Pertalian Nelayan Natuna dan Pancingnya
Gelombang Laut Natuna, yang berbatasan langsung dengan Laut Tiongkok Selatan, datang bergulung-gulung setiap saat. Pecah dan berbuih putih ketika bertemu dengan karang dan batu-batu granit yang tersebar di pantai.
Natuna sedang kelabu. Telah beberapa hari ini matahari tidak menampakkan dirinya. Di saat musim angin utara seperti sekarang, nelayan memanfaatkan waktu untuk memperbaiki kapal. Mereka yang mempunyai kebun untuk sementara beralih menjadi pemetik cengkeh.
”Pompong ini sudah tua. Saatnya papan dan lunasnya diganti,” ucap Andi sembari memperbaiki kapal. ”Bulan depan kapal siap melaut, siap menemani mancing lagi,” katanya.
Kapal milik Andi disebut nelayan dengan nama pompong lantaran suara mesin yang mengeluarkan bunyi pom... pom... pom... pong....
Kapal kayu berukuran panjang 8-10 meter dan lebar sekitar 3 meter ini digunakan hampir semua nelayan di Kabupaten Natuna dan sebagian di wilayah Kepulauan Riau untuk melaut dan mencari ikan. Termasuk juga yang dahulu dilakukan orangtua Andi yang berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara.
Dengan kapal sejenis ini, ribuan nelayan yang tersebar di hampir 15 kecamatan di Natuna bertarung dengan laut untuk mencari ikan. Mereka bisa melaut hingga 100 mil laut atau sekitar 180 kilometer dari daratan.
Ikan tongkol, tenggiri, dan kakap adalah primadona. Alat tangkapnya bukan jaring atau pukat, melainkan hanya pancing yang ditarik dengan tangan.
Dengan yakin, dia bercerita, dengan pancing saja kebutuhan sehari-hari telah terpenuhi. Sekali melaut, dalam waktu tiga hari, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 2,5 juta. Modal tersebut digunakan untuk membeli solar, es batu, dan logistik selama di lautan. Hanya bermodal tali dan kail, ikan yang diperoleh dan dijual bisa mencapai belasan juta rupiah.
Terakhir kali melaut, dia mendapatkan hasil Rp 10 juta. ”Setelah dikurangi modal, hasil itu dibagi rata bersama awak kapal. Karena sistemnya bagi hasil, jadi yang punya kapal dengan awak sama dapatnya. Menurut saya, cukup seperti ini. Jadi untuk apa pakai jaring? Ikan di laut juga semakin sedikit kalau diambil banyak-banyak,” lanjut Andi yang telah melaut sejak umur 12 tahun itu.
Selama ini sejumlah program bantuan pemerintah telah dilakukan, baik dari kabupaten, provinsi, maupun pusat. Termasuk pula pemberian bantuan jaring kepada sejumlah nelayan. Jaring itu tidak pernah digunakan nelayan.
”Sampai sekarang jaring saya sendiri tidak pernah kena air laut. Sekarang ada di rumah. Beberapa teman memakai jaring itu untuk di kebun, menghalau monyet perusak tanaman,” jawabnya sembari terkekeh.
Di Dermaga Teluk Baruk belasan kapal bersandar. Pompong ini untuk sementara tidak dijalankan oleh nelayan karena cuaca yang tidak bersahabat. Hari itu hanya satu kapal bergerak perlahan dari dermaga, menembus ombak.
Erduan (40), nelayan yang juga pemilik kapal, berharap hasil tangkapan cukup banyak hari itu. Sebab, dengan cuaca seperti saat ini, tangkapan memang tidak bisa diprediksi. Persiapan telah dilakukan, termasuk membawa GPS, radio, dan fish finder di kapal.
Alat tangkapnya juga sama, masih dengan pancing. Sebab, nelayan Natuna tidak punya tradisi mengambil ikan dengan jaring di laut lepas. ”Kalau pakai jaring, kapal harus lebih besar dan modalnya pasti lebih banyak,” kata Boy, sapaan Erduan.
Kusnadi (39), nelayan Teluk Buton, Bunguran Utara, mengungkapkan, jaring juga digunakan nelayan di kampungnya. Namun, alat ini hanya untuk menangkap ikan karang. Jarak melautnya tidak jauh, hanya beberapa mil, dengan kondisi laut yang tidak dalam. Itu pun dengan kapal yang lebih kecil.
Kurang pembeli
”Masalah kami adalah pembeli yang kurang. Pengepul di tempat kami ini hanya satu orang. Kalau kami bawa ke kota, dan ikan lagi banjir, tidak ada yang mau beli ikan kami. Harga jadi turun jauh,” tutur Kusnadi.
Selain itu, pabrik es hanya satu-dua. Nelayan mengusahakan lemari pendingin sendiri untuk membuat es batu di rumah masing-masing.
Pembeli ikan juga sama. Hanya beberapa orang lokal yang bisa membeli ikan hasil tangkapan nelayan. ”Akhirnya harga di situ-situ saja. Tidak ada persaingan harga,” tambah Boy.
Pembeli dari luar negeri yang dulu terbiasa masuk ke Natuna juga sudah dihentikan. Saat ini masih ada kapal dari Hongkong yang dua bulan sekali datang membeli ikan budidaya, seperti ikan napoleon dan kerapu. Namun, jumlahnya telah dibatasi.
Kabupaten Natuna berada di garis terdepan Indonesia. Jaraknya lebih dekat dengan beberapa negara tetangga. Potensi ikan di Natuna salah satu yang terbesar di Indonesia. Laut Natuna merupakan tempat sekitar 1,14 juta ton ikan atau 10 persen dari potensi nasional. Tidak heran ribuan kapal asing terus mengincar potensi ini meskipun puluhan kapal telah ditangkap dan ditenggelamkan.
Nelayan Natuna terbiasa mengambil ikan secukupnya untuk hidup sehari-hari. Mereka adalah nelayan tradisional yang butuh didampingi dan didengar kebutuhannya, bukan sekadar menjadi obyek pemberi bantuan. Pancing dan nelayan di Natuna ibarat botol dan tutupnya, tidak bisa langsung dipisahkan.