JAKARTA, KOMPAS — Jabatan publik mesti diisi oleh orang yang bersih dari korupsi. Dengan pertimbangan itu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (20/2), mencabut sebagian hak politik mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, yaitu hak untuk dipilih sebagai pejabat publik.
Pencabutan sebagian hak politik itu menjadi pidana tambahan yang dijatuhkan kepada Irman karena majelis hakim yang dipimpin Nawawi menyatakan ia terbukti menerima uang Rp 100 juta dari pasangan pemilik CV Semesta Berjaya, Memi dan Xaveriandy Sutanto. "Patut diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya," kata hakim anggota Mas\'ud.
Pencabutan hak untuk dipilih sebagai pejabat publik ini berlaku selama tiga tahun setelah Irman menjalani pidana pokok, yaitu selama 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Irman bukan orang pertama yang dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik. Pidana serupa sebelumnya dijatuhkan, antara lain, kepada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah berharap, pencabutan hak politik ini menjadi standar yang dipahami semua hakim pengadilan tipikor. "Penerapan pencabutan hak politik menjadi penting sebagai efek jera," tuturnya.
Namun, pengajar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, menjelaskan, pencabutan hak politik seperti yang dijatuhkan kepada Irman tidak menutup semua peluangnya untuk berpolitik. Irman hanya dilarang mencalonkan diri dalam jabatan publik, seperti kepala daerah dan anggota legislatif. Namun, Irman masih bisa melakukan aktivitas politik, seperti bergabung dengan partai politik atau memilih dalam pilkada atau pemilu.
"Jadi juru kampanye juga tidak menyalahi aturan," ujarnya. Hukuman itu berdampak kuat, lanjut Salmi, jika terpidana dilarang berpartisipasi dalam aktivitas politik.
Atas vonis yang dijatuhkan majelis hakim, Irman dan jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir. Ditemui seusai sidang, Irman mengaku putusan tersebut berat bagi dirinya.
Kuasa hukum Irman, Maqdir Ismail, menilai putusan pencabutan hak politik itu tidak sesuai dengan Pasal 18 Huruf d UU Pemberantasan Tipikor. "Pasal itu tidak mengatur tentang pencabutan hak politik terpidana, tetapi pencabutan hak-hak tertentu yang diberikan pemerintah. Hak politik untuk dipilih bukanlah hak yang diberikan oleh pemerintah, melainkan hak asasi setiap orang," kata Maqdir.
Terkait pertimbangan hakim yang menyebutkan pencabutan hak politik sebagai upaya mencegah orang dengan sikap koruptif menjadi perwakilan publik di lembaga negara, Maqdir menghargainya. "Itu adalah pertimbangan hakim, ya, boleh-boleh saja berpendapat seperti itu," katanya. (REK/SAN/MDN)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.