Hati Serasa Teriris Mendengar Hila Terbelah
”Hila ini sedikit lagi hancur. Ada dalam satu keluarga suami jalan lain, istri dan anak jalan lain. Kalau majelis jemaat yang pro pimpin ibadah, kontra seng (tidak) mau masuk. Kalau kontra pimpin ibadah, pro seng mau masuk,” tutur Kepala Desa Hila Lebret Johanz, Rabu (22/2) pagi.
Hati teriris mendengar cerita itu. Perbedaan sikap ternyata tak berhenti di debat kusir, tetapi sudah lebih dari itu. Perbedaan diseret masuk ke ranah yang seharusnya tidak boleh dicampuri urusan duniawi. Mereka ”terbelah” hingga ke dalam gereja.
Lebret mengungkapkan itu di hadapan tim investigasi gabungan dari Universitas Pattimura (Unpatti), Ambon, dan inspektur tambang. Mendung di wajah Lebret seakan menunjukkan dirinya marah, kecewa, dan menyesal dengan kondisi Hila. Beberapa hari sebelumnya, terjadi pertikaian antara kelompok pro dan kontra tambang. Kantor desa dan gedung logistik perusahaan rusak.
Dalam keseharian, secara berkelompok warga duduk membahas isu tambang. Rasa saling curiga atau terancam seolah datang setiap waktu. Dulu sahabat dekat atau saudara, kini terasa jauh, bahkan dianggap lawan yang membahayakan.
Memang tidak semua warga, pro atau kontra, bersikap seekstrem itu. Namun, setidaknya kondisi tersebut menjadi gambaran ikatan persaudaraan yang menyatukan mereka sejak dahulu mulai renggang. Mereka berdiri atas kepentingan masing- masing dan tidak lagi saling mendengar.
Kalwedo, ungkapan yang menjadi simbol semangat persatuan antarwarga di Kabupaten Maluku Barat Daya, seolah kehilangan makna. Berkah tambang seperti menjadi petaka.
”Kalau mau buka, (silakan) buka. Kalau mau tutup, (silakan) tutup,” kata Lebret. Maksudnya, jika pemerintah mau mengizinkan tambang emas berlanjut, silakan. Begitu juga sebaliknya, jika mau ditutup, juga silakan. Pemerintah pasti memutuskan yang terbaik. Saat ini, penambangan oleh PT Gemala Borneo Utama (GBU) dihentikan sementara oleh Gubernur Maluku Said Assagaff.
Tak terduga
Pertemuan dengan Lebret tentang Hila kini menguak hal yang tak terduga. Perbedaan yang mengerikan. Ternyata kondisi Hila tak seindah ceritanya. Hila berada di sisi barat Pulau Romang, Maluku Barat Daya.
Akses dari Ambon, ibu kota Maluku, ke Hila paling singkat 18 jam dengan kapal cepat. Pilihan lain menggunakan pesawat selama 1 jam 15 menit ke Pulau Moa. Baru dari Moa perjalanan dilanjutkan ke Hila dengan kapal paling singkat lima jam.
Selain Hila, di Pulau Romang ada dua desa lain, yakni Solat dan Jerusu. Jumlah penduduk di pulau seluas 168 kilometer persegi itu sekitar 5.000 jiwa.
Investigasi dilakukan atas permintaan Said Assagaff yang hasilnya akan dipakai untuk memutuskan kelanjutan kegiatan usaha pertambangan PT GBU. Ada dua kemungkinan, yakni berlanjut atau ditutup.
Keputusan penutupan sementara diambil oleh Said setelah menerima masukan dari Unpatti yang pernah meneliti kegiatan perusahaan dan dampaknya, baik lingkungan maupun sosial, pada Desember 2016. Temuan itu diuji kembali melalui investigasi bersama.
Sampai di pesisir Desa Hila, tim berjalan kaki melalui jalan setapak beralaskan batu karang dengan medan menanjak hingga kemiringan sekitar 45 derajat menuju kantor perusahaan sejauh hampir 2 kilometer (km). Selanjutnya, tim bergerak menuju titik pengeboran sejauh hampir 4 km. Tim dari Unpatti dipimpin Prof Agustinus Kastanja. Inspektur tambang dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dipimpin Rudhy Hendarto.
Di lokasi pengeboran menanti warga dari kelompok pro dan kontra. Mereka menyaksikan pengambilan sampel. Lokasi itu terletak di ketinggian sekitar 350 meter di atas permukaan laut. Pengambilan sampel itu juga dikawal aparat kepolisian. Turut menyaksikan Direktur Utama PT GBU John Levings.
Di titik itulah tim Unpatti pada investigasi sebelumnya menemukan konsentrasi merkuri melebihi ambang batas, sekitar 69,79 miligram pada 1 kilogram sampel.
Levings membantah perusahaannya menggunakan merkuri untuk mengolah emas karena kini belum melakukan eksploitasi. Sejak 2008, ada 770 lubang yang dibor untuk diambil sampel. Total sampel mencapai 56.000 buah dengan bobot rata-rata 3 kg per sampel.
Pengambilan sampel berjalan lancar. ”Kami ingin lihat prosesnya. Kami ini korban tambang,” kata Yanes Pookey (30) dari kelompok kontra yang didampingi beberapa temannya.
Kelompok pro berada bersama rombongan dari perusahaan. Kelompok pro umumnya bekerja di perusahaan. ”Selama ini kegiatan perusahaan tidak ada masalah,” kata Amos Maromon (26). Ia bersyukur akan kehadiran tambang. Kendati hanya lulus SMP, dalam sebulan ia digaji Rp 3 juta.
Hingga malam, tim gabungan masih berada di areal perusahaan. Sekitar pukul 22.30, tim tiba di Desa Hila dan bersiap kembali ke Ambon keesokan harinya. Agustinus Kastanja dan Rudhy Hendarto sama-sama mengatakan, hasil investigasi akan dilaporkan kepada pimpinan mereka untuk diteruskan kepada Pemerintah Provinsi Maluku.