Berjuang Suarakan Kotak Kosong
Di antara rintik hujan, teriakan Jumadi (35) masih terdengar lantang dari sistem tata suara yang ditata apik di atas bak truk, di ruas pantai utara Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis (26/1) siang. Sejumlah warga melambatkan kendaraan, menoleh, memasang raut wajah penasaran. Sosialisasi kotak kosong pada pemilihan kepala daerah digelorakan sebagai bagian dari demokrasi.
"Kotak kosong bukan golput (golongan putih). Mencoblos kotak kosong adalah hak kita sebagai warga Pati," teriak Jumadi.
Orasi itu bagian dari aksi yang dilakukan Aliansi Kawal Demokrasi Pilkada Pati (AKDPP), kelompok pendukung kotak kosong. Adapun kotak kosong merupakan lawan dari pasangan calon tunggal Haryanto-Saiful Arifin di Pilkada Pati 2017. Pada Pilkada Pati, Haryanto yang juga bupati petahana didukung delapan dari sembilan partai politik di DPRD.
Dinamakan kotak kosong karena dalam surat suara pilkada yang hanya diikuti calon tunggal terpampang gambar calon. Sementara kotak di sampingnya terpampang kolom kosong.
Ketidaksetujuan Jumadi dengan fenomena calon tunggal mendorongnya menggelorakan sosialisasi kotak kosong. Siang itu orasinya cukup menyita perhatian pengguna jalan. Lalu lintas di ruas urat nadi transportasi Pulau Jawa itu tersendat. Selain sebagian ruas terhalang truk pendukung kotak kosong, warga juga banyak yang berhenti untuk menonton aksi.
Sekitar 100 relawan kotak kosong awalnya hendak membentangkan kain hingga Alun-alun Pati, sekitar 1 kilometer dari titik mereka berkampanye. Namun, sesuai kesepakatan dengan Kepolisian Resor Pati bahwa tak akan ada pergeseran massa, kain hanya dibentangkan sepanjang 200 meter.
Menurut Ketua AKDPP Sutiyo, aksi menandatangani kain putih ini merupakan salah satu cara menyiasati sulitnya mendapat izin sosialisasi atau kampanye. "Kami merasa selalu dipersulit. Setiap kami akan menyelenggarakan sosialisasi, masalah utamanya rekomendasi dari KPU Pati tidak turun," ucapnya.
Koordinator Divisi Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga Badan Pengawas Pemilu Jateng Teguh Purnomo mengatakan, Pati merupakan salah satu daerah rawan terjadi kecurangan, selain Brebes, Cilacap, dan Jepara. Karena itu, pengawas pemilu lapangan (PPL) disiagakan untuk terus bergerak memantau pada saat hari pemilihan. Di setiap tempat pemungutan suara (TPS) ditempatkan seorang pengawas.
Kehadiran calon tunggal menutup kesempatan khalayak membuat pilihan sekaligus merusak iklim demokrasi karena bertendensi melahirkan hegemoni kekuasaan tanpa kontrol. Gerakan kotak kosong setidaknya bisa dimaknai sebagai upaya perlawanan sekaligus bagian demokrasi yang mesti difasilitasi dalam perundang-undangan.
Menjadi lebih baik
Partisipasi pemilih di Aceh masih tinggi. Abdullah (56), warga Gampong Lam Ujong, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, Senin (13/2), mengatakan akan menggunakan kesempatan memilih sebaik mungkin. Sebelum berangkat ke ladang, bapak tiga anak itu memeriksa daftar pemilih tetap yang ditempel di dinding TPS di Lam Ujong.
Ia ingin memastikan dirinya dapat memberikan suara pada Pemilihan Gubernur Aceh, Rabu (15/2). Abdullah percaya suaranya dapat mengubah nasibnya. "Saya ingin memilih pemimpin yang dapat memberikan kesempatan kepada anak saya bersekolah hingga ke perguruan tinggi," katanya.
Ia tidak mau anaknya bernasib sama seperti dirinya yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Sehari-hari Abdullah bekerja sebagai petani garam. Jika cuaca cerah, ia bisa menjual garam hingga 20 kilogram (kg) per hari dengan harga Rp 3.500 per kg. Namun, memasuki musim hujan, ia bisa tidak bekerja selama berbulan- bulan. Istrinya bekerja sebagai buruh di pabrik pencetakan batu bata dengan upah Rp 50 per batu bata. Sehari, istrinya membawa uang Rp 30.000.
Karena kondisi keuangan keluarga, dua anaknya berhenti bersekolah saat duduk di bangku SMA. Mereka lalu bekerja sebagai petugas satpam dan tukang tambal ban. Namun, Abdullah masih punya asa kepada anak bungsunya yang kini bersekolah di Sekolah Menengah Industri Kerajinan Aceh. "Saya percaya, dengan pendidikan, anak saya bisa mengubah nasibnya," katanya.
Keinginan mengubah kehidupan melalui pilkada juga diungkapkan Irfan Fauzan (26). Sudah dua tahun ia menganggur sejak tamat dari sebuah kampus swasta di Banda Aceh. "Lowongan pekerjaan sangat sedikit di Aceh. Saat ada lowongan pekerjaan, saya harus bersaing dengan ratusan penganggur lainnya. Sudah beberapa kali saya melamar pekerjaan, tetapi belum pernah dipanggil," ujarnya.
Fauzan berharap, Pilgub Aceh 2017 yang diikuti enam pasangan calon dapat menghasilkan pemimpin yang dapat membuka lapangan kerja baru. Ia menyatakan sudah punya pilihan calon gubernur Aceh. Untuk itu, ia akan pulang dari Banda Aceh ke Kabupaten Pidie untuk menggunakan hak pilihnya.
Suasana menjelang pilkada di Aceh memang riuh. Perdebatan soal calon gubernur terdengar di warung-warung kopi. Mereka berharap siapa pun yang akan terpilih dapat membangun "Serambi Mekkah" lebih maju lagi.
Harapan itu termasuk realistis karena, menurut Badan Pusat Statistik Aceh, penduduk miskin di Aceh tahun 2016 mencapai 17,08 persen. Angka itu membuat Aceh menempati urutan tertinggi kedua di Sumatera dan tertinggi ketujuh di Indonesia dalam hal kemiskinan.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Jeliteng Pribadi, mengatakan, sejak 2008, Aceh mendapat dana otonomi khusus dengan total Rp 41 triliun. Hingga 2027, angkanya mencapai Rp 144,7 triliun. Namun, hingga kini dana itu belum dapat digunakan secara maksimal.
Kurang antusias
Jika Aceh menyambut pilkada dengan semarak, suasana di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sepi. Warga tidak antusias menyambut pilkada yang diikuti empat pasangan calon.
Di Pangkal Pinang sangat jarang terlihat spanduk mengingatkan warga untuk menggunakan hak suaranya. Baik di warung kopi maupun warung makan jarang terdengar pembicaraan mengenai isu pilkada. Warga lebih banyak membahas isu tentang harga karet yang membaik, yakni Rp 9.000 per kg. Selebihnya mereka bercerita tentang banjir yang sering terjadi di Bangka Belitung dan masalah hidup mereka.
Hafid Fitrian (27), warga Kelurahan Bintang, Pangkal Pinang, mengatakan, antusiasme warga menyambut pilkada terus menurun. Sebab, janji para calon kepala daerah tak pernah ditepati. "Mau menciptakan lapangan kerja baru, mau membangun daerah lebih baik, dan mau menyejahterakan warga, tetapi buktinya enggak ada."
Tidak demikian dengan warga Kecamatan Bukit Intan, Pangkal Pinang, Henry Sanada, yang tetap akan menggunakan hak pilihnya. "Saya bilang ke keluarga saya, kita harus tetap memilih. Setidaknya kita bisa memilih yang terbaik di antara yang buruk. Sebab, jika kita tidak memilih, kondisi daerah akan lebih buruk," tutur Henry.
Suasana sepi juga terjadi di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung. Pilkada di Tulang Bawang Barat juga hanya diikuti satu pasangan calon yang merupakan pasangan petahana yang didukung semua partai politik. Wasikun, petani karet warga Desa Murni Jaya, Kecamatan Tumijajar, bahkan lupa bahwa pilkada esok hari (Rabu). Ia baru ingat saat mobil KPU berkeliling mengampanyekan pilkada. Meski demikian, ia menyatakan akan datang ke TPS.