SIDOARJO, KOMPAS — Kepolisian Resor Kota Sidoarjo, Jawa Timur, menangkap tangan sejumlah aparat Desa Ploso, Kecamatan Krembung, yang memungut uang Rp 1,5 juta kepada setiap peserta program sertifikat nasional gratis. Sebagian uang itu digunakan untuk kepentingan pribadi dan berwisata.
Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Sidoarjo Ajun Komisaris Teguh Setiawan, Kamis (2/3), mengatakan, operasi tangkap tangan pada 16 Februari lalu dilakukan di Kantor Desa Ploso, Kecamatan Krembung, saat berlangsung rapat Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona). Penyidik menyita uang tunai Rp 521,2 juta yang diduga kuat berasal dari pembayaran warga.
”Kepala Desa Ploso Saiful Efendi dan Sekretaris Desa Ploso Rofik ditetapkan sebagai tersangka. Namun, penyidik belum memutuskan untuk mengurung mereka atau menjadikannya tahanan kota karena masih menunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Teguh di Markas Polresta Sidoarjo.
Desa Ploso menjadi salah satu desa yang jadi sasaran program Prona. Ada 800 warga yang mendaftar. Mereka seharusnya mendapat sertifikasi tanah gratis karena seluruh biaya ditanggung pemerintah, kecuali beberapa biaya yang harus ditanggung peserta, seperti pembelian patok, meterai, dan surat keterangan ahli waris.
Namun, faktanya pihak desa memungut Rp 1,5 juta per peserta dengan alasan untuk biaya pembelian patok, meterai, surat keterangan ahli waris, dan keperluan lain. Besarnya nilai pungutan tak memiliki dasar hukum dan hanya didasarkan pada penaksiran perangkat desa.
Dari uang sebesar Rp 1,5 juta, Rp 500.000 dipakai untuk biaya operasional Prona, Rp 500.000 untuk biaya hibah atau ahli waris, dan Rp 500.000 untuk biaya surat lahan.
Teguh menyebutkan, uang yang terkumpul tidak semuanya disetorkan kepada bendahara kelompok masyarakat yang dibentuk khusus untuk menangani Prona. Sebagian uang itu di antaranya dipegang kepala desa Rp 71,2 juta dan sekretaris desa Rp 15 juta. Sisanya dipegang oleh lima perangkat desa, masing-masing menyimpan Rp 7 juta hingga Rp 14 juta.
”Selain itu, uang hasil pungutan liar ini digunakan untuk makan dan minum Rp 5 juta serta berwisata ke Wisata Bahari Lamongan Rp 8,5 juta. Pungutan liar ini dilakukan sejak Agustus 2016, jauh sebelum program Prona 2017,” kata Teguh.
Selain menangkap Kepala Desa dan Sekretaris Desa Ploso, menurut Teguh, penyidik juga tengah menyelidiki dugaan pungli Prona di Desa Krian. Sejumlah perangkat desa sudah diperiksa, tetapi belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka karena masih menunggu dua alat bukti yang kuat.
Tidak jera
Pungli di Desa Ploso menambah panjang kasus penyelewengan program pengurusan sertifikat tanah gratis melalui sistem Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Sidoarjo. Pada awal 2017, dua kepala desa menjadi tersangka dan ditahan karena menarik pungutan dalam pengurusan sertifikat gratis.
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah menyesalkan banyaknya kasus penyelewengan dalam program sertifikat gratis yang melibatkan kepala desa dan perangkat desa. Dia sudah mengimbau aparaturnya agar tidak bermain api dengan korupsi. ”Biaya tambahan untuk pengurusan sertifikat gratis memang diperlukan, tetapi nilainya harus wajar sesuai dengan kebutuhan dan benar digunakan untuk keperluan warga,” katanya. (nik)