ruang bagi para sineas muda, Fatma membuka selubung untuk para perempuan agar bisa melahirkan karya. Terbukti beberapa nama di atas yang terpilih memperoleh dukungan dari DFI merupakan para sineas perempuan.
Ia memahami, dunia Arab selalu identik dengan stereotipe mengenai perempuan yang dikekang. ”Di dunia Arab, kami terus-menerus berusaha untuk mematahkan stereotipe dan kesalahpahaman di luar tentang perempuan. Kami punya pengaruh dan peran dalam pembangunan bangsa,” ucapnya.
Baca juga: Pengukuhan Emma Stone di Elite Hollywood
Memang hal ini tidak serta-merta hadir. Namun, kondisi di dunia Arab kini jauh berbeda, terutama di Qatar. Menurut Fatma, perempuan di Qatar telah memiliki peluang yang setara dan mampu menjalankan berbagai profesi apa pun yang dicita-citakannya. Angkatan kerja perempuan di Qatar sendiri berada lebih dari 42 persen.
”Di industri film saja, hampir 60 persen sineas di Qatar adalah perempuan. Perempuan juga makin banyak yang berpendidikan dan berani berbicara lantang mengenai hak-haknya dan menantang aspek masyarakat yang tidak semestinya,” ujar Fatma.
Sebagian besar gugatan dan wajah perempuan di dunia Arab saat ini digelontorkan melalui sinema. Kehadiran banyaknya sineas perempuan dari Timur Tengah dan Afrika Utara ini, lanjutnya, telah mematahkan stereotipe dan kesalahpahaman tentang perempuan yang selama ini muncul.
Ia pun meyakini, sinema Arab akan makin berkembang pesat. Lima hingga sepuluh tahun terakhir, lanjutnya, telah menandai transformasi luar biasa dari sinema Arab dengan karya-karya kuat yang mendapatkan pujian global. Keberhasilan film-film ini di panggung internasional menunjukkan bahwa distributor, agen penjualan, dan pemrogram festival memperhatikan sinema Arab.
Terlebih baginya, tujuan sinema selain menghibur adalah untuk memotivasi pembuat film dari daratan Arab dan Afrika untuk menceritakan kisahnya, yang selama bertahun-tahun telah disalahartikan melalui stereotipe. Gaya pembuatan film yang muncul dari wilayah tersebut berakar pada penceritaan jujur yang didukung oleh etos budaya yang kuat.
”Saya percaya pada kekuatan film untuk menciptakan pahlawan, menginspirasi orang, dan melampaui perbedaan untuk menyatukan komunitas yang beragam dalam mencapai apa yang tidak mungkin terjadi. Ini membuka jalan menuju arah baru dalam hidup dan pengaruh positif,” ujar Fatma.
Fatma Hassan Alremaihi
Pendidikan: Sarjana Sastra Inggris, Qatar University
Penghargaan:
- 500 pebisnis berpengaruh versi Variety (2017, 2018, 2019)
- Officier de L’Ordre des Arts et des Lettres dari Pemerintah Perancis (2022)