Banjir Tahunan Jakarta
NAIK SINUKABAN, Ketua Departemen Konservasi Tanah dan Air Institut Pertanian Bogor
(Opini Kompas, 29 Januari 2005)
Paling tidak 5-10 tahun terakhir, pada musim hujan aliran Ciliwung menggenangi dan membanjiri banyak lokasi, bahkan menghilangkan harta benda dan nyawa mereka yang tinggal di sepanjang dataran banjir (flood plain) sungai itu. Genangan dan banjir semakin tinggi serta frekuensinya semakin sering. Hal ini menggiring kita untuk mengatakan bahwa Ciliwung sudah semakin liar tidak terkendali.
Aliran Ciliwung liar karena kita semua, warga yang hidup di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung termasuk pemerintah daerah maupun pusat. Namun, kalau mau diurut, siapa yang memberikan kontribusi paling besar terhadap terjadinya banjir, penilaian harus dikaitkan dengan faktor-faktor penyebab banjir, seperti curah hujan, jenis tanah, dan topografi wilayah, hingga penggunaan lahan dan pengelolaan lahan.
Berdasarkan penggunaan lahan tahun 1996, ternyata daerah permukiman seluas 11.590 hektar merupakan penggunaan lahan terluas di DAS Ciliwung, diikuti secara berurutan oleh pertanian tegalan (7.770 ha), kebun campuran (5.730), hutan (5.094 ha), sawah (1.665 ha), dan penggunaan lainnya (724 ha).
SUTOPO PURWO NUGROHO, Ahli Peneliti Muda di BPPT dan Kandidat Doktor di IPB
(Opini Kompas, 11 Februari 2006)
Hubungan hujan-aliran sudah banyak diteliti oleh pakar. Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan akan meningkatkan debit banjir. Peningkatan deforestasi dan alih fungsi lahan dengan dampak negatifnya telah dikenali terjadi di sejumlah DAS di Jawa sejak awal abad 20 dan disadari sebagai awal permasalahan lingkungan hidup di Indonesia.
BISANTO KADARISMAN, Tim Invensi Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
(Opini Kompas, 26-12-2011)
Air hujan yang berjumlah jutaan meter kubik setiap musim hujan saat ini dilihat hanya sebagai ancaman dan nyaris terabaikan fungsinya sebagai sumber konservasi air tanah. Perhatian saat ini tertuju pada cara membuang genangan air ke laut secepatnya tanpa mempertimbangkan solusi efektif yang bisa saling menunjang antara mengatasi kelebihan pasokan air permukaan dan kekurangan pasokan air tanah.
Hujan berkepanjangan di daerah penyangga sering menyebabkan banjir kiriman di Ibu Kota. Kondisi makin parah jika terjadi bersamaan dengan hujan lokal. Pembangunan jalan, gedung, dan lainnya berkontribusi pada banjir karena menyebabkan bidang serapan air hujan terus berkurang.
Dalam jangka pendek, yang bisa dilakukan adalah meredam-meresapkan dan mengalirkan air permukaan. Meredam berarti menyimpan air permukaan di suatu tempat untuk sementara sambil meresapkan, lalu mengalirkan pada saat saluran pembuangan sudah dapat mengalirkan. Pengaturan ini dimungkinkan jika pada tempat tertentu dibangun kolam penampung yang dilengkapi bak kontrol pengendali. Bak kontrol ini dapat mengalirkan air ke saluran buangan atau menarik sementara ke kolam peredam, berdasarkan pada kepekaannya dalam mendeteksi perbedaan ketinggian di kedua elevasi air permukaan.
Solusi ini bisa diterapkan dengan mengoptimalisasi jaringan drainase perkotaan yang tersedia, dengan cara melengkapi dengan kolam peredam-peresap beserta bak kontrol pengendali.
GUFRAN A IBRAHIM, Guru Besar Antropolinguistik Universitas Khairun, Ternate; Kepala Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud
(Opini Kompas, 11 Juli 2016)
Studi antropologi sosial telah banyak membentangkan temuan sejumlah komunitas di berbagai wilayah komunitas penjaga hutan yang masih setia berliterasi ekologis. Akan tetapi, banjir, tanah longsor, pendangkalan sungai, luberan sampah di sepanjang bantaran sungai yang melintasi kampung dan kota, rusaknya ekosistem pantai, asap kebakaran hutan, adalah sederet fakta lingkungan yang berbanding terbalik dengan klaim bahwa kita adalah bangsa yang berharmoni dengan alam.
Lepas dari argumen perubahan perilaku cuaca yang anomali, kehancuran ekologis karena murka alam dan kematian masif yang sia-sia adalah tanda yang terlampau kasat mata dari buruknya budaya literasi ekologis kita. Buruk literasi ekologis itulah yang menumpulkan kepekaan pada tanda-tanda alam. Kita kemudian terus dikepung rundungan murka alam. Mau tak mau kita harus merumus-ulang pola relasi-interaksi kita dengan alam sekitar. Salah satu ikhtiar dari rumus-ulang relasi-interaksi ini adalah mempromosikan gerakan literasi ekologis.
Ada tiga matra penting dalam mendorong literasi ekologis: (1) menyusun isian belajar pada sekolah dan komunitas pegiat literasi dengan siasat ”literasi ekologi melintasi kurikulum”; (2) menyebar-kenalkan praktik baik komunitas pemulia alam—seperti akal-budi suku Sher—sebagai teladan; dan (3) membangun relasi baru manusia dengan alam. Tentu saja ikhtiar ini tidak dimaksudkan untuk menambah /subject-matter/ dalam bangunan struktur kurikulum sekolah kita, tetapi memulai upaya pemuliaan alam dengan mendorong prinsip penumbuhan akal-budi melalui pengenalan ”religiositas ekologis” yang melintasi teks-teks pembelajaran di sekolah dan komunitas pegiat literasi.