Pembubaran BPLS Menyisakan Masalah Besar
JBTB di dalam PAT dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc. Sementara di luar PAT dilakukan pemerintah dengan dana APBN. Total korban semburan lumpur di Sidoarjo mencapai 22.418 berkas dengan rincian 13.237 berkas di dalam PAT dan 9.181 berkas di luar PAT.
Pembayaran ganti rugi bagi warga korban lumpur yang belum terselesaikan hingga Januari 2017 sebanyak 1.291 berkas, terdiri dari 1.158 berkas merupakan tanggung jawab pemerintah dan 133 berkas tanggung jawab Lapindo Brantas.
Sebanyak 133 pembayaran yang belum dilakukan Lapindo Brantas Inc itu meliputi 84 berkas milik warga korban lumpur dengan nilai Rp 45 miliar dan 30 berkas milik pengusaha korban lumpur Rp 700 miliar. Selain itu, ada 19 berkas baru atau susulan dari warga korban lumpur yang belum mendapat ganti rugi dengan nilai Rp 4,5 miliar.
”Selain itu, Lapindo juga belum membayar ganti rugi atas tanah dan bangunan yang berstatus fasilitas umum, fasilitas sosial, dan tanah wakaf,” kata Khusnul. Lapindo sudah menyelesaikan pembayaran 12.993 berkas dengan nilai Rp 3,8 triliun.
Menurut data Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sidoarjo, ada 53 berkas tanah wakaf yang terdampak lumpur dengan nilai Rp 36 miliar. Penyelesaiannya terkendala peraturan perundangan tentang wakaf.
Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pembubaran BPLS. Selanjutnya, tugas tersebut diterus-
kan oleh Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS), sebuah lembaga di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Dengan dibubarkannya BPLS, menurut perpres itu, penanganan masalah sosial kemasyarakatan dengan cara pembelian tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur di kawasan PAT tetap dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc. Adapun pembelian tanah dan bangunan di luar PAT yang pembeliannya menjadi beban APBN merupakan barang milik negara (BMN).
Dibebankan APBN
Saat ini, upaya penanggulangan semburan lumpur, mengalirkan lumpur ke Kali Porong, serta penanganan infrastruktur dan biaya tindakan mitigasi untuk melindungi masyarakat dibebankan pada APBN.
Semburan lumpur di areal konsesi PT Lapindo Brantas terjadi pertama pada 29 Mei 2006 di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Semburan lumpur terus meluas hingga menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Tidak kurang 10.400 rumah dan 70 rumah ibadah terendam lumpur dan lebih dari 25.000 warga mengungsi. Luas kolam penampungan lumpur sekitar 640 hektar dengan ketinggian tanggul 10-15 meter dan kapasitas volume kolam penampungan sekitar 60 juta meter kubik.
Khusnul mengatakan, untuk pembayaran kepada warga korban senilai Rp 45 miliar, anggarannya sudah ada dari dana talangan pemerintah yang diberikan kepada Lapindo Brantas untuk pelunasan ganti rugi warga korban dengan total Rp 781 miliar. Dana Rp 781 miliar itu bersumber dari APBN 2016 dengan bunga 4,8 persen dan tenggat pengembalian empat tahun.
Pinjaman Rp 781 miliar yang bersumber dari APBN itu diberikan karena Lapindo tidak mampu membayar sisa ganti rugi warga korban sehingga mereka menderita selama 10 tahun.
Pembayaran ganti rugi oleh pemerintah dengan dana APBN sampai saat ini masih menyisakan 1.158 berkas dengan nilai Rp 903 miliar.
Khusnul mengatakan, terkait pembayaran ganti rugi warga di luar peta ini belum ada kebijakan lebih lanjut.
Pengusaha kecewa
Belum tuntasnya penyelesaian dampak sosial semburan lumpur selama 11 tahun membuat korban kecewa. Pernyataan itu disampaikan pengusaha korban lumpur, Joni Osaka dan Andi Susilo. Hingga kini, 30 pengusaha korban terus berjuang mencari jalan agar hak mereka terpenuhi.
”Pembubaran BPLS semakin melemahkan harapan korban untuk mendapat ganti rugi. Apalagi dalam Perpres No 21/2017 itu pemerintah terkesan ingin cuci tangan karena melimpahkan tanggung jawab pembayaran kepada Lapindo. Ini merupakan keputusan politik yang tidak berdasarkan keadilan,” kata Joni.
Tanpa kehadiran pemerintah, sulit meminta pertanggungjawaban perusahaan. Para pengusaha korban ini sudah berjuang hingga melahirkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83 Tahun 2013 yang isinya tidak ada perbedaan perlakuan antara korban warga dan pelaku usaha. Selain itu, putusan MK juga mengamanatkan negara harus hadir memastikan perusahaan melaksanakan kewajibannya membayar ganti rugi.
”Namun, putusan MK berlalu begitu saja tanpa dijalankan oleh pemerintah. Sudah empat tahun putusan tidak dilaksanakan, padahal negara ini negara hukum,” kata pemilik PT Oriental Samudera Karya, perusahaan furnitur dengan aset 4,8 hektar, ini. (NIK)