TERNATE, KOMPAS – Pemerintah terus meningkatkan upaya perlindungan terhadap anak-anak di Tanah Air, melalui berbagai program, seperti melibatkan berbagai pemangku kebijakan. Untuk mewujudkannya, pemerintah dan masyarakat harus aktif mendukung upaya perlindungan anak dari kekerasan seksual dan menjadikan sekolah sebagai kawasan ramah anak yang bebas dari narkoba, merokok, dan minum minuman keras.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise dalam setiap kesempatan dan pertemuan terus-menerus mengingatkan bahaya merokok, minuman keras, dan narkoba bagi anak-anak.
”Syarat sekolah untuk ramah anak harus kita dorong agar anak-anak harus bebas dari rokok, minum minuman keras, menggunakan narkoba, dan lain-lain,” ujar Yohana, saat mengunjungi SMP Negeri 7 Kota Ternate, Maluku Utara, Rabu (8/3/2017).
Sekolah tersebut merupakan salah satu percontohan sekolah yang ramah anak dari 1.047 sekolah ramah anak yang tersebar di seluruh Tanah Air. Yohana hadir untuk mencek seberapa jauh pelaksanaan implementasi di daerah tersebut.
Pada kesempatan itu, Yohana bertanya kepada anak-anak di sekolah tersebut, apakah mereka melakukan perbuatan yang disebutkan di atas, yang kemudian dijawab serempak ”tidak”.
Yohana juga menegaskan di sekolah yang ramah anak, makanan untuk anak-anak harus sehat, tersedia di kantin sekolah bukan jajanan yang dibeli di luar sekolah. Pada kesempatan tersebut, Yohana meminta dengan tegas agar anak-anak tidak terpengaruh dengan ajakan merokok dan minum minuman keras, serta narkoba.
Selain menerapkan berbagai indikator untuk memenuhi sekolah layak anak, sekolah tersebut saat ini menjadi pionir dalam kampanye lingkungan seperti memanfaatkan bank sampah dan mengolah produk bernilai tambah.
Tak hanya itu, di sekolah tersebut digerakkan kegiatan seni budaya melalui pertunjukan sehingga mendorong partisipasi anak dan upaya menunjang kreativitas anak.
Kebiri segera diterapkan
Tak hanya soal ramah anak, kemarin, Yohana juga menegaskan bahwa pemerintah bertekad melindungi anak-anak dari berbagai kekerasan baik di rumah, sekolah, maupun di tengah masyarakat. Anak-anak harus bebas dari kekerasan, terutama kekerasan seksual.
Bahkan, sebagai bentuk perlindungan yang serius kepada anak dari berbagai kekerasan seksual, pemerintah telah menetapkan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
”Dalam undang-undang tersebut, barangsiapa melakukan kejahatan terhadap anak, hukuman paling berat adalah pidana mati, seumur hidup, termasuk hukuman kebiri. Jadi, hukumannya berat sekali, sekarang tinggal bagaimana masyarakatnya untuk sadar. Maka, tidak boleh lagi ada kekerasan terhadap anak-anak di negara kita,” ujar Yohana.
Menurut Yohana, soal ancaman hukuman kebiri, saat ini tinggal sosialisasi kepada semua kalangan. Penerapan UU No 17/2016 harus segera dilakukan untuk menghentikan kekerasan seksual terhadap anak. Ia mencontohkan, Januari lalu, ada di Sorong yang tiga pelaku memerkosa anak di bawah umur lima tahun.
”Kasus seperti itu sudah diarahkan ke situ, mungkin akan diterapkan pertama yang hukuman kebiri itu. Tapi, apakah itu hukuman pidana mati, seumur hidup, ataupun hukuman kebiri, kami akan tindak lanjuti,” kata Yohana.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian PPPA, Leny Nurhayanti Rosalin, yang mendampingi Yohana, menambahkan, gerakan dilakukan dengan membuat jejaring bersama dinas yang mempunyai program berbasis sekolah, lembaga masyarakat, dan kelompok profesi guru serta mendorong daerah melakukan sosialisasi dan membentuk.
”Soal merokok seharusnya semua sekolah adalah kawasan bebas asap rokok, tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak orang dewasa merokok di sekolah. Hal ini menjadi tantangan sekolah layak anak. Karena sekolah layak anak adalah proses, hal ini harus terus diupayakan dan terus dilakukan sosialisasi,” katanya.
(SON)