Wartawan, dalam soal demokrasi, termasuk pilkada, lanjut Sujiwo, harus berani terus bertanya.
Oleh
TRI AGUNG KRISTANTO
·3 menit baca
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (kiri) berbincang dengan budayawan Sujiwo Tejo saat Sarasehan Satu Abad NU di Jakarta, Senin (30/1/2023). Momentum satu abad Nahdlatul Ulama yang jatuh pada 7 Februari 2023, dimanfaatkan berbagai kalangan untuk menggelar beragam acara menyambut satu abad ormas Islam terbesar di Tanah Air itu.
Berkunjung ke Bengkulu, Kamis (2/5/2024) lalu, budayawan Sujiwo Tejo menemukan paradoks dalam ”sebongkah” makanan yang disantapnya sebagai makan siang. Di sebuah restoran pinggir pantai, seniman multitalenta itu menikmati sajian ikan kudu-kudu goreng, yang diakui baru pertama kali ditemukan. Daging box fish yang lembut, dalam balutan telur asin sungguh memesona lidah Sujiwo, yang juga dikenal sebagai dalang dan pelakon.
Olahan ikan kudu-kudu dikenal sebagai salah satu masakan khas Makassar karena ikan yang berbentuk kotak dengan cangkang keras itu lebih banyak ditemukan di perairan Sulawesi Selatan. Namun, kali ini ikan kudu-kudu justru ditemui di Bengkulu, yang berjarak lebih dari 1.900 kilometer dari Makassar, ibu kota Sulsel. Ikan kudu-kudu (Ostracion cubicus) terbilang langka sehingga harganya mahal. Ikan ini pun sering kali dianggap sebagai ikan buntal, tetapi sebenarnya keduanya adalah spesies berbeda.
Ikan kudu-kudu berbentuk kotak dan berkulit keras. Ikan buntal bertubuh bulat, berduri, dan mampu membuat tubuhnya membesar dengan memasukkan angin saat terancam. Kesamaan kedua ikan itu adalah dapat menghasilkan racun. Ikan kudu-kudu menghasilkan racun ostracitoxin atau pahutoxin saat merasa terancam. Racun ikan kudu-kudu tidak berbahaya bagi manusia sehingga bisa diolah menjadi makanan yang lezat.
Sujiwo Tejo, yang terlahir dengan nama Agus Hadi Sudjiwo, pun menyebut ikan kudu-kudu itu sebagai paradoks. Buruk rupa dengan tubuh kotak dan berkulit keras, tetapi dagingnya ueenaakk”. Memiliki racun, tetapi bisa dimakan dengan maknyus, asalkan jangan sampai bagian hatinya pecah, karena akan memengaruhi rasa dagingnya. Bahkan, bisa-bisa daging ikan kudu-kudu itu tidak bisa dinikmati lagi.
”Ikan kudu-kudu yang saya nikmati kemarin hidupnya penuh dengan paradoks, seperti manusia. Saat mengolah, saya mendapatkan penjelasan, hati ikan itu jangan sampai pecah. Ini seperti perempuan, jika hatinya terluka bisa memengaruhi kehidupan sekitarnya. Tak nyaman lagi,” ungkap penulis belasan buku itu, ketika berbicara dalam Lokakarya Peliputan Pemilu/Pilkada 2024, yang diadakan Dewan Pers di Bengkulu, Jumat (3/5/2024).
Hidup manusia pun penuh dengan paradoks, yang diartikan seolah-olah bertentangan, meskipun sebenarnya mengandung kebenaran. Pemilu disebutkan sebagai pesta demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Namun, kenyataannya rakyat tidaklah memilih. Rakyat sudah dipilihkan oleh elite politik atau partai politik. Rakyat tinggal memilih apa yang sudah dipilihkan, termasuk juga saat pilkada nanti. Rakyat tidak bisa menolak dengan apa yang sudah dipilihkan itu, serta tinggal memilih mana yang lebih disukainya. Inilah paradoks….
Wartawan, dalam soal demokrasi, termasuk pilkada, lanjut Sujiwo, harus berani terus bertanya, dan mempertanyakan berbagai paradoks dalam kehidupan ini. ”Saya ini masih wartawan, sebab sampai sekarang saya masih rutin menulis dan dimuat di media,” ujar pria kelahiran Sumenep, Madura, Jawa Timur, itu.
Hidup yang paradoks semestinya memunculkan terus berbagai pertanyaan dan pernyataan dari wartawan. Jurnalis tak akan kehabisan pertanyaan untuk menggali kebenaran dan fakta dari sesuatu yang paradoks. ”Hidup ini paradoks. Jadi, teruslah bertanya,” papar Sujiwo. (TRA)