Ketimpangan dan Paradigma Pembangunan
Tenda-tenda semi permanen dengan latar gedung-gedung bertingkat di Jalan Tenaga Listrik, Tanah Abang, Jakarta, Kamis (2/6). Penanganan ketimpangan ekonomi perlu menjadi agenda prioritas pemerirntah. Peningkatan ketimpangan dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial.
SULTAN HAMENGKU BUWONO X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (Opini Kompas, 26/5/2008)
Selama ini kita selalu meletakkan "pertumbuhan" sebagai jiwa paradigma pembangunan. Kita tidak pernah meletakkan "keadilan" sebagai jiwanya. Bahkan, kita pun malas untuk melakukan sintesis sebagai upaya mempertemukan keduanya secara sinergis. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini, faktanya, tidak berkorelasi lurus dengan tingkat kesejahteraan dan keadilan rakyat.
Meletakkan "keadilan" dalam jantung paradigma pembangunan berarti mendasarkan pembangunan bukan hanya dalam artian ekonomi semata yang cenderung mengabaikan ruang (geografi fisik dan sosial), tetapi berbasis pada ruang dan gerakan komunitas. Pendeknya, ia berbasis pada kearifan budaya lokal sebab budaya lokal tidak akan bisa bertahan sampai kini jika napasnya bukan keadilan dan pemerataan bagi semua pengusung budaya itu.
Inilah sejatinya koordinat dari paradigma pembangunan nasional.
KACUNG MARIJAN, Pengamat Masalah Sosial Politik (Opini Kompas, 13/10/2010)
Ketimpangan sosial di negeri ini sangat tinggi. Realitas bahwa penguasaan aset berbentuk piramida terbalik -- 56 persen aset negeri ini hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk--memang bisa ditemui di berbagai negara. Namun, apa yang ditemukan di sini sungguh mencengangkan, bahkan sulit ditemukan di negara-negara kapitalis sekalipun. Ada masalah yang sangat serius dalam pemerataan kesejahteraan bangsa.
Perusahaan-perusahaan besar bisa lebih mudah mendapatkan hak kelola hutan dan pertambangan dari negara atau pemerintah daerah. Konsekuensinya, sekelompok kecil orang yang memperoleh konsesi di dalam pengelolaan hutan dan tambang bisa dengan cepat mengakumulasi kapital dalam jumlah yang sangat besar. Sebaliknya, saat ada rakyat yang mencoba mengais-ngais rezeki di hutan atau daerah yang memiliki potensi tambang, mereka bisa dengan cepat diusir.
Banyak aset berupa tanah milik perusahaan-perusahaan besar, ditelantarkan. Sementara, petani penggarap tidak memiliki sejengkal tanah pun untuk digarap.
Melebarnya ketimpangan juga konsekuensi dari kebijakan negara atau daerah. Ketimpangan sosial yang melebar menjadi salah satu pemicu munculnya kekerasan di dalam masyarakat, konflik antarkelompok dan kriminalitas
Indonesia sudah lama memiliki UU yang mengatur agraria. UU ini bisa menjadi titik tolak realokasi dan redistribusi masalah tanah. Namun, isu ini lama tenggelam karena ada ketakutan dikaitkan dengan gagasan sosialisme/komunisme.
Berkaitan dengan izin pengelolaan hutan dan pertambangan, Konstitusi kita jelas-jelas juga menyebutkan bahwa bumi, air, dan yang ada di perut bumi itu dikuasai oleh negara. Ketika negara atau daerah kemudian memberi izin kelola kepada individu atau korporasi secara tidak adil, dampaknya bisa berkonsekuensi tidak adil pula terhadap kesejahteraan rakyat.
Terkait pengaturan relasi berusaha, secara kasatmata juga terlihat bahwa pelaku ekonomi besar telah melakukan penetrasi besar-besaran terhadap pasar di tingkat bawah, seperti dalam kasus bisnis ritel.
Ketidakpedulian kita terhadap isu-isu seperti ini, membuat ketimpangan terus berlanjut dan melebar.
ARIEF ANSHORY YUSUF, Director Center for Economics and Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran dan Penggagas keberpihakan.org (Opini Kompas, 25/3/2014).
Mekanisme pasar memang menjanjikan efisiensi, tetapi tidak menawarkan keadilan. Kita merespons dengan mencantumkan prinsip ”efisiensi berkeadilan” dalam amendemen UUD 1945. Paradigma ini juga dikenal sebagai ”pertumbuhan berkeadilan”. Akan tetapi, walau sudah lama dikumandangkan, paradigma ini tak akan mampu menyelesaikan akar permasalahan dari meningkatnya ketimpangan. Ini terjadi karena filosofinya yang masih mengedepankan pertumbuhan, menomorduakan keadilan.
Prinsip ”tumbuh dulu redistribusi kemudian” sudah terlalu lama jadi paradigma pembangunan ekonomi dan terbukti tidak termanifestasikan menjadi keadilan hakiki. Paradigma ini juga sudah tak sesuai teori-teori dan bukti-bukti empiris baru dalam literatur ekonomi pembangunan yang makin menunjukkan keadilan justru adalah prasyarat pertumbuhan ekonomi.
ROBERT ENDI JAWENG, Manajer Hubungan Kelembagaan KPPOD, Jakarta (Opini Kompas, 27/3/2007)
Fakta masih belum membaiknya pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat di masa desentralisasi memunculkan gugatan, adakah jalan desentralisasi pilihan reliable bagi era baru pembangunan lokal?
Masyarakat, terutama lapisan miskin-marjinal, tetap sulit mengakses hak-hak dasar kesehatan, pendidikan, dan sumber- sumber penghidupan yang semestinya. Mereka senantiasa menjadi tumbal bencana kebijakan dan gagal-negara dalam mengurus wabah penyakit, petaka alam, gagal panen, dan seterusnya.
Ketika pesta pora otonomi daerah dirayakan para elite, mereka tetap tersudut di tepi pembangunan. Dalam kasus pemekaran daerah, rakyat justru dimiskinkan karena anggaran terkuras bagi birokrat dan politisi, kantor- kantor baru, dan lain-lain. Hampir semua daerah hasil pemekaran masuk ke barisan daerah tertinggal.
TATA MUSTASYA, Analis Kebijakan Publik dan Ekonomi-Politik (Opini Kompas, 31/7/2007)
Ketimpangan pendapatan, seperti dikatakan John Roemer, filsuf dan matametikawan dari Yale University, bisa didekomposisi berdasarkan dua sumbernya: ketimpangan dalam usaha (effort) dan ketimpangan dalam prakondisi (circumstances) di luar kendali individu. Ketimpangan pada tingkatan tertentu yang disebabkan perbedaan effort individu tidak dapat dihindari. Akan tetapi, karena individu tidak bisa memilih di mana harus dilahirkan, negara perlu menjamin tidak terjadi ketimpangan dalam prakondisi dengan memberikan pemerataan kesempatan, terutama dalam akses terhadap kebutuhan dasar dalam rangka akumulasi human capital.
Mungkin inilah saatnya paradigma dalam mengelola pembangunan ekonomi Indonesia harus diubah. Keadilan jangan diletakkan setelah pertumbuhan. Pemerataan kesempatan jangan diartikan sebagai bentuk belas kasihan. Pemerataan kesempatan justru adalah pemenuhan prasyarat untuk pertumbuhan. Paradigma pertumbuhan berkeadilan harus segera ditinggalkan dan digantikan dengan paradigma keadilan untuk pertumbuhan.