MELBOURNE, MINGGU — Saat usia tidak lagi muda dan cedera mulai datang, Roger Federer menerapkan pola pikir hanya ingin menikmati berada di dunia yang dicintainya, tenis. Pola pikir itu, dipadukan dengan semua kemampuan dalam hal teknis, nyatanya masih memberikan gelar juara Grand Slam, Australia Terbuka 2017, bagi Federer yang telah berusia 35 tahun.
Ketika layar di Rod Laver Arena, Melbourne Park, memperlihatkan tayangan ulang jejak bola dari forehand Federer yang jatuh di garis servis, emosi petenis Swiss itu meledak. Di hadapan sekitar 15.000 penonton di stadion, Minggu (29/1), Federer meraih gelar juara yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Dia menjuarai Grand Slam untuk ke-18 kali setelah mengalahkan rival terbaiknya, Rafael Nadal, 6-4, 3-6, 6-1, 3-6, 6-3.
Gelar itu didapat setelah Wimbledon 2012, Grand Slam terakhir yang memberinya gelar juara. Tak heran, begitu gelar juara dipastikan menjadi miliknya, Federer menangis, lalu berteriak dan melompat-lompat.
”Saya tak pernah membayangkan bisa sampai pada tahap ini lagi. Terima kasih atas dukungan anggota tim dan penonton,” kata Federer yang menerima Piala Norman Brookes Challenge dari legenda tenis Australia, Rod Laver.
Di sekitar ruang ganti pemain, istrinya, Mirka, menjadi orang pertama yang menyambutnya. Federer dipeluk erat sang istri yang mantan petenis Swiss itu.
Meski status petenis terbaik sepanjang masa melekat padanya, kehadiran Federer di final, apalagi berujung gelar juara, menjadi kejutan. Sejak pertengahan hingga akhir 2016, dia absen dari kompetisi karena operasi lutut.
Namun, selama Australia Terbuka yang dimulai 16 Januari, Federer seolah tak terganggu cedera. Gaya mainnya yang dikenal indah dan efisien dalam menghasilkan poin telah kembali.
Saat melawan Nadal, misalnya, Federer mendapat 73 poin dari winner (pukulan tak terjangkau lawan). Ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan 35 winner yang dibuat Nadal. Pukulan silang, terutama dari backhand satu tangannya, mematikan.
Permainan servis dan voli Federer sempat diimbangi Nadal dengan passing shot yang memunculkan reaksi tepuk tangan penonton. Akan tetapi, Federer tampil lebih agresif. Dia, bahkan, mendekati permainan di masa jayanya pada 2004-2009. Pada set penentuan, dia unggul, 6-3, setelah tertinggal lebih dulu, 1-3.
”Saya berjuang sangat keras, tetapi Federer bermain sangat agresif. Namun, saya senang bisa bermain dalam level permainan tinggi seperti ini,” ujar Nadal yang juga terkendala cedera pergelangan tangan pada 2016.
Sumber inspirasi
Federer melawan Nadal, yang dinilai sebagai final impian, adalah ulangan dari final 2009, tetapi dengan hasil berbeda. Saat itu, Nadal menang dalam lima set. Federer menangis saat pemberian hadiah, hingga tak mampu memberikan sambutan yang selalu dilakukan kedua finalis.
Selain gelar pertama Nadal di Australia Terbuka dan momen menangisnya Federer, persahabatan mereka menjadi sorotan. Nadal merangkul pundak sahabatnya itu, menghiburnya, hingga Federer bisa melanjutkan memberikan sambutan.
Delapan tahun kemudian, persahabatan yang menjadi keunikan hubungan dua rival itu masih terlihat. Setelah menerima piala, Federer mengatakan, seandainya ada hasil imbang dalam tenis, dirinya akan sangat senang bisa berbagi hasil dengan Nadal.
Federer dan Nadal telah menjadi salah satu persaingan terbaik dalam sejarah tenis. Melalui Twitter, sejumlah atlet berharap persaingan itu tak akan hilang.
”Terima kasih untuk kalian. Jangan pernah meninggalkan tenis”, kicau Juan Martin del Potro. ”Saya berharap kalian tidak pernah meninggalkan kami. Laga hari ini sangat menginspirasi”, kicau Feliciano Lopez. (AFP/IYA)