Kasus korupsi KTP-el 2011-2012 dianggap sebagai kejahatan nyaris sempurna; karena, korupsi dimulai dari perencanaan dan melibatkan anggota legislatif, eksekutif, BUMN, dan swasta. Korupsi ini merugikan negara Rp 2,3T.
Oleh
RIANA A IBRAHIM, ANTONIUS PONCO ANGGORO, MADINA NUSRAT, Sonya Helen Sinombor, REGINA RUKMORINI, JEAN RIZAL LAYUCK, DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO, ANDY RIZA HIDAYAT, AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·5 menit baca
Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi 9 Maret 2017. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id untuk mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
JAKARTA, KOMPAS — Perkara korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik tahun 2011-2012 menjadi kejahatan yang nyaris sempurna. Korupsi terjadi sejak proyek itu dalam perencanaan serta melibatkan anggota legislatif, eksekutif, badan usaha milik negara, dan swasta.
Komisi Pemberantasan Korupsi memastikan pengusutan kasus ini tak akan berhenti pada dua terdakwa, yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman serta mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
”Berikutnya ada tersangka lagi. Nanti kita tunggu saja,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo, Kamis (9/3), di Jakarta.
Dakwaan
Dalam dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, yang kemarin dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, disebutkan ada 60 anggota DPR periode 2009-2014 yang menerima aliran dana dalam proyek KTP-el. Proyek itu juga disebut memperkaya sejumlah pejabat di Kemendagri, seperti mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan sejumlah korporasi.
Pada persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan Butarbutar, Jaksa Penuntut Umum Irene Putri, dalam dakwaannya, menyebutkan, perkara korupsi KTP-el yang merugikan negara Rp 2,3 triliun ini bermula dari usulan Gamawan Fauzi pada November 2009 untuk mengubah sumber pembiayaan pengadaan KTP-el dari pinjaman hibah luar negeri menjadi dari APBN.
Ketua Komisi II DPR (saat itu) Burhanuddin Napitupulu, pada Februari 2010, kemudian minta sejumlah uang untuk anggota Komisi II DPR agar usulan Gamawan itu dapat segera dilaksanakan. Kemendagri lalu menggandeng pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong untuk memenuhi permintaan uang yang ditujukan kepada Komisi II DPR dan disetujui Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraini.
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan dengan Burhanuddin, Andi pun berkoordinasi dengan Irman dan Sugiharto. Setelah itu, disepakati pertemuan lanjutan dengan Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar untuk mendapatkan kepastian dukungan anggaran proyek KTP-el.
Saat RAPBN 2011 mulai dibahas pada Juli-Agustus 2010, Andi kembali bertemu dengan Novanto yang kali ini bersama Ketua Umum Partai Demokrat (saat itu) Anas Urbaningrum dan Bendahara Umum Partai Demokrat (saat itu) M Nazaruddin. Mereka dianggap sebagai representasi Partai Demokrat dan Partai Golkar sehingga mampu mendorong Komisi II DPR menyetujui anggaran proyek KTP-el.
”Melalui beberapa kali pertemuan, disepakati anggaran sebesar Rp 5,9 triliun yang proses pembahasannya akan dikawal Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar,” kata Irene.
Dari angka Rp 5,9 triliun tersebut, hanya 51 persen, sejumlah Rp 2,6 triliun, yang digunakan untuk belanja modal dan belanja riil pembiayaan proyek. Sisanya menjadi bancakan anggota DPR, pejabat Kemendagri, dan pelaksana pekerjaan yang terafiliasi dengan Andi.
Setidaknya ada 60 nama anggota DPR, baik dari Komisi II maupun Badan Anggaran, yang ikut menerima. Dari jumlah tersebut, 37 nama yang disebut menerima 556.000 dollar Amerika Serikat tidak dirinci oleh jaksa.
Jaksa menyiapkan 294 saksi untuk dihadirkan di persidangan perkara ini. Karena terbatasnya waktu sidang, jaksa memutuskan hanya mendatangkan 133 saksi yang dinilai paling relevan.
Mengingat banyaknya saksi yang dihadirkan, Jhon Halasan Butarbutar menyampaikan tidak menutup kemungkinan persidangan digelar dua kali dalam sepekan.
Diproses
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyampaikan, jika nama-nama yang disebutkan di dalam dakwaan ternyata turut serta dalam korupsi pengadaan KTP-el, mereka dapat diproses hukum.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, total ada 70 nama yang diduga ikut menerima uang dalam korupsi pengadaan KTP-el dan 37 orang di antaranya adalah anggota DPR. ”Mereka semua menerima sejumlah uang menurut porsi dan posisinya masing-masing. Nanti, di sidang, satu per satu akan dibuka terkait pihak-pihak yang terima uang,” ujar Febri.
Namun, sejumlah nama, yang disebut pada dakwaan Irman dan Sugiharto menerima uang, membantahannya. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, misalnya, membantah menerima 84.000 dollar AS.
Bantahan juga disampaikan dua gubernur dari PDI-P, yaitu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey. Oleh karena merasa tidak bersalah, Ganjar merasa tidak perlu melakukan upaya untuk menyikapinya. Ganjar mendukung proses hukum kasus KTP-el dan bersedia diperiksa sebagai saksi.
Selain membantah menerima uang, politisi Partai Amanat Nasional, Teguh Juwarno, juga mempertanyakan akurasi materi dakwaan.
Bantahan juga disampaikan sejumlah politisi Partai Golkar seperti Setya Novanto dan Ade Komarudin. ”Saya tidak pernah menerima uang dari terdakwa Irman dan itu sudah saya klarifikasi ke KPK,” kata Ade.
”Di pengadilan itu semua akan diuji secara terbuka,” tambah Agun Gunandjar, politisi Golkar lainnya yang disebut juga menerima uang dari kasus KTP-el.
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menegaskan, kader partainya yang terbukti terlibat dalam korupsi KTP-el akan dipecat dari keanggotaan partai.
Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono, kemarin, mengatakan, ada kekhawatiran partainya tidak solid dalam menyikapi dugaan politisi Golkar dalam kasus KTP-el.
Fungsionaris Golkar lainnya, Bambang Soesatyo, menuturkan, partai sudah menyiapkan beberapa rencana jika KPK menindaklanjuti dan mendalami peran Novanto di kasus KTP-el. Skenario itu antara lain menonaktifkan Novanto sebagai ketua umum.
”Namun, hal itu baru bisa terjadi jika KPK memproses nama yang disebut dalam dakwaan atau setidaknya ada keputusan menjadikannya tersangka,” kata Bambang.