Perang Melawan Terorisme
SARLITO WIRAWAN, Guru Besar Psikologi UI (Kompas, 30-06-2007)
Mengatasi terorisme bukan hanya tugas polisi. Setelah mereka diadili dan dikirim ke lembaga pemasyarakatan, siapa yang akan mengurus mereka? Tanpa kesadaran dan upaya kita semua, ratusan eks-napi teroris akan kembali ke masyarakat sebagai teroris yang lebih heboh.
Saya belum pernah mendengar pihak lapas meminta bantuan psikolog atau MUI untuk mengetahui cara pembinaan yang terbaik bagi terpidana teroris. Ratusan orang yang sudah tertangkap, dan sebagian sudah bebas berkeliaran di luar, dan lapas belum punya pola untuk membina mereka agar tidak menjadi residivis teroris.
Pihak MUI pun belum terdengar upayanya mengatasi "ajaran sesat" yang diimani teroris, begitu juga dengan Departemen Sosial. Mereka sibuk dengan anak yatim, pekerja seks komersial, dan bencana alam tanpa menyadari anak-anak dan keluarga teroris serta mantan teroris juga merupakan ancaman sosial yang serius jika tidak ditangani dengan baik.
Depdagri ke mana saja selama ini? Deplu, sejauh mana upaya mereka mencegah terorisme melalui jalur-jalur diplomatik? Parpol? DPR/DPRD? Pemda? LSM? Mahasiswa? Pokoknya, semua unsur bangsa ini, ke mana saja kalian?
NOOR HUDA ISMAIL, Alumnus Ponpes Al-Mukmin, Ngruki; Direktur Eksekutif, Yayasan Prasasti Perdamaian yang Merehabilitasi Mantan-mantan Kombatan (Kompas, 26-03-2010)
Sejak peristiwa bom Bali pertama, tidak kurang dari 480 pelaku utama terorisme dan pendukungnya telah ditangkap dan dipenjarakan. Kira-kira separuhnya telah bebas dan kembali ke komunitas masing-masing. Pertanyaannya, kenapa sebagian dari mantan napi terorisme ini kembali "bermain"?
Banyak faktor yang memengaruhinya, termasuk di antaranya stigmatisasi dari masyarakat. Oleh karena itu, sangatlah diperlukan usaha konkret (bukan hanya jargon kosong) dari semua pihak, utamanya negara dan masyarakat madani, untuk membongkar stigmatisasi dengan terus mendorong mantan napi terorisme dapat berintegrasi sebagai wujud pendekatan kuratif.
Hal ini dapat dilakukan melalui pendistribusian bakat mereka masing-masing kepada hal-hal yang bersifat konstruktif. Pada saat bersamaan, negara harus mampu menyelesaikan sisa-sisa masalah di level akar rumput di wilayah konflik, seperti Aceh, untuk tidak tertransformasikan menjadi ajang pencarian bakat bagi avatar-avatar jihad bom baru di Indonesia.
MASDAR HILMY, Guru Besar Ilmu-ilmu Sosial dan Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel (Kompas, 26-07-2016)
Program pemberantasan tindak pidana terorisme di negeri ini sering tidak dilihat sebagai sebuah aksi integratif-menyeluruh dari hulu hingga hilir. Yang tampak adalah persoalan terorisme hanya menjadi persoalan gangguan keamanan atau pelanggaran hukum yang harus ditindak melalui pendekatan keamanan. Di sisi lain, cakupan kerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sering tereduksi di wilayah-wilayah yang bukan kantong radikal. Akibatnya, kedua lembaga tersebut tidak pernah bertemu.
Dalam konteks deradikalisasi, pemerintah dalam jangka panjang perlu memulihkan ketidakseimbangan sosiologis untuk menutup setiap celah struktur kesempatan. Upaya ini harus berlangsung di semua level kehidupan: sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Masyarakat juga harus dipahamkan bahwa kecurigaan mereka terhadap penganut ideologi radikal tidak lantas membuat mereka membatasi pergaulan dan ruang gerak mereka.
Dalam jangka menengah, upaya deradikalisasi perlu ditandemkan dengan gerakan inklusi sosial, advokasi, dan pendampingan para terduga teroris, baik selama di penjara maupun pasca-tahanan, melalui program-program pemberdayaan sosial-ekonomi. Harus diakui, program-program pemberdayaan semacam ini sering bersifat karitatif, sporadis, dan tidak berkesinambungan. Itulah mengapa eks narapidana terorisme banyak mengalami kesulitan memulai hidup baru di masyarakat. Mereka merasa diperlakukan secara ”berbeda” dari masyarakat kebanyakan. Akibatnya, banyak dari mereka terlibat kembali dalam jaringan lama terorisme.
Dalam rangka deradikalisasi, pemerintah perlu mewaspadai upaya perumitan atau sofistikasi gerakan dan aksi kekerasan oleh teroris. Dalam konteks ini, analisis mendalam tentang peta ideologis terorisme beserta kemungkinan bentuk-bentuk perumitan serangan teroris beserta langkah antisipasinya menjadi keniscayaan. Terakhir, pelibatan sebanyak mungkin elemen masyarakat sipil perlu dilakukan agar program deradikalisasi tidak terkesan sekadar proyek pemerintah semata.