Rokok, Bayang Gelap Masa Depan
SETO MULYADI, Ketua Komnas Perlindungan Anak (Opini KOMPAS, Sabtu, 28-07-2007)
Remaja adalah sasaran utama industri rokok untuk menggantikan perokok senior yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap rokok, yang konon sekitar 30 juta akan meninggal karena penyakit terkait yang berhubungan dengan tembakau. Bahkan, tertulis dalam laporan perusahaan rokok di AS, Philip Morris (1981), "Remaja hari ini adalah pelanggan tetap yang potensial untuk hari esok! Pola merokok remaja amat penting bagi Philip Morris..."
Di sisi lain, upaya untuk melindungi masyarakat dari serbuan industri rokok juga tak kurang. Dalam Sidang Ke-56 WHO, 192 negara anggotanya telah mengadopsi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) untuk melindungi generasi muda dari kerusakan kesehatan dan asap tembakau. Pasal 13 FCTC mensyaratkan negara anggota untuk melaksanakan larangan total terhadap segala jenis iklan, pemberian sponsor dan promosi produk tembakau, baik secara langsung maupun tidak dalam kurun waktu lima tahun setelah meratifikasi konvensi.
Sayang, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi konvensi ini dan belum memiliki undang-undang yang mengatur dampak bahaya tembakau, sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tetap mengizinkan iklan rokok di media elektronik dengan berbagai bentuknya.
Ketika kita semua tahu bahwa rokok ialah zat adiktif dan merupakan salah satu pembunuh hak hidup anak, pemerintah tampaknya belum tegas dalam melindungi anak dari bahaya tembakau. Padahal UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan, pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak termasuk yang menjadi korban zat adiktif (Pasal 59). Pasal 89 Ayat 2 menegaskan, "Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.."
AHMAD SYAFII MAARIF, Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (Opini KOMPAS, Selasa, 19-01-2016)
Tanpa peran negara, nonsens korban rokok bisa dikurangi karena sudah demikian masif menjangkiti masyarakat Indonesia. Korban terbesar adalah rakyat miskin dan anak-anak yang telah menobatkan salah satu pengusaha rokok menjadi orang terkaya nomor wahid di Indonesia dengan aset sekitar 15 miliar dollar AS. Apakah negara akan membiarkan rakyat miskin ini terus saja mati bergelimpangan dengan dalih pemasukan devisa?
Indonesia adalah pasar rokok terbesar ketiga di muka Bumi. Fakta ini telah dimanfaatkan secara maksimal oleh para taipan industri rokok di Indonesia sejak abad lalu tanpa mempertimbangkan efek maut yang menimpa rakyat perokok. Tak kurang Rp 11 triliun dana harus dikeluarkan sebagai biaya kesehatan akibat rokok. Angka statistik ini sungguh mengerikan: 67,4 persen pria dan 6,9 persen perempuan Indonesia saat ini menggunakan tembakau dalam bentuk rokok dan rokok elektrik. Bahaya maut yang diakibatkan rokok ini saban tahun di Indonesia sudah berada pada angka 235.000, jauh melampaui kematian akibat narkoba, HIV/AIDS, dan kecelakaan lalu lintas.
Bagaimana dengan rakyat miskin? Inilah angkanya: sekitar 11,5 persen pendapatan keluarga miskin adalah untuk rokok dan hanya sekitar 4 persen untuk biaya pendidikan. Hampir 80 persen rakyat Indonesia telah mulai merokok sejak umur di bawah 19 tahun. Saya sendiri menyaksikan tak sedikit murid SD di lingkungan Perumahan Nogotirto telah biasa mengepulkan asap rokok itu. Orang tua dan masyarakat seperti tak hirau dengan kepulan asap maut ini.
Di lingkungan negara-negara ASEAN dan negara-negara Organisasi Konferensi Islam, Indonesia jauh tertinggal dalam hal pengendalian tembakau. Negara-negara di atas telah menandatangani Framework Convention on Tobacco (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB tentang pengendalian tembakau berdasarkan riset.
Maka, jika negara Indonesia tidak ingin melihat rakyatnya terus saja menjadi korban rokok, perlu langkah berikut: (1) menaikkan cukai rokok sekitar 70 persen dari harga ecer untuk produksi tembakau sejalan dengan standar Bank Dunia dan WHO; (2) membuat regulasi pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok; (3) regulasi lain yang secara berangsur dapat menginsafkan rakyat Indonesia untuk berhenti merokok dan petani tembakau secara berangsur mengalihkan usahanya ke jenis tanaman lain sebagai sumber gizi dan yang berguna bagi kesehatan.
EMIL SALIM, Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (Opini KOMPAS Selasa, 22-11-2016)
Di tengah kelesuan usaha ekonomi sekarang, usaha bisnis rokok mencatat keuntungan besar. Hasil laporan keuangan perusahaan rokok Djarum mencatat, kuartal III-2016 pertumbuhan laba sebesar 13,16 persen, sedangkan perusahaan rokok Gudang Garam meraih laba 12,06 persen. Para pengamat memperkirakan emiten rokok masih bisa membukukan keuntungan hingga akhir tahun 2016 sebesar 7 persen.
Besar dugaan bahwa keuntungan serupa bakal diraih perusahaan rokok lain, seperti HM Sampoerna/Philip Morris dan Bentoel/British American Tobacco. Kedua perusahaan rokok ini telah memutuskan pada 2015 untuk investasi baru masing-masing sebesar 1,9 miliar dollar AS (HM Sampoerna/Philip Morris) dan 1 miliar dollar AS (Bentoel/British American Tobacco). Keempat perusahaan ini di tahun 2013 saja sudah menguasai 80 persen dari pangsa pasar rokok Indonesia. Maka kentaralah betapa ”cemerlangnya” masa depan industri rokok di Indonesia ini.
Perkembangan industri rokok semakin dipacu oleh kebijakan mantan Menteri Perindustrian Saleh Husin pada Agustus 2015 yang menetapkan ”Peta Jalan Industri Rokok 2015-2020” dari 398,6 miliar batang (2015) menjadi 524,2 miliar batang rokok (2020). Dari jumlah ini, hanya 0,15 persen adalah sigaret kretek tangan (SKT) yang padat karya. Selebihnya adalah sigaret mesin. Sebesar 50 persen adalah sigaret kretek mesin mild yang naik 100 persen menjadi 306,2 miliar di tahun 2020 dengan kadar nikotin ringan (mild) yang digemari perokok usia muda.
Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat kini sedang menggodok RUU tentang Pertembakauan yang secara eksplisit menyebut bahwa tembakau merupakan warisan budaya Indonesia dan hasil dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan spesies yang mengandung nikotin dan tar. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah secara gamblang dinyatakan bahwa nikotin mengandung ciri adiktif yang membangkitkan ketagihan sehingga pemakai nikotin menjadi budak kecanduannya.
Tampaklah sikap lunak mantan Menteri Perindustrian Saleh Husin dan Badan Legislasi DPR dalam mendukung sikap ofensif industri rokok. Kenyataannya,iklan, promosi, sponsorship industri rokok menyebabkan kelompok usia 10-14 tahun naik jumlah perokok laki-lakinya menjadi 18,1 persen dan perempuan 9,3 persen. Adapun penduduk usia 5-9 tahun jumlah perokok dininya adalah 1,6 persen laki-laki dan 1,4 persen perempuan.
Sesungguhnya peta jalan mantan Menteri Perindustrian Saleh Husin bertentangan dengan garis kebijakan Presiden Joko Widodo yang menetapkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015, Januari 2015, mengenai sasaran pembangunan kesehatan: ”menurunkan prevalensi rokok penduduk usia 18 tahun ke bawah dari 7,2 (2013) ke sasaran 5,4 (2019), penurunan prevalensi merokok sebesar 25 persen dalam lima tahun”.
Menteri Pendidikan menyambut kebijakan Presiden dengan menetapkan peraturan menteri pada Desember 2015 yang mengatur bahwa lingkungan sekolah harus menjadi kawasan tanpa rokok. Gubernur DKI Jakarta menetapkan larangan pemasangan iklan di ruang terbuka Jakarta Raya.
Beberapa pemimpin pemerintah daerah, seperti Bupati Kulon Progo serta Wali Kota Sukabumi dan Bogor, telah menerapkan ”Kawasan Tanpa Rokok” di wilayah mereka. Sejumlah media juga menolak pemuatan iklan dalam siaran dan penerbitannya. Sungguhpun ini menggembirakan, lebih banyak usaha perlu ditumbuhkan untuk menyelamatkan generasi emas bonus demografi kita.