JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menduga suap yang dilakukan pengusaha Basuki Hariman kepada Hakim Konstitusi (nonaktif) Patrialis Akbar didorong oleh keinginan untuk menguasai impor daging sapi. Basuki disebut sebagai bagian dari kartel impor daging sapi yang menjual daging dengan harga tinggi.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif, Selasa (31/1), di Jakarta, menuturkan, indikasi bahwa Basuki menjadi bagian dari kartel impor muncul dari penemuan 28 stempel kementerian atau direktorat jenderal kementerian di kantornya. Penyidik pun menemukan stempel beberapa organisasi internasional, termasuk label halal dari negara-negara pengekspor daging. Stempel-stempel itu kini disita KPK.
Saat dikonfirmasi terkait penemuan stempel itu, Basuki mengatakan tidak tahu. Ia pun enggan menjawab saat ditanya mengenai pemberian-pemberian uang kepada Patrialis.
Basuki diduga menyuap Patrialis senilai 20.000 dollar AS (Rp 267 juta) dan 200.000 dollar Singapura (Rp 1,9 miliar) untuk memengaruhi putusan uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan yang sedang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK). KPK telah menetapkan empat tersangka dalam kasus ini, yakni Patrialis, Basuki, Kamaludin (perantara), dan Fenny (karyawan Basuki).
Menurut Laode, langkah Basuki menyuap Patrialis diduga dilakukan agar sistem basis zona untuk impor daging sapi tidak lagi diperbolehkan. Dengan begitu, Perum Bulog tidak lagi bisa mengimpor sapi dari negara yang belum 100 persen bersih dari penyakit mulut dan kuku.
”Mereka, orang-orang Basuki ini, ingin memonopoli (impor daging sapi). Dengan impor dilakukan Bulog, ia menjadi tersaingi sehingga tidak bisa menjual dengan harga lebih mahal. Makanya mereka meminta (putusan) uji materi supaya Bulog jangan dibolehkan mengimpor dari negara yang belum 100 persen bersih (penyakit mulut dan kuku),” kata Laode.
Pemberhentian Patrialis
MK hingga kini belum mengusulkan pemberhentian Patrialis meskipun yang bersangkutan mengajukan pengunduran diri sebagai hakim konstitusi. MK baru akan mengirimkan usulan pemberhentian Patrialis kepada Presiden Joko Widodo setelah Majelis Kehormatan MK selesai bekerja.
”Putusan Majelis Kehormatan akan dijadikan dasar bagi MK mengirimkan surat usulan pemberhentian Patrialis Akbar. Setelah itu, baru kami mengirimkan surat untuk meminta Presiden agar mengisi kekosongan jabatan hakim yang ditinggalkan Patrialis,” katanya.
Ini senada dengan pendapat mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan. ”Meskipun Patrialis sudah mengundurkan diri, Majelis Kehormatan MK diperlukan untuk menentukan status pemberhentiannya, berstatus mundur dengan terhormat atau justru tidak terhormat,” ujar Bagir. Status ini akan berpengaruh terhadap hak-hak keuangan Patrialis, seperti uang pensiun, setelah tidak menjadi hakim MK.
Hingga kini, Majelis Kehormatan MK belum terbentuk karena anggotanya belum lengkap. MK masih menunggu jawaban Komisi Yudisial (KY) terkait siapa yang akan dikirimkan sebagai anggota Majelis Kehormatan.
MK sendiri telah menetapkan empat anggota Majelis Kehormatan. Mereka adalah Anwar Usman (Wakil Ketua MK), Bagir Manan, Achmad Sodiki (mantan hakim konstitusi), dan Said As’ad Ali (tokoh masyarakat). Satu anggota lagi berasal dari KY.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto saat ditemui di Istana Bogor mengatakan, terulangnya kasus korupsi di MK mengindikasikan adanya persoalan dalam proses seleksi. Pada Oktober 2013, KPK juga menangkap Akil Mochtar, Ketua MK saat itu. Pemerintah pun akan memperbaiki proses seleksi hakim konstitusi, khususnya dalam hal transparansi dan keterbukaan.
Menurut Wiranto, MK harus diisi oleh figur-figur yang kompeten dan berintegritas. Ini perlu dilakukan mengingat pentingnya kedudukan MK dalam tata hukum nasional yang putusannya bersifat final dan mengikat. ”Masyarakat harus tahu siapa yang duduk di sana dan bagaimana latar belakangnya. Karena itu, figur yang masuk tidak bisa mendadak muncul,” katanya. (REK/GAL/OSA/INA/NDY)