Kisah yang Terlewat di Panggung Kertas
Bernadito sempat lari. Ia dikejar sekelompok aparat keamanan dan tiba-tiba terdengar suara tembakan. Pemuda bertopi dengan tangan kemeja terlipat itu pun tersungkur, darah segar mengalir dari tubuhnya.
Dalam suasana mencekam, Eddy mengabadikan foto sekuens detik-detik mengerikan itu. Tak berselang lama, seorang fotografer asing juga memotret kejadian tersebut.
Keesokan harinya, foto tersebut tidak terbit di Kompas. Sementara foto dengan sudut serupa tayang di majalah Asiaweek yang tak lain adalah karya John Stanmeyer, fotografer majalah Time kelahiran Illinois, AS. Berkat foto tersebut, Stanmeyer berhasil menggondol World Press Photo 2000.
”Julian (almarhum Julian Sihombing, editor foto Kompas) sempat marah-marah kepada saya, mengapa foto itu tidak saya kirim. Saya bilang, semua foto sudah saya kirim, baik dalam format berwarna maupun hitam putih,” ujar Eddy, Senin (6/2), di sela pembukaan pameran foto Unpublished yang merupakan rangkaian dari Festival Fotografi Kompas di Bentara Budaya Jakarta. Festival fotografi ini berlangsung 6-12 Februari 2017.
Meski tak sempat muncul di koran, foto epik Eddy sempat diabadikan dalam buku terbitan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berjudul East Timor. Buku itu sekarang habis terjual dan menjadi salah satu buku fotografi jurnalistik yang dicari-cari.
Demikianlah nasib foto-foto jurnalistik. Dalam konteks tertentu, seperti panasnya situasi politik, keputusan menerbitkan sebuah foto membutuhkan diskusi dan pertimbangan panjang yang kadang harus berakhir ”mengorbankan” foto-foto dahsyat dan dramatis.
Tampilan foto kuat yang sangat berbicara juga muncul dari jepretan almarhum Valens Doy, wartawan Kompas yang mengabadikan momen kemenangan pebulu tangkis Liem Swie King atas Rudy Hartono pada 18 Maret 1978 dengan skor 15-10, 15-3. Dalam foto itu tampak wartawan BBC, Agus Suyono, dengan sabar menunggu Liem yang tertunduk sembari menangis karena gembira sekaligus terharu atas kemenangannya pada kejuaraan All England tersebut.
Foto bersejarah lain yang ”gagal tayang” di Kompas adalah momen saat Proklamator RI, Mohammad Hatta, menjelaskan lagi suasana detik-detik kemerdekaan di bekas rumah penculiknya pada 17 Agustus 1975. Pada foto karya wartawan foto Kompas, JB Suratno, itu, Bung Hatta yang mengenakan sarung tampak berbicara sambil berdiri di pojok ruangan. Di depannya duduk GPH Djatikusumo, D Matullesy, Singgih, Mayjen (Purn) Sungkono, dan bekas tamtama Peta, Hamdhani, yang membantu Singgih menculik pasangan proklamator Soekarno-Hatta pada 16 Agustus 1945.
Berjuta momen
Dalam rentang waktu setengah abad lebih, Kompas mengabadikan berjuta momen yang tersimpan dalam berjuta-juta frame foto. Tak semua foto dapat diterbitkan di koran karena beragam alasan, seperti etika, estetika, kepantasan, ataupun keamanan.
Sebagian foto yang tak bisa terbit tersebut kemudian diterbitkan dalam buku Unpublished tahun 2014. Buku ini berisi 560 foto karya 22 pewarta foto Kompas yang dikuratori Jay Subyakto dan John Suryaatmadja.
Unpublished dipilih menjadi tema besar kegiatan yang baru pertama kali digelar ini. Festival ini berisi, antara lain, pameran yang menyuguhkan 100 foto yang dipilih secara ketat dari 560 foto dalam buku Unpublished dan 40 foto lama dari arsip Kompas.
”Dengan pameran ini, mereka para fotografer memiliki media ekspresi lain. Jika kita hanya mengikuti regulasi saja, sampai kapan pun foto-foto itu tidak akan dimuat juga. Padahal, fotografi semestinya bisa ditampilkan secara lebih luas dalam bentuk apa saja, tidak sekadar menjadi kewajiban dimuat di media,” papar Jay.
Menurut dia, setelah mengabadikan penembakan di Timor-Leste, nama Stanmeyer terkenal di dunia. Padahal, dalam momen yang sama, fotografer dalam negeri juga menghasilkan karya-karya dahsyat yang setara. ”Foto bersejarah momen reformasi karya Julian Sihombing juga terpaksa dimuat di halaman belakang. Padahal, foto itu menjadi bukti nyata kekejaman rezim Orde Baru. Kadang kita masih terbelenggu swasensor dan ketakutan berlebihan,” ucapnya.
John juga tak meragukan kepiawaian para fotografer dalam negeri.
Ketua Panitia Festival Fotografi Kompas, Wisnu Widiantoro, menambahkan, selain pameran foto, festival ini juga menampilkan pojok KR (inisial wartawan foto Kompas, Kartono Ryadi) dan JS (inisial Julian Sihombing) untuk mengenang karya-karya mendiang berdua. Selain itu, digelar pula lomba foto, workshop, dan kelas master.