JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Pajak sudah menyiapkan daftar wajib pajak yang akan menjadi target pemeriksaan pasca pengampunan pajak berakhir, 31 Maret 2017. Prioritas utamanya adalah warga negara yang terindikasi kuat tidak patuh pajak dan tidak mengikuti pengampunan pajak.
”Target utamanya adalah mereka yang tidak patuh, tidak ikut pengampunan pajak, dan hartanya banyak. Datanya sudah ada. Jumlahnya terus bertambah,” kata Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Angin Prayitno Aji, Rabu (1/3), di Jakarta.
Target tersebut terdiri dari wajib pajak orang pribadi dan badan. Dilihat dari latar belakang sektor usahanya beragam, di antaranya energi, pertambangan, perkebunan, dan kelautan.
Wajib pajak terdaftar di Ditjen Pajak adalah 32,9 juta orang. Sebanyak 29,3 juta orang di antaranya wajib melaporkan surat pemberitahuan (SPT). Dari jumlah itu, hanya sekitar 12,6 juta orang yang lapor SPT.
Lima persen
Sampai Rabu, peserta pengampunan pajak baru sekitar 682.000 orang atau 5 persen dari wajib pajak yang semestinya lapor SPT. Sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada sosialisasi terakhir pengampunan pajak di Jakarta, Rabu, jumlah tersebut masih kecil.
Mengacu pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Ditjen Pajak akan menjatuhkan sanksi kepada wajib pajak yang kedapatan tidak melaporkan harta yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015 dalam SPT Pajak Penghasilan dan tidak ikut pengampunan pajak. Sanksinya berupa perintah membayar pokok pajak terutang, yakni tarif dikalikan nilai aset, ditambah sanksi 2 persen per bulan untuk maksimal 12 bulan.
Sebagai persiapan untuk melakukan pemeriksaan, Angin melanjutkan, Ditjen Pajak akan mengerahkan semua pemeriksa pajak untuk menelisik wajib pajak yang tidak ikut pengampunan pajak dan terindikasi kuat mengemplang pajak. Jumlahnya mencapai 4.865 orang. Adapun untuk pemeriksaan rutin akan dilakukan pelaksana pemeriksa pajak. Sebagian besar akan dilakukan oleh petugas pajak biasa.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menyatakan, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) merupakan terobosan hukum untuk membuat Ditjen Pajak bisa mengakses data nasabah bank dengan lebih cepat dalam waktu dekat. Langkah tersebut penting agar Indonesia bisa masuk dalam skema Automatic Exchange of Information (AEOI) yang telah ditandatangani 101 negara.
Inti dari skema itu adalah pertukaran informasi secara otomatis atas harta seseorang di antara negara-negara partisipan. Sebagian negara akan menerapkannya pada tahun ini. Sebagian lagi baru tahun depan.
Indonesia termasuk negara yang akan menerapkannya pada tahun depan. Demikian juga Singapura dan Jepang. Guna menerapkan skema pertukaran informasi itu, Yoga melanjutkan, setiap negara partisipan harus memenuhi sejumlah prasyarat,
di antaranya regulasi.
Saat ini terdapat tiga undang-undang di Indonesia yang relevan untuk direvisi guna memenuhi prasyarat tersebut.
Undang-undang yang dimaksud adalah tentang perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal karena semuanya memberikan limitasi yang terlampau
ketat kepada Ditjen Pajak untuk mengakses data yang dibutuhkan.
”Makanya ini dianggap mendesak dan penting. Regulasi yang ada sekarang belum memberikan akses. Kita tidak bisa menunggu undang-undang itu diubah karena makan waktu lama. Oleh karena itu, perppu ini menjadi penting supaya kita tetap bisa masuk dalam komitmen pertukaran informasi. Nanti akan seperti apa regulasinya, masih dibahas. Skema-skemanya seperti apa, ditunggu saja,” kata Yoga.
Infrastruktur
Sejalan dengan itu, Yoga menambahkan, Ditjen Pajak juga telah menyiapkan infrastruktur untuk mempermudah dan mempercepat akses terhadap data nasabah bank. Upaya ini telah dimulai pembahasannya sejak 2015 bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Hasilnya, Ditjen Pajak dan OJK sepakat untuk menerapkan aplikasi pembukaan rahasia bank berbasis teknologi informasi yang terdiri atas dua sistem. Pertama adalah Aplikasi Usulan Buka Rahasia Bank. Aplikasi ini adalah aplikasi internal Kementerian Keuangan untuk mempercepat pengajuan usulan kepada Menteri Keuangan guna membuka akses data bank seorang wajib pajak.
Kedua adalah Aplikasi Buka Rahasia Bank. Aplikasi ini merupakan aplikasi internal OJK untuk mempercepat proses perizinan atas surat permintaan Menteri Keuangan.
Menurut Yoga, kedua aplikasi tersebut akan saling terhubung mulai 1 Maret 2017. Harapannya, pembukaan data nasabah bank dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 30 hari. Selama ini, durasinya rata-rata mencapai 239 hari. (LAS)