Hakim Konstitusi Kecewakan Rakyat
Presiden menekankan pentingnya reformasi hukum secara menyeluruh. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla membuat dua paket kebijakan reformasi hukum yang, antara lain, memprioritaskan pembersihan lembaga penegak hukum dari pungutan liar, suap, dan korupsi. ”Seperti tahapan yang sekarang kita lakukan, sebuah reformasi di bidang hukum secara menyeluruh,” ujar Presiden Jokowi.
Di Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah masih menunggu proses hukum Patrialis sebelum memproses penggantian hakim konstitusi. Setelah Patrialis ditangkap, hakim konstitusi tersisa delapan orang. ”Kita menunggu bagaimana prosesnya dan ada permintaan dari MK untuk menghentikan (Patrialis), maka harus diisi (posisinya),” tutur Wapres.
Pemberantasan korupsi di Indonesia, menurut Kalla, adalah salah satu yang paling keras di dunia. Setidaknya sudah 9 menteri masuk penjara, 19 gubernur berurusan dengan kasus korupsi, dan banyak ketua lembaga negara, baik KPU, MK, KY, BI, maupun anggota DPR, yang sudah diproses hukum.
KPK bisa memanggil siapa saja untuk dimintai keterangan tanpa memerlukan izin Presiden. Kendati demikian, menurut Kalla, pada dasarnya tidak ada negara yang bebas korupsi.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Sabtu, di Jakarta, menambahkan, Presiden masih menunggu surat MK. Pemerintah baru bisa membentuk panitia seleksi hakim konstitusi jika MK mengirim surat kepada Presiden yang menyatakan memberhentikan Patrialis sebagai hakim konstitusi.
Ketua MK Arief Hidayat, Jumat, di Gedung MK, Jakarta, menegaskan, operasi tangkap tangan KPK terhadap Patrialis Akbar merupakan masalah personal. Atas nama MK, Arief memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat.
Arief mengatakan, semua hakim konstitusi merasa prihatin dan menyesalkan peristiwa tersebut pada saat MK berikhtiar membangun sistem yang diharapkan dapat menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan kode etik hakim beserta seluruh jajaran MK. Sejak 2013, MK membentuk Dewan Etik yang rutin bertugas.
Majelis kehormatan
Dewan etik telah mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan membebastugaskan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar melalui surat Nomor 3/DEH/U.20/I/2017. Delapan hakim MK dalam rapat permusyawaratan hakim mengambil keputusan menerima usulan Dewan Etik untuk membentuk MKMK.
Majelis Kehormatan MK memutuskan lima anggota MKMK, yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman, anggota Komisi Yudisial (KY) yang akan diminta MK secara resmi kepada KY, mantan Hakim Konstitusi Achmad Sodiki, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bagir Manan, dan tokoh masyarakat As’ad Said Ali.
Setelah penangkapan Patrialis, putusan atas perkara pengujian UU No 41/2014 tetap akan dibacakan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati sembilan hakim. Arief menjamin kegiatan MK, khususnya persidangan, tidak terpengaruh dengan kasus yang menimpa Patrialis Akbar.
Sementara itu, di Salatiga, Jawa Tengah, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, KPK memiliki bukti yang cukup untuk menetapkan Patrialis sebagai tersangka. ”Mengenai substansinya, nanti berdebat di pengadilan saja. Yang jelas kami sudah yakin,” ujar Saut.
Daya rusak
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, suap dengan menukar putusan yang dikehendaki penyuap terhadap hakim konstitusi memiliki daya rusak luar biasa bagi penguatan dan penegakan hukum. Putusan MK bersifat erga omnes, final dan mengikat.
Hendardi mengatakan, praktik korupsi di MK disebabkan kewenangan absolut, termasuk mengadili diri sendiri, lemahnya pengawasan MK, serta proses seleksi yang tidak transparan.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun mengatakan, selama beberapa tahun terakhir, Koalisi Masyarakat Sipil mencatat tiga persoalan mendasar yang berpotensi meruntuhkan wibawa MK sebagai penjaga konstitusi. Dari mulai pengangkatan hakim MK hingga sejumlah putusan yang dianggap kontroversial dan berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi.
”Kami menuntut Ketua MK Arief Hidayat segera mengundurkan diri karena gagal menjaga kewibawaan MK. Presiden juga harus segera mencari pengganti Patrialis Akbar untuk menutup kekurangan hakim konstitusi,” kata Tama.