Babak Baru Indonesia-Saudi
PLE PRIATNA, Diplomat dan Alumnus FISIP UI Jakarta (Opini KOMPAS, Rabu, 27-01-2016)
Presiden RI Joko Widodo mengukir sejarah diplomasi dengan membuka ruang jelajah baru: Indonesia ingin menjadi penengah konflik Arab Saudi-Iran. Ruang jelajah diplomasi baru ke Timur Tengah itu melompati tradisi lama yang berkutat pada zona konsentris Asia Tenggara dan ASEAN.
Menlu Retno Marsudi diutus melakukan misi diplomatik ke Riyadh, Arab Saudi. Dibekali surat Presiden RI, Menlu RI bertemu dengan Raja Salman dan Menlu Saudi Adel bin Ahmed Al-Jubeir di Riyadh setelah bertemu dengan Presiden Iran Hassan Rouhani dan Menlu Iran Javad Zarif di Teheran, baru-baru ini.
Namun, bukan hanya Indonesia. Sejumlah negara juga bermanuver diplomatik ke Saudi dan Iran. Pada saat kunjungan Menlu RI, Menlu Perancis Laurent Fabius, Menlu AS John Kerry, dan Menlu Jerman Walter Steinmeier juga berdatangan ke Riyadh dan bertemu dengan petinggi Saudi. PM Pakistan Nawaz Sharif didampingi Kastaf AB Pakistan Jenderal RaheelSharif melawat ke Saudi dan Iran. Tak ketinggalan, Presiden Tiongkok Xi Jinping bertemu dengan Raja Salman di Riyadh dan melanjutkan kunjungan ke Teheran.
Melihat konstelasi itu, tidak cukup Presiden Jokowi mengirimkan surat guna menjadi penengah—tanpa bertemu dengan Raja Salman dan Presiden Rouhani. Belum terlambat. Oportunitas diplomatik masih terbuka bagi Presiden Jokowi selewat kunjungan Menlu RI dengan menindaklanjuti bertandang secara singkat ke Arab Saudi dan Iran.
Presiden Jokowi melompat jauh ke depan dengan aset kepemimpinan dan modalitas yang dimiliki. Tak hanya membuka kanal komunikasi yang lebih erat dengan Raja Salman ataupun Presiden Rouhani, tetapi juga mengenal lebih jeli titik temu Saudi dan Iran.
Apa pun hasilnya nanti, terobosan diplomatik ini adalah langkah besar yang ditunggu sekaligus diperlukan di tengah putusnya hubungan diplomatik Saudi-Iran. Indonesia memiliki aset bangsa, kemampuan diplomatik, dan sumber daya manusia menjadi juru penengah dalam Jakarta Informal Meeting (JIM I dan II), Konflik Thailand-Kamboja, dan Konflik Filipina-Moro.
IBNU BURDAH, Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (Opini KOMPAS Sabtu, 27-02-2016)
Monarki Arab Saudi saat ini menghadapi tantangan demikian berat baik internal maupun eksternal. Dari internal, monarki ini sudah berumur cukup tua. Salah satu persoalan pentingnya adalah suksesi dari generasi anak ke generasi cucu. Anak laki-laki pendiri Saudi ini hanya sekitar 37 orang, ada yang menyebut angka 35, tetapi juga ada yang menyebut 45 anak. Dari jumlah itu, tujuh orang dari ibu pertama adalah anak-anak yang paling menonjol sebagai penerus takhta Saudi. Faktanya, dari enam raja Saudi setelah Abdul Aziz bin Saud (pendiri), dua di antaranya anak-anak dari ibu pertama. Mereka adalah Fahd dan Salman, raja sekarang.
Generasi cucu terdiri dari ratusan pangeran. Masa-masa setelah Raja Salman adalah saat-saat yang krusial bagi masa depan kerajaan itu. Sebab, saat itu diperkirakan akan terjadi suksesi dari generasi kedua ke generasi ketiga. Mampukah keluarga kerajaan dengan klan yang sangat banyak dan saling bersaing ini memperoleh kesatuan suara mengenai suksesi? Apalagi, belum ada aturan untuk menentukan siapa yang akan jadi putra mahkota atau deputi putra mahkota yang kemudian akan jadi raja. Aturan yang ada hanyalah yang berhak atas takhta adalah anak-anak laki-laki pendiri kerajaan itu.
Persoalan internal lain adalah kesadaran kuat masyarakat Saudi akan hak mereka untuk menentukan masa depan. Kesadaran itu bisa meledak menjadi gerakan jika standar hidup masyarakat Saudi semakin turun seiring penurunan harga minyak dan terforsirnya anggaran untuk militer. Kesejahteraan sosial semakin terabaikan. Apalagi, kesadaran akan diskriminasi antara mereka yang dalam tembok tinggi istana dan di luarnya juga menguat terutama dalam hal kebebasan, pemberlakuan hukum agama, dan kemewahan.
Dalam situasi itu, monarki Saudi juga harus menghadapi tantangan eksternal begitu besar. Lingkungan baru pasca musim semi Arab benar-benar liar dan tak terkendali. Konflik sektarian begitu tajam. Kelompok-kelompok ektremis dan teroris berkembang pesat terutama di area-area konflik. Campur tangan lintas negara oleh aktor kawasan ataupun internasional kian terang-terangan. Semua itu menciptakan tantangan yang demikian hebat bagi monarki ini.
Jika Saudi berhasil mengatasi tiga persoalan di atas: suksesi, internal, dan eksternal, siapa pun yang memimpin Saudi, baik generasi kedua maupun ketiga, monarki ini akan jaya. Solid dalam keluarga, masyarakat terkontrol, dan nama dan pengaruh monarki ini semakin hebat di fora regional dan dunia Islam. Itu artinya, Saudi berhasil memaksa Houtsi di Yaman mundur dan merestorasi kepemimpinan Manshur Hadi, pemerintah yang menurut mereka sah. Itu juga berarti Saudi berhasil memaksa Assad turun, baik melalui jalur diplomasi maupun senjata, dan mengantarkan oposisi-oposisi dukungannya ke tampuk kekuasaan di Suriah. Itu juga berarti Saudi berhasil dan berperan besar dalam melumpuhkan negara horor NIIS ataupun kelompok-kelompok radikal lain di kawasan.
Pertanyaannya, mampukah rezim yang dipimpin orang yang sudah berusia 80 tahun atau anak muda sekitar 30 tahunan yang sama sekali tak punya latar belakang dan pengalaman di bidang itu melaksanakan pekerjaan maha berat ini?
ZUHAIRI MISRAWI, Ketua Moderate Muslim Society dan Peneliti Politik Timur Tengah di The Middle East Institute (Opini KOMPAS Selasa, 28-02-2017)
Kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz mendapatkan perhatian luas di Tanah Air karena ini kunjungan kedua Raja Arab Saudi setelah lawatan Raja Faisal bin Abdulaziz tahun 1970. Selain itu, Raja Salman dikabarkan membawa 1.500 orang dalam kunjungan kali ini. Di samping melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Joko Widodo, anggota DPR, dan ulama, Raja Salman juga berencana berlibur di Bali bersama seluruh rombongan. Oleh karena itu, kunjungan orang nomor satu Arab Saudi itu punya makna simbolis yang luar biasa.
Setidaknya ada perubahan signifikan perihal cara pandang Arab Saudi terhadap Indonesia. Jika Indonesia selama ini hanya dilihat sebelah mata, sekarang mau tak mau Arab Saudi harus mengakui posisi penting Indonesia dalam pergumulan global, baik di sektor ekonomi maupun geopolitik. Pertumbuhan ekonomi nasional yang relatif terus membaik menarik perhatian sejumlah negara untuk investasi.
Hal itu juga tak bisa dipisahkan dari diplomasi yang dilakukan pemerintahan Jokowi dengan dunia Arab. Pada 2015, Presiden Jokowi melakukan lawatan ke Arab Saudi dan memaparkan rencana pembangunan infrastruktur dan investasi di bidang energi. Rupanya gayung bersambut. Raja Salman sangat tertarik dengan platform pembangunan yang digariskan Presiden Jokowi. Bahkan, investasi Arab Saudi ke Indonesia akan mencapai 25 miliar dollar AS atau sekitar Rp 334 triliun.
Kenapa Arab Saudi mulai melirik Indonesia? Pertama, Indonesia negara mayoritas Muslim terbesar di dunia yang punya hubungan historis dengan Arab Saudi. Di samping jaringan intelektual/keulamaan dari masa lampau hingga kini, Arab Saudi ADALAH salah satu negara yang mengakui dan memberikan dukungan terhadap kemerdekaan RI.
Saat menunaikan ibadah haji tahun 1960-an, Presiden Soekarno menanam pohon di Padang Arafah yang secara simbolis mempererat hubungan RI-Arab Saudi. Pohon yang juga dikenal dengan ”Pohon Soekarno” itu juga ditanam di Mekkah dan Madinah yang menandakan hubungan historis antara RI dan Arab Saudi.
Ironisnya, hubungan yang relatif menyejarah antara Indonesia dan Arab Saudi selama ini tak pernah digunakan secara maksimal untuk meningkatkan kerja sama lebih luas dalam bidang ekonomi. Bahkan, dalam catatan kerja sama ekonomi, ekspor kita ke Arab Saudi jauh lebih rendah dibandingkan impor kita.
Dalam lintasan 47 tahun sejak kunjungan Raja Faisal ke Indonesia, kita tak mampu mengapitalisasi hubungan historis menjadi kerja sama lebih kokoh dalam bidang ekonomi. Bahkan, kita cenderung pasif dan hilang harapan dalam membangun kerja sama dengan Arab Saudi. Presiden Jokowi mengambil langkah cepat dengan melakukan kunjungan pertama ke
negara-negara Teluk, ke Arab Saudi. Ia sadar betul sebenarnya hubungan RI-Arab Saudi sangat historis sejak masa Soekarno, tetapi sayang belum digunakan secara maksimal untuk kepentingan RI.
Kedua, Indonesia negara terbesar dalam aspek jumlah jemaah haji dan umrah. Arab Saudi sadar betul betapa besar sumbangsih warga RI terhadap devisa negara kaya minyak itu. Apalagi di masa mendatang, Arab Saudi akan menjadikan haji dan umrah sebagai andalan sumber pendapatan mereka. Perluasan kawasan Masjidil Haram merupakan salah satu upaya Arab Saudi memaksimalkan pendapatan mereka dari sektor haji dan umrah.
Ketiga, Indonesia adalah negara Muslim terbesar yang terbukti mampu mengadaptasikan antara nilai-nilai keislaman dan kemodernan. Dunia internasional memandang Indonesia contoh negara Muslim moderat yang mampu melaksanakan demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah hiruk pikuk politik yang tak kunjung usai di Timur Tengah setelah gagalnya ”musim semi”, semua melihat Indonesia sebagai masa depan dunia Islam yang mampu mengakulturasikan dirinya dengan kemodernan. Tak hanya itu, Muslim Indonesia juga mampu mempertahankan kearifan lokal dan kekayaan budaya.
Dunia sedang melihat Indonesia sebagai ”negeri impian”. Peran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai tonggak keberislaman telah mampu memperkokoh solidaritas kebangsaan. Di samping itu, keberislaman di negeri ini mampu menjadikan demokrasi kian berkualitas. Karena itu, dalam sepekan, seluruh negara Teluk dan Timur Tengah pada umumnya akan memberikan perhatian pada Indonesia. Ini sejarah baru karena selama ini Indonesia tak pernah mendapat perhatian serius dunia Arab.
Keempat, Indonesia melalui politik luar negeri yang bebas aktif telah memberikan peran sangat konstruktif. Di tengah peta geopolitik yang berubah dan penuh ketidakpastian, terutama pasca-terpilihnya Presiden AS Donald Trump, Indonesia akan menjadi lokus perhatian dunia. Apalagi dari segi demokrasi dan ekonomi, Indonesia relatif stabil danmenunjukkan peningkatan mengagumkan. Di sisi lain, membaiknya hubungan ekonomi RI-Iran sedikit banyak telah mendorong Arab Saudi melakukan kerja sama ekonomi lebih besar setidaknya dari segi kuantitas.
Peta politik Timur Tengah yang selalu berkobar tak lain karena kontestasi antara Iran dan Arab Saudi yang kehilangan mediator. Indonesia dapat memerankan sebagai mediator karena Indonesia dapat diterima oleh kedua negara. Di atas itu semua, kunjungan Raja Salman dan rencana investasi yang besar jangan membuat kita terlena dan selalu berpegang teguh pada Trisakti Bung Karno: berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Prinsip kesetaraan dalam kerja sama yang menguntungkan dan saling menghormati harus menjadi pijakan.
Momen kunjungan ini sebenarnya juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah diskriminasi terhadap buruh migran, peningkatan pelayanan haji dan umrah, dan kedaulatan ideologi negara, khususnya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.