logo Kompas.id
UtamaUjian Berat Saat Ingin Bangkit
Iklan

Ujian Berat Saat Ingin Bangkit

Oleh
· 4 menit baca

Pernah pergi demi pembangunan, sebagian warga di Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, kini terancam hengkang kembali dengan alasan serupa. Keinginan bangkit hidup sejahtera terancam terhambat lagi.Lantunan ayat-ayat suci Al Quran baru usai dikumandangkan dalam tahlilan di rumah Didin Nurhadi (49), warga Desa Cacaban, Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang, Sabtu (28/1). Mertua Nurhadi baru meninggal lima hari sebelumnya.Tahlilan membuat hati Nurhadi tenang. Puluhan tetangganya ikut mengantarkan mertuanya menuju Tuhan. Namun, kedatangan mereka ternyata menyisakan gundah di hati Nurhadi. Hampir semua yang datang menumpukan harapan kepadanya: "mengantar" mereka menuju hidup lebih sejahtera.Pertanyaan yang diajukan salah seorang warga di beranda rumah selepas tahlilan seperti alarm pengingat bagi Nurhadi. "Jadi, nasib kita bagaimana? Kalau mau digusur lagi, ke mana kita akan pindah?" kata salah seorang warga.Nurhadi tidak menjawab. Ia hanya membalasnya dengan tatapan kosong. Seperti tahu kegelisahan Nurhadi, tak ada lagi pertanyaan serupa. Warga hanyut dalam kegelisahan serupa.Tak mudahBersama 150 orang lainnya, Nurhadi baru setahun tinggal di Cacaban. Mereka menempati lahan bekas kebun durian. Lahan itu tak terlalu subur. Kondisi itu kontras dengan tempat tinggal mereka sebelumnya di Desa Cipaku, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, berjarak 32 kilometer dari Cacaban. "Kami pindah ke sini setelah Desa Cipaku digenangi air Waduk Jatigede. Kami ikut Pak Nurhadi, mantan Kepala Desa Cipaku. Harapannya hidup sejahtera," kata seorang warga. Akan tetapi, kenyataan berkata lain. Kini mereka terancam hengkang lagi. Desa itu masuk megaproyek pembangunan Jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu).Kepala Satuan Kerja Jalan Tol Cisumdawu Wida Nurfaida mengatakan, Desa Cacaban, Desa Conggeang Kulon, dan Cibeureuyeuh akan terdampak trase IV pembangunan tol. Hal ini dilakukan guna mencari lokasi pembangunan terbaik meminimalkan pergerakan tanah.Nurhadi mengatakan belum mendapat kepastian soal penggusuran akibat pembangunan Tol Cisumdawu itu. Namun, kedatangan sejumlah orang yang mengaku bekerja pada pembangunan Tol Cisumdawu mulai memicu kekhawatiran. "Kabar itu jadi pukulan kedua bagi kami. Belum usai menata hidup, kami sepertinya akan diminta pergi lagi," kata Nurhadi. Bukan perkara mudah menata hidup di tempat baru. Uang pengganti yang diberikan pemerintah Rp 29 juta per keluarga saat hengkang dari Jatigede jauh dari cukup. Banyak warga terpaksa menjual harta benda. Tak sedikit warga yang kini menimbun utang.Sumawijaya (45), warga eks Jatigede di Cacaban, misalnya, mengaku berutang jutaan rupiah kepada mertuanya. Uang Rp 29 juta hanya cukup membeli material rumah. Pembangunan rumah dibiayai utang dan menjual sapi peliharaannya. "Selama setahun saya belajar bertani sayur sendiri tanpa bantuan pemerintah. Belajarnya tidak mudah karena sebelumnya saya terbiasa menggarap sawah dan beternak sapi. Saya tidak tahu harus berbuat apa kalau mau digusur lagi," katanya.Setali tiga uang, warga di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, juga mengalami hal yang sama. Setelah warga desa tetangga seperti Bantarjati, Sukakerta, Kertajati, dan Kertasari pergi akibat pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), ribuan warga Sukamulya ngotot bertahan.Seorang di antaranya adalah Jumantara (36). Sekitar empat tahun lalu, ia adalah warga Kampung Congkok, Desa Bantarjati, Kecamatan Kertajati. Dia pergi dari tempat kelahirannya itu setelah Bantarjati masuk rencana pembangunan BIJB.Saat itu Jumantara mengalah. Ia menerima Rp 147 juta. Jumlah itu jauh dari kesepakatan awal. Dua rumah dan kebun seluas 560 meter persegi awalnya dihargai Rp 247 juta. "Katanya ada potongan, tapi saya takut protes karena prosesnya di pengadilan. Uangnya digunakan pindah ke Desa Sukamulya," katanya.Di Sukamulya, 5 kilometer dari Bantarjati, harapannya sempat mekar. Jumantara membangun rumah meski harus berutang Rp 30 juta. Ia kembali bertani meski sekadar jadi buruh tani di lahan cabai. Tenaganya dibayar Rp 80.000 per hari.Ingin diperhatikanKini, ketenangannya terusik lagi. Minim informasi, Sukamulya ternyata masuk rencana pembangunan BIJB. Kali ini dia tak ingin pergi begitu saja. Bersama ribuan warga Sukamulya, ia bertahan. Tuntutannya meminta pemerintah menjamin kehidupan warga di daerah relokasi. "Saya tidak mau pengalaman buruk dulu terulang lagi," katanya. Hingga kini, masalah ini belum teratasi. Dari total lahan Sukamulya 740 hektar, sebanyak 346 hektar masuk rencana pembangunan bandara. Namun, baru mencapai 15 persen yang sudah diberikan warga. Bambang Nurdiansyah, Koordinator Front Perjuangan Rakyat Sukamulya, mengatakan, proses pembebasan lahan minim keterlibatan warga. "Harga tanah di sini bervariasi, Rp 700.000-Rp 1,3 juta per 14 meter persegi. Padahal, harga tanah ada yang mencapai Rp 7 juta per 14 meter persegi," katanya.Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan Noer Fauzi Rachman sempat datang ke Sukamulya. Ia memediasi warga, pemda, dan PT BIJB, badan usaha milik daerah Jabar. "Masyarakat punya hak dalam pembangunan. Mereka berhak menyatakan setuju atau tidak," ucap Fauzi, awal Januari 2017.Dalam kesempatan yang sama, Asisten Daerah Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Jabar Deny Juanda meyakinkan, ada kepentingan lebih besar di balik pembangunan BIJB.Herry Susana Kalangi, tokoh masyarakat Sukamulya, menegaskan bahwa warga bukan anti pembangunan. "Tanah ini adalah hidup kami. Jika hilang tanpa ganti, bagaimana kami hidup?" ujarnya. (IKI/TAM/CHE)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000