JAKARTA, KOMPAS — Empat admin tersangka pengelola grup Facebook berisi foto dan video pornografi diperlihatkan tim siber Kepolisian Daerah Metro Jaya kepada media, Selasa (14/3). Jaringan paedofil, Official Loli Candy’s Group dengan anggota lebih dari 7.000 orang lintas negara, dibongkar Polda Metro Jaya. Ada jaringan lain yang masih diselidiki.
Para tersangka yang ditangkap adalah W (27), DF (17), DS (24), dan SH (16). Mereka yang mengaku tak saling kenal membuat grup di Facebook pada September 2016 dan pada Maret 2017 sudah beranggotakan lebih dari 7.000 orang.
”Anggota grup harus mengunggah foto atau video pornografi anak yang belum pernah diunggah atas persetujuan admin. Anggota tidak boleh pasif, harus aktif mengirim foto atau video,” kata Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan di Markas Polda Metro Jaya, Selasa.
Selain sebagai admin, tersangka W juga melakukan pelecehan seksual terhadap dua anak berusia 8 dan 12 tahun di Malang, Jawa Timur. Adapun DF melakukan pelecehan seksual terhadap enam anak berusia 3-8 tahun di Bogor dan Jakarta Timur.
”Perbuatan tersangka itu difoto dan direkam video, kemudian diunggah ke grup Facebook,” kata Iriawan.
Kepala Subdirektorat Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Roberto Pasaribu menjelaskan, keempat tersangka mengaku tidak saling kenal di dunia nyata. Penangkapan dilakukan 7-9 Maret di tempat terpisah. Tersangka W ditangkap di Malang, DF di Bogor, SH di Tangerang, dan DS di Tasikmalaya.
Admin grup memperoleh 15 dollar AS dari setiap pengunjung grup. Pemasukan itu untuk dana operasional.
Polisi masih mendalami kasus itu karena, menurut pengakuan para tersangka, ada grup lain yang serupa. Polda Metro Jaya menjalin kerja sama dengan Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) untuk membuka data grup Facebook yang sudah ditutup tersebut.
Pemerhati masalah anak Seto Mulyadi mengatakan, kasus itu memprihatinkan dan mengejutkan karena melibatkan pelaku yang masih muda. Para pelaku ternyata juga telah mengenal aktivitas seksual sejak kecil.
”Kita abai atau lupa ada anak-anak yang membutuhkan bimbingan. Kasus ini bisa terjadi di semua kalangan masyarakat, baik kalangan bawah maupun atas, yang merasa tertekan atau hobi tak tersalurkan,” kata Seto.
Pakar teknologi informasi John Muhammad mengatakan, menangani kasus seperti ini tidak semudah memblokir situs-situs yang ada. Segencar apa pun situs-situs berkonten paedofil diblokir, akan muncul situs baru. ”Cara penanggulangan utama ialah cerdas berinternet untuk orangtua dan anak,” katanya.
Lugu berinternet
Umumnya, media sosial menerapkan batas usia minimal bagi seseorang untuk memiliki akun. Namun, tak jarang anak di bawah usia 13 tahun membuka akun media sosial dengan memalsukan tahun kelahiran.
”Bahkan, ada orangtua yang membuatkan akun media sosial untuk anaknya. Alasannya agar anak bisa bergaul luas. Padahal, inilah yang memancing bahaya daring bagi anak,” tutur John.
Selain itu, belum ada pendidikan tata cara berinternet yang baik. Orangtua tidak mengetahui anak mengunggah foto dan video diri ke media sosial. Beberapa unggahan bisa dikategorikan sensitif. Malah ada orangtua yang memamerkan foto-foto anak mereka.
”Masyarakat Indonesia cenderung lugu dalam bermedia sosial. Mudah sekali menerima permintaan pertemanan, termasuk dari orang tak dikenal,” ujarnya.
Predator anak umumnya menguntit akun media sosial anak. Lalu, membuat akun palsu yang identitasnya dibuat memiliki hobi atau ketertarikan serupa dengan anak yang diincar. Tanpa disadari, anak-anak itu mengikuti permintaan predator yang mengaku teman itu untuk mengunggah foto-foto sensitif.
”Orangtua harus berkomunikasi dengan anak dan mengawasi pergaulan anak di media sosial. Jangan sampai anak memilih menceritakan masalah intim, seperti pubertas, ketertarikan pada orang lain, atau kegalauan kepada seseorang di media sosial,” tutur John.
Dari sisi aturan, Indonesia punya sejumlah undang-undang (UU), seperti UU Perlindungan Anak, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Akan tetapi, pemerintah juga perlu menggalakkan gerakan intelijen di dunia maya untuk memastikan konten negatif tidak dikonsumsi anak-anak.
”Masyarakat yang menemui situs atau laman berkonten negatif hendaknya melapor ke penyedia media sosial,” kata John.
Deputi Bidang Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu menyatakan prihatin terhadap kasus pornografi yang melibatkan anak-anak, baik sebagai korban maupun pelaku.
Kementerian PPPA mendesak kepolisian mengusut tuntas sesuai perundang-undangan. Penerapan UU Perlindungan Anak penting karena ada unsur ekonomi, yakni pelaku mengambil keuntungan dan kegiatannya sampai luar negeri. ”Korban harus ditangani kondisi fisik dan psikisnya serta direhabilitasi tuntas,” katanya. (WAD/DNE/SON)