Menjaga Semangat Penegakan HAM
Pengantar Redaksi
Harian ”Kompas” bekerja sama dengan Asia Institute, University of Melbourne, Australia, menyelenggarakan diskusi terbatas di Redaksi ”Kompas” bertema ”In Search of Human Rights in Democratic Indonesia”, 24 Januari 2017. Pembicara dari University of Melbourne adalah Prof Dr Vedi Hadiz, Dr Dave McRae, Dr Ken Setiawan, Dr Rachael Diprose, dan Tim Mann. Pembahas adalah pengajar Universitas Negeri Jakarta, Dr Robertus Robet, MA, dan pendiri Change.org Indonesia, Usman Hamid, MPhil, dengan moderator pengajar Universitas Indonesia, Dr Suraya A Affif. Hasil diskusi dilaporkan berikut ini serta di halaman 24 dan 25 oleh Ninuk M Pambudy, Edna C Pattisina, Luki Aulia, Benny D Koestanto, dan Antony Lee.
Penegakan hak asasi manusia menjadi salah satu motor penggerak reformasi 1998. Namun, memasuki 19 tahun reformasi, isu hak asasi tetap timbul-tenggelam, memasuki periode saat pragmatisme lebih mengemuka.
Hingga satu dekade lalu, di berbagai kalangan muncul keyakinan tumbuhnya demokrasi akan sejalan dengan berkembangnya kesadaran pada penghargaan hak asasi manusia (HAM). Namun, beberapa tahun terakhir muncul perkembangan baru di banyak negara, termasuk di negara-negara yang kesadaran demokrasinya dianggap telah matang.
Di Indonesia, reformasi diharapkan akan membangun budaya HAM. Beberapa upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat, seperti kekerasan 1998, termasuk pemerkosaan massal; kekerasan saat Timor-Leste memisahkan diri dari Indonesia; hingga sejumlah pelanggaran HAM sebelum 1998. Namun, harapan tersebut belum terpenuhi hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadi tumpuan harapan pegiat HAM.
Ada beberapa penyebab yang ditengarai membuat penegakan HAM jalan di tempat jika tidak ingin disebut mundur. Penyebabnya dinamika di dalam negeri dan perkembangan global.
Demokrasi Indonesia yang masih pada tahap awal ternyata diambil alih oleh oligarki kelompok-kelompok kepentingan yang tujuan utamanya adalah naik ke puncak kekuasaan dan mempertahankan dengan berbagai cara, seperti penggunaan politik uang dan korupsi. Sejalan dengan itu, agenda reformasi dan demokrasi diambil alih oleh oligarki kekuasaan tersebut. HAM tidak menjadi perhatian, bahkan cenderung dipinggirkan karena di dalam kelompok kepentingan itu terdapat juga mereka yang diduga melanggar berat HAM.
Lambatnya penegakan HAM di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pergulatan diaras global. Negara-negara yang selama ini menjadi contoh komitmen pada demokrasi dan penegakan HAM, terutama di Barat, beberapa tahun terakhir menumbuhkan populisme.
Populisme dalam praktik menyatukan berbagai kelompok masyarakat membentuk mayoritas dengan menggunakan satu identitas yang memungkinkan kelompok mayoritas mengidentifikasikan diri, seperti terlihat di India di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi serta Turki di bawah Recep Tayyip Erdogan dan partai AKP-nya. Tetapi, populisme juga menguat di Inggris, Perancis, Belanda, dan Amerika Serikat. Berkembangnya populisme berakibat pada marjinalisasi kelompok minoritas berbasis suku, ras, agama, jender, atau golongan.
Beberapa tahun ke depan, demokrasi Indonesia akan diwarnai pertarungan politik berbagai bentuk populisme, antara lain nasionalisme dan agama, seperti pada perkembangan terakhir. Kecenderungan terakhir memperlihatkan, populisme yang muncul diserap dan menjadi alat oligarki.
Upaya telah dilakukan
Upaya menegakkan HAM bukannya tidak dilakukan. Komnas HAM berdiri 1993 pada era Soeharto dan berhasil menginvestigasi sejumlah pelanggaran HAM oleh aparat keamanan.
Tidak mengherankan setelah reformasi 1998 harapan sangat tinggi untuk penyelesaian pelanggaran berat HAM, termasuk pelanggaran masa lalu sesuai dengan mandat Undang-Undang HAM Tahun 1999, UU Pengadilan HAM Tahun 2000, perubahan kedua atas UUD 1945, serta ratifikasi berbagai kesepakatan internasional.
Namun, persoalan penegakan HAM pasca 1998 terletak pada lambatnya reformasi HAM dan demokrasi serta politisasi Komnas HAM melalui peran DPR dalam memilih komisioner. Meskipun cara ini meningkatkan partisipasi masyarakat, pada sisi lain juga meningkatkan kerentanan campur tangan luar dan rawan menimbulkan gesekan di internal Komnas HAM.
Hal lain adalah kenyataan terserapnya mereka yang bekerja untuk isu HAM, terutama pada saat kampanye Pemilihan Presiden 2014, ke dalam pemerintahan saat ini.
Isu lain yang juga menjadi pertanyaan pembela HAM dan masyarakat internasional adalah hukuman mati. Sejak Indonesia secara tidak resmi menghentikan moratorium hukuman mati pada Maret 2013, pemerintah telah menghukum mati 23 orang, 18 hukuman di antaranya pada masa pemerintahan Joko Widodo. Adapun periode 1998-2012 dilakukan 22 hukuman mati.
Pemerintah juga mencoba memenuhi hak dasar warga, yaitu kebebasan beragama dan kepemilikan tanah. Pemerintah secara resmi hanya mengakui lima agama meski penganut aliran kepercayaan sejak pemerintahan Joko Widodo mendapat ruang pengakuan lebih lebar, antara lain dengan Peraturan Mendikbud Nomor 27 Tahun 2016 yang membolehkan siswa mengikuti kelas pendidikan agama berdasarkan aliran kepercayaan.
Dalam penguasaan tanah, pemerintah berjanji akan membagikan 12,7 juta hektar lahan hutan kepada masyarakat adat dan petani. Persoalan ada pada pelaksanaan, terutama untuk masyarakat di pelosok dan harus berhadapan dengan pemodal besar serta aparat pemerintah daerah. Di perkotaan atau di daerah yang akan dijadikan proyek pembangunan, masyarakat juga dipaksa melepas haknya meski dilakukan penggantian melalui kesepakatan dua pihak.
Membangun imajinasi
Berkembangnya oligarki politik yang bertautan dengan kecenderungan populisme memunculkan dugaan, pemenuhan HAM beberapa tahun ke depan masih belum menjadi kesadaran bersama. Pragmatisme terasa kuat dalam pelaksanaannya. Alasan penghentian setelah rangkaian 18 hukuman mati, misalnya, adalah karena pemerintah ingin berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi.
Upaya pemerintah membuka kembali peristiwa 1965 lebih karena tidak ada satu pun pemimpin partai politik pendukung pemerintah terlibat dalam peristiwa tersebut. Penuntasannya juga masih terhalang penolakan militer.
Meski demikian, situasi hak asasi manusia saat ini harus diakui membaik. Kebebasan berekspresi, misalnya, lebih terjamin. Berangkat dari kenyataan adanya oligarki politik dan populisme, tantangannya adalah memasukkan ide HAM ke dalam kelompok oligarki tersebut. Advokasi HAM di tingkat nasional dan lokal, seperti perjuangan masyarakat menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali, dan Papua, dapat dilakukan melalui pengorganisasian dan bantuan media massa.
Isu hak asasi di Indonesia memang belum dianggap sebagai kebutuhan negara modern, lebih bergantung pada kebutuhan pragmatis negara, aktor yang terlibat, dan kepemimpinan. Namun, sebagai imajinasi politik, pemenuhan hak asasi terus mencari jalan untuk menjadi kebutuhan melekat negara modern.